Satwa Bukan Komoditas Diplomasi Politik

Penulis : Riszki Is Hardianto, Peneliti Kehutanan Auriga Nusantara

OPINI

Senin, 18 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

SEOLAH tak cukup jadi peliharaan dan dagangan, sejumlah satwa liar ternyata juga dijadikan hadiah dan komoditas diplomasi antarnegara. Pemberian 33 individu satwa liar Indonesia ke Greens Zoological Rescue and Rehabilitation Center, India, contohnya.

Ya, pada 23 Mei 2025, Menteri Raja Juli Antoni, meneken Keputusan Menteri Kehutanan No. 278 Tahun 2025 yang isinya mengizinkan 33 individu satwa, yang terdiri dari 6 jenis, diberikan kepada India. Menteri Raja Juli, melandaskan keputusannya itu pada UU No. 5 Tahun 1990—yang telah diperbarui dalam UU No. 32 Tahun 2024—dan aturan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora.

Dalam Keputusan Menhut itu disebutkan satwa-satwa dilindungi dan tidak dilindungi itu diberikan sebagai hadiah cendera mata dalam rangka penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa dan untuk mempererat hubungan diplomatik antarnegara. Namun menurut penulis, dari perspektif konservasi, langkah ini justru problematik dan mengkhawatirkan.

Alasan penyelamatan satwa ini juga masih sangat berpotensi berujung pada kegagalan. Karena upaya penyelamatan satwa yang dikirim ke kebun binatang luar negeri juga pernah mengalami kegagalan.

Macan tutul jawa. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

Seperti, upaya konservasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dengan mengirimkan badak ke kebun binatang luar negeri, khususnya setelah 1984, telah terbukti gagal. Program ini, yang melibatkan 40 badak yang dibawa ke penangkaran, menghadapi tingkat kematian tinggi dan kurangnya kelahiran yang signifikan selama lebih dari satu dekade. 

Dampak besar yang tidak bisa diabaikan

Kebijakan pemberian satwa liar kepada negara lain sebagai hadiah ini berdampak besar bagi konservasi itu sendiri. Pertama, pengiriman ini melemahkan prinsip konservasi in-situ, yakni pelestarian satwa di habitat alaminya. Konservasi sejati tidak sekadar menjaga individu satwa, tetapi memastikan mereka tetap menjadi bagian dari ekosistem tempat mereka hidup.

Mengirim macan tutul (Panthera pardus melas), siamang (Symphalangus syndactylus), bekantan (Nasalis larvatus), macan dahan (Neofelis diardi), beruang madu (Helarctos malayanus) bahkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ke India sama saja menanggalkan misi konservasi yang sebenarnya.

Satwa-satwa yang berasal serahan masyarakat yang dititipkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta dan BKSDA Kalimantan Selatan di Lembaga Konservasi PT Fauna Land dan Taman Satwa Jhonlin Lestari ini mestinya dipulihkan untuk dilepasliarkan, bukan diterbangkan ribuan kilometer demi mempererat hubungan diplomatik.

Jika prinsip ini diabaikan, publik akan melihat bahwa satwa bisa dipindahkan sesuka negara, bukan dijaga di tempat yang seharusnya. Pada titik ini, apa artinya menjaga hutan jika penghuninya justru diusir atas nama persahabatan?

Dampak kedua adalah terbukanya celah legalisasi perdagangan satwa. Dokumen resmi menunjukkan penerima satwa bukan lembaga konservasi murni, melainkan Greens Zoological Rescue and Rehabilitation Center yang merupakan bagian dari proyek Vantara milik konglomerat migas Reliance Industries. Pola seperti ini sangat berbahaya karena apa yang gagal diselundupkan kini bisa dikirim resmi melalui SK Menteri.

Celah ini akan mengubah wajah konservasi menjadi pintu masuk perdagangan eksotik bernilai tinggi, mengingat India adalah salah satu negara utama tujuan perdagangan ilegal satwa Asia Tenggara. Pada periode Juli 2024 hingga Maret 2025, sedikitnya lima kasus besar penyelundupan satwa ke India berhasil diungkap, termasuk maleo, siamang, hingga cenderawasih. Jika regulasi dijadikan alat legalisasi, kita bukan hanya menghadapi masalah konservasi, tapi juga kejahatan satwa yang dilegalkan.

Ketiga, keputusan ini menciptakan preseden buruk berupa diplomasi satwa. Menjadikan satwa langka sebagai “cendera mata diplomatik” membuka ruang normalisasi praktik berbahaya. Jika alasan ini diterima, negara-negara dengan hubungan strategis yang jauh lebih besar dari India—seperti Tiongkok, Amerika Serikat, atau Uni Eropa—bisa mengajukan permintaan serupa.

Dampaknya, kita berpotensi menyaksikan eksodus satwa endemik Indonesia ke berbagai belahan dunia dengan dalih persahabatan antarbangsa. Bayangkan jika di masa depan komodo diberikan ke China, orangutan ke Amerika, atau gajah ke Pantai Gading. Semua dibingkai dalam narasi kerja sama konservasi, padahal hakikatnya adalah transaksi simbolik yang mengorbankan keanekaragaman hayati negeri ini.

Dengan melihat tiga dampak besar ini, jelas bahwa kebijakan pengiriman satwa bukan solusi konservasi, melainkan bom waktu yang bisa menghancurkan upaya perlindungan satwa liar di Indonesia. Dalam kondisi banyak keanekaragaman hayati kita yang terancam, negara seharusnya memperkuat perlindungan habitat, bukan mengekspor penghuninya untuk kepentingan diplomasi.

Kredibilitas negara sebagai megabiodiversitas

Jika satu negara saja diberi 33 satwa, bagaimana jika sepuluh negara lain mendapat perlakuan serupa? Kita bisa kehilangan ratusan satwa langka jika itu terjadi. Populasi satwa endemik akan semakin berkurang, plasma nutfah hilang, dan peluang pelepasliaran akan berkurang. Pada akhirnya, Indonesia tidak hanya kehilangan satwa, tetapi juga kredibilitas di mata dunia sebagai negara megabiodiversitas.
Ketika satwa diperlakukan seperti barang diplomatik sejajar dengan keris, batik, atau kopi, kita sedang memasuki fase berbahaya, karena tidak mempertimbangkan dampak ekologis yang dapat terjadi ke depannya. Pengiriman satwa-satwa liar ke India bukan sekadar hadiah persahabatan—ini adalah tanda bahwa konservasi mulai kehilangan ruhnya.

Dengan dalih mempererat hubungan bilateral, nyawa satwa yang mestinya dilestarikan justru ditukar demi kepentingan politik. Jika praktik ini dinormalisasi, negara-negara sahabat akan merasa wajar meminta satwa langka kita sebagai simbol persahabatan. Hari ini India, besok bisa Tiongkok, Amerika Serikat, atau Pantai gading.

Jika praktik ini masih terus berlanjut maka akan berdampak pada tergerusnya reputasi Indonesia di mata dunia. Selama ini, kita dikenal sebagai negara megabiodiversitas yang menjadi salah satu garda terdepan dalam upaya perlindungan satwa liar. Namun, bagaimana mungkin kita menyerukan penghentian perdagangan ilegal satwa jika kita sendiri melegalkan pengiriman satwa ke luar negeri atas nama diplomasi.

Kebijakan ini menjadikan posisi Indonesia tidak kuat dan kontradiktif di forum international. Jika integritas ini hancur, daya tawar kita dalam forum g international bisa saja akan lenyap. Indonesia tidak lagi dilihat sebagai pelindung satwa, melainkan pemasok satwa dengan izin negara.

Upaya menghentikan legalisasi pengiriman satwa dilindungi

Dalam hal ini penulis ingin menawarkan saran dan masukan kepada pemerintah. Pertama, lakukan moratorium pengiriman satwa liar ke luar negeri harus segera diberlakukan, baik untuk diplomasi, hibah, maupun pertukaran lembaga.

Kedua, lakukan revisi regulasi yang mengandung celah, khususnya Pasal 22 ayat (2) UU Konservasi, agar pemberian satwa tidak bisa lagi dijustifikasi untuk kepentingan diplomasi. Kemudian yang ketiga, perkuat konservasi in-situ—rehabilitasi dan pelepasliaran satwa ke habitat asli harus menjadi prioritas, bukan pengiriman ke luar negeri.

Terakhir, keempat, pemerintah perlu mencari alternatif diplomasi yang ramah konservasi, seperti pengembangan riset bersama, dukungan teknologi konservasi, atau pengelolaan habitat. Satwa bukan komoditas politik. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang harus kita jaga bersama.

Menurut hemat penulis, menjadikan satwa liar sebagai alat diplomasi, di tengah krisis biodiversitas, adalah langkah mundur yang mengkhianati amanat konservasi. Jika diplomasi hijau hanya menjadi kedok untuk transaksi politik, maka hutan kita akan sunyi, dan satwa-satwa yang seharusnya menjadi warisan bangsa akan menjadi koleksi di negeri orang.

Saatnya negara berpihak pada kehidupan, bukan pada simbolisme semu. Jadi keputusan ini justru memberi sinyal bahwa jalur gelap bisa berubah jadi jalur legal dengan tanda tangan pejabat.

SHARE