IESR: Transisi Energi Butuh Payung Hukum Kuat
Penulis : Gilang Helindro
Energi
Rabu, 13 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) serta Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan menjadi payung hukum yang efektif untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Dorongan ini disampaikan dalam audiensi dengan Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, di Gedung DPR/MPR, Senin 11 Agustus 2025.
CEO IESR Fabby Tumiwa mengatakan regulasi tersebut diharapkan mampu mewujudkan swasembada energi, menurunkan emisi gas rumah kaca, serta meningkatkan akses listrik hijau bagi industri dan masyarakat. "Ketersediaan energi terbarukan yang cukup, mudah, dan terjangkau akan meningkatkan daya saing investasi Indonesia di pasar global," kata Fabby Tumiwa dalam keterangan resminya dikutip Selasa, 12 Agustus 2025.
IESR mencatat, hingga 2024 bauran energi terbarukan nasional baru mencapai 15,37 persen. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, PLN merencanakan penambahan kapasitas pembangkit 69,5 gigawatt (GW), dengan 42,6 GW di antaranya berasal dari energi terbarukan. Target ini membutuhkan pendanaan Rp1.682,4 triliun, di mana 80 persen diharapkan berasal dari investasi swasta.
Namun, minat investor dinilai masih rendah akibat kelayakan finansial proyek yang belum memadai dan kondisi keuangan PLN. Tarif listrik yang ditetapkan pemerintah dinilai tidak mencerminkan pengembalian biaya yang wajar, sehingga PLN menekan harga pembangkitan agar tidak melebihi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) rata-rata. Akibatnya, kemampuan PLN dalam mengadakan pembangkit energi terbarukan masih di bawah 1 GW per tahun, jauh dari kebutuhan sekitar 4,26 GW per tahun.

Fabby menyoroti praktik negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam yang membuka akses jaringan listrik dan memungkinkan pembelian langsung listrik dari pengembang energi terbarukan melalui mekanisme power wheeling atau Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) dan direct power purchase agreement. IESR mendorong penerapan mekanisme serupa di Indonesia.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menambahkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan layak secara ekonomi sebesar 333 GW, termasuk PLTS ground-mounted 165,9 GW, PLTB onshore 167 GW, dan PLTM 0,7 GW. Bahkan, Bali, Sumbawa, dan Timor berpotensi dialiri 100 persen energi terbarukan pada 2050.
Dalam audiensi tersebut, IESR merekomendasikan tiga poin untuk RUU EBET, yakni memasukkan pasal PBJT, menetapkan kuota PBJT dalam perencanaan energi, dan mengatur peran individu atau komunitas dalam membangkitkan energi sendiri.
Untuk RUU Ketenagalistrikan, IESR mengusulkan enam poin, antara lain restrukturisasi pasar ketenagalistrikan, pembentukan BUMN atau anak usaha PLN khusus transmisi, regulasi untuk layanan penyeimbangan dan pendukung, penegasan margin keuntungan Public Service Obligation (PSO), pembentukan badan pengawas independen pengadaan energi terbarukan, dan perlindungan konsumen prosumer.
IESR menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan membutuhkan investasi besar dan partisipasi swasta, namun kendali negara atas penyediaan listrik untuk kepentingan umum tetap harus terjaga.
SHARE