Tambang Bukit Sanggul Pertaruhkan Konservasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Konservasi

Jumat, 15 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Penurunan status sebagian areal kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi hutan produksi di Kabupaten Seluma, Bengkulu, untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan, dinilai mengorbankan masa depan kelestarian hutan. Apalagi, areal itu juga memiliki nilai konservasi yang tinggi.

“Alih-alih memperkuat komitmen iklim, negara malah melepas wilayah penyangga karbon kepada tambang. Ini sabotase terhadap janji sendiri. Bukannya dilindungi, hutan ini justru diberikan kepada korporasi tambang emas,” kata Egi Saputra, Direktur Eksekutif Genesis, dalam sebuah keterangan tertulis, Kamis (14/8/2025).

Egi menjelaskan, di tengah gempuran krisis iklim dan degradasi lingkungan global, Pemerintah Indonesia justru menorehkan keputusan mengejutkan. Bukit Sanggul, jantung hijau Kabupaten Seluma, terancam berubah menjadi lautan lubang emas.

Melalui SK Menteri LHK No. SK.533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023, pemerintah pusat resmi menurunkan status 19.939 hektare hutan lindung Bukit Sanggul menjadi hutan produksi tetap. Padahal, lanjut Egi, di balik dalih “peningkatan iklim investasi”, tersembunyi satu nama, yaitu PT Energi Swa Dinamika Muda (ESDMu), pemegang konsesi tambang emas seluas 24.800 hektare.

Tampak dari ketinggian pembukaan hutan di kawasan Bukit Sanggul, di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Foto: Genesis Bengkulu.

“Tanpa banyak suara, izin operasi produksi dikantongi, dan langkah eksploitasi telah disiapkan. Ironisnya, 98% dari konsesi tambang ini adalah hutan alami, dan 97% di antaranya adalah wilayah kerja FOLU Net Sink dengan arahan pelaksanaan Perlindungan Areal Konservasi Tinggi, sebuah proyek nasional pengurangan emisi karbon,” ucap Egi.

Egi menuturkan, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—kini Kementerian Kehutanan, potensi kayu dalam 1 hektare hutan sangat bervariasi tergantung pada jenis hutan, kondisi hutan, dan faktor lainnya. Rata-rata, hutan alam dapat menghasilkan sekitar 30 meter kubik kayu per hektare.

Dengan asumsi tersebut, imbuh Egi, maka potensi kayu dari kawasan hutan seluas 24.800 hektare itu sekitar 744.000 meter kubik kayu, dengan perhitungan 24.800 hektare dikali 30 meter kubik per hektare.

“Artinya, secara teoritis, kawasan hutan alam seluas 24.800 hektare dapat menghasilkan hingga 744.000 meter kubik kayu, apabila dikelola atau dieksploitasi secara penuh. Nilai ini hanya bersifat estimasi dan bisa berbeda tergantung pada kondisi aktual hutan dan kebijakan pengelolaannya,” katanya.

Tidak hanya itu, menurut Egi, sebanyak 2.049 aliran anak sungai berada dalam wilayah tambang. Sungai-sungai besar seperti Air Talo Besar, Air Alas, dan Air Alas Kanan yang menopang 48 desa di Seluma kini terancam rusak oleh pencemaran logam berat dari aktivitas ekstraksi emas.

Egi mencontohkan, di berbagai daerah tambang, seperti di Halmahera, pertambangan emas menyebabkan banjir lumpur yang mematikan ikan dan merusak kebun warga. Di Mimika, tailing Freeport meracuni sungai, hutan sagu, dan laut, meninggalkan jejak penyakit, pencemaran, dan konflik tak berujung.

“Skenario paling kelam adalah kerusakan permanen pada ekosistem air dan tanah. Merkuri dan sianida, dua bahan kimia umum dalam tambang emas, memiliki jejak panjang meracuni air minum, mengganggu sistem saraf, kerusakan organ, hingga menyebabkan kematian,” ujarnya.

Egi berpendapat, prospek area “Alas” yang menjadi incaran utama PT ESDMu digadang memiliki 5,2 juta ounces emas, cukup untuk menjadikannya world class gold mining. Namun, untuk menggali emas ini, dibutuhkan eksplorasi dan pengeboran dalam jumlah masif. Sedikitnya terdapat 148 titik bor yang direncanakan dalam prospek area ini.

Adapun wilayah konsesi ESDMu bukan lahan kosong. Hasil analisis citra satelit menunjukkan bahwa degradasi lahan sudah terjadi di 337 hektare pada November 2024 lalu, bahkan sebelum aktivitas tambang dimulai secara penuh. Terdapat pula degradasi hutan yang berdekatan dengan Desa Giri Nanto seluas 31 hektare, terdiri dari 10 hektare di HPT Air Talo dan 21 hektare di HL Bukit Sanggul.

“Berdekatan dengan calon lokasi izin PPKH dan masuk dalam prospek Alas seluas 306 hektare, terdiri dari 226 hektare sudah beralih menjadi perkebunan kopi dan sisanya 80 hektare masih lahan terbuka,” ucap Egi.

Egi menambahkan, proyek tambang emas ini bukan hanya soal investasi, tapi soal harga yang dibayar oleh bumi dan rakyatnya. Jika pemerintah membiarkan tambang emas ini berjalan tanpa prinsip kehati-hatian dan keadilan ekologis, maka yang akan ditambang bukan hanya emas tetapi masa depan hutan, air, dan kehidupan.

Egi bilang, pemerintah pusat berdalih penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi ini demi investasi. Tapi itu hanya menguntungkan korporasi pemegang konsesi.

Sebab tambang bersifat padat modal dan minim tenaga kerja. Sementara masyarakat lokal, yang hidupnya bergantung pada hutan dan pertanian, berpotensi menjadi korban dari sebuah proyek yang tak pernah mereka minta.

Bagi pemerhati lingkungan, sambung Egi, Bukit Sanggul bukan hanya bentang hutan. Ia adalah penyangga kehidupan, penjaga air, penyelamat iklim, dan penopang ekonomi rakyat kecil. Jika negara bersikeras menukarnya dengan tambang, maka yang hilang bukan hanya pohon dan tanah, melainkan warisan masa depan kita sendiri.

“Ini bukan pembangunan, ini penggusuran terselubung yang dibungkus emas dan janji-janji palsu,” ucap Egi.

SHARE