Proyek Amonia Hijau Aceh Dicap Manipulasi Administrasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Rabu, 13 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA) sebagai bentuk green washing yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas lokal. Proyek yang digagas oleh PT Pupuk Indonesia bersama ITOCHU Corporation dan Toyo Engineering ini juga hanya akan memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil dan tidak memenuhi prinsip keadilan ekologis.

“Klaim kehijauan proyek GAIA tidak berdasar. Listrik yang digunakan berasal dari jaringan PLN yang mayoritas masih berbasis energi fosil, meskipun disertai sertifikat energi terbarukan. Ini hanya manipulasi administratif,” kata Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Walhi, dalam sebuah pernyataan tertulis, Selasa (12/8/2025).

Proyek GAIA diklaim sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih dengan memproduksi amonia hijau di fasilitas PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), anak perusahaan PT Pupuk Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Sejak April 2025, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) juga telah mempertimbangkan pendanaan untuk proyek GAIA dan mengkategorikan proyek ini sebagai "C", yang dianggap tidak memiliki dampak lingkungan dan sosial.

Namun, lanjut Tri Jambore—yang karib disapa Rere, meskipun proyek GAIA ini disebut merupakan bagian dari upaya menuju netralitas karbon, Walhi menilai bahwa proyek ini justru menjauh dari upaya mencapai target iklim yang aman, memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dan akan semakin menambah kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan komunitas. 

Aksi WALHI mendesak Jepang dan lembaga pendanaannya, JBIC, untuk menghentikan pendanaan proyek energi gas dan LNG di seluruh dunia, di Jakarta, Selasa, 25 April 2024. Dok. Istimewa

Pertama, listrik yang akan digunakan oleh proyek GAIA didapatkan dari sistem jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang didominasi oleh pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil. PT Pupuk Indonesia melalui jawabannya terhadap permohonan informasi publik Walhi menyampaikan bahwa proyek GAIA dirancang untuk menghasilkan hidrogen hijau melalui elektrolisis air dengan menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan dari PLN yang ditunjukkan dengan sertifikat Renewable Energy Certificate (REC) dengan estimasi sebesar 40 MW.  

Energi listrik dalam jaringan (grid) berasal dari berbagai sumber seperti batubara, gas, BBM, matahari, dan angin semuanya bermuara pada satu sistem distribusi. Sistem ini mengalirkan campuran energi ke konsumen tanpa membedakan asalnya.

“Jadi, meski konsumen mendapat sertifikat energi terbarukan dari penyedia tertentu seperti PLN, pada praktiknya listrik yang mereka gunakan berasal dari berbagai macam pembangkit listrik yang beragam—bukan dari sumber murni energi terbarukan. Selain itu, tidak tersedia jaminan atau audit terbuka yang memastikan asal-usul pasokan listrik secara transparan,” ujar Rere.

Rere mengatakan, jika melihat kapasitas terpasang pembangkit di Provinsi Aceh, maupun di keseluruhan Sumatera, yang tercantum pada Statistik Ketenagalistrikan 2023 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pada 2024 lalu, bisa terlihat bahwa dominasi energi fosil masih sangat tinggi.

Bila mempertimbangkan keseluruhan kapasitas pembangkit di sistem Sumatera, maka kita bisa melihat bahwa 80% pembangkit listriknya berasal dari energi fosil, namun jika kita mempertimbangkan kapasitas terpasang pembangkit hanya di wilayah Provinsi Aceh saja, maka kita bisa melihat bahwa 98% pembangkit listriknya berasal dari energi fosil.

“Meskipun proyek GAIA mengklaim akan menggunakan energi terbarukan dengan dasar sertifikat energi terbarukan, tidak akan menghilangkan fakta bahwa listrik yang dialirkan ke pabrik amonia ini berasal dari jaringan PLN yang dominan dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi fosil, dan karenanya klaim kehijauan dari produksi hidrogen dan amonia pada tidak memiliki dasar,” kata Rere. 

Kedua, imbuh Rere, amonia yang diproduksi oleh proyek GAIA sebagiannya masih bersumber dari gas fosil dan karenanya tidak bisa diklaim sebagai amonia hijau. Melalui jawabannya terhadap permohonan informasi publik Walhi, PT Pupuk Indonesia menyatakan bahwa proyek GAIA dirancang untuk memproduksi hybrid green ammonia dengan cara menginjeksikan green hydrogen ke fasilitas existing ammonia plant.

Amonia tersebut diproduksi melalui kombinasi dua sumber hidrogen, yaitu green hydrogen yang dihasilkan melalui elektrolisis air dengan menggunakan sumber energi terbarukan dan grey hydrogen yang dihasilkan dari pemrosesan gas fosil.  

Jika PT Pupuk Indonesia tetap memproduksi amonia yang mereka gunakan untuk pupuk, dan juga memproduksi amonia abu-abu di pabrik amonia yang ada, dengan skala sebesar saat ini, sambil juga memproduksi amonia hibrida untuk proyek GAIA, maka penggunaan gas fosil bisa jadi justru akan meningkat. 

“Pernyataan bahwa proyek GAIA masih akan menggunakan grey hydrogen dari pemrosesan gas fosil menunjukkan bahwa proyek ini tidak benar-benar proyek hijau dan terbarukan. Publik perlu waspada terhadap potensi green washing, di mana proyek-proyek energi diklaim ramah lingkungan padahal masih bergantung pada sistem lama yang menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan,” kata Rere.  

Rere menjelaskan, fakta bahwa proyek GAIA masih akan menggunakan listrik dari jaringan PLN yang masih bercampur dengan sumber-sumber pembangkit listrik berbasis energi fosil dan juga bahwa dalam proses produksinya Proyek GAIA masih akan menggunakan sumber dari pemrosesan gas fosil menunjukkan bahwa proyek ini bisa meningkatkan konsumsi dan penggunaan gas, serta memperpanjang umur penggunaan energi fosil di Indonesia.

Selanjutnya yang ketiga, proyek GAIA dilaksanakan dengan mengabaikan transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat di sekitar tapak proyek. Berdasarkan pantauan Walhi Aceh, komunitas lokal di sekitar tapak proyek belum menerima penjelasan yang utuh tentang dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari proyek GAIA.

Bahkan, kelompok masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam advokasi isu lingkungan tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai perencanaan dan proses yang tengah berjalan dari Proyek GAIA.

“Meskipun terdapat siaran pers dari PIM bersama induknya, PT Pupuk Indonesia, itu hanya mengumumkan proyek ini sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi dan transisi menuju energi bersih namun tidak memberi penjelasan terhadap dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan dari proyek tersebut,” ucap Rere.

 Transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat merupakan komponen esensial dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak langsung terhadap lingkungan dan masyarakat. Ketika informasi terkait proyek tidak dibuka secara luas, dan ruang diskusi tidak diberikan kepada masyarakat terdampak, maka yang terjadi adalah marginalisasi suara-suara lokal yang seharusnya menjadi pusat pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 

Keempat, proyek GAIA akan berpotensi memperpanjang dan memperburuk ancaman terhadap keselamatan komunitas dan kelestarian lingkungan di sekitar wilayah proyek. Proyek GAIA disebut akan dijalankan pada pabrik amonia milik Pupuk Iskandar Muda (PIM), anak perusahaan PT Pupuk Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.

Menurut Walhi Aceh, dalam rentang waktu 2010 hingga 2025, tercatat sembilan kali insiden paparan gas amonia dari PT Pupuk Iskandar Muda di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, yang menyebabkan sekitar 2.000 warga terdampak. Korban tersebar di Desa Tambon Baroh, Tambon Tunong, dan Uteun Geulinggang, dengan gejala umum berupa mual, muntah, pusing, sesak napas, dan pingsan.

Dari jumlah tersebut, puluhan warga—termasuk anak-anak, perempuan, balita, dan lansia—harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, terutama saat insiden besar terjadi pada April 2010, Maret 2015, dan Januari 2023. Sebagian besar kebocoran gas disebabkan oleh kerusakan katup, kebocoran pipa, atau gangguan teknis di unit produksi amonia. Pola berulang ini menunjukkan lemahnya sistem pengamanan industri dan tingginya risiko yang harus ditanggung oleh warga sekitar.

“Dalam pengamatan Walhi Aceh, hingga sekarang belum ada tanggung jawab yang memadai dan sistematis yang diberikan oleh pihak perusahaan pada kejadian-kejadian kebocoran gas amonia,” ujar Rere.

Rere melanjutkan, proyek GAIA, yang diklaim menjadi bagian dari upaya transisi menuju energi bersih di Indonesia, justru menyisakan banyak tanda tanya tentang validitas klaim kehijauan, komitmen terhadap keselamatan komunitas, dan integritas proses partisipatifnya.

Ketergantungan pada jaringan listrik yang mayoritas masih berbasis fosil, penggunaan gas fosil sebagai bagian dari komponen produksi, absennya transparansi terhadap masyarakat terdampak, serta tingginya risiko terhadap keselamatan komunitas di sekitar lokasi pabrik amonia dari dampak kebocoran amonia, menunjukkan bahwa Proyek GAIA adalah upaya green washing, dan salah satu solusi palsu yang dengan agresif didorong melalui AZEC. 

Situasi ini, imbuh Rere, akan semakin mengkhawatirkan karena selain di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang menjadi semacam pilot project untuk pengembangan hidrogen hijau dan amonia hijau, Pupuk Indonesia bersama anak perusahaan juga sedang melakukan pengembangan proyek hidrogen hijau dan amonia hijau di fasilitas anak perusahaan, yaitu Pupuk Kaltim, Pupuk Kujang, Petrokimia Gresik, dan Pupuk Sriwidjaja Palembang.

Apabila proyek yang berlangsung tetap bergantung pada energi fosil baik pada kebutuhan ketenagalistrikan maupun dalam proses produksi, minim keterbukaan terhadap masyarakat terdampak, serta mengabaikan aspek keselamatan komunitas, maka pengembangan proyek hidrogen hijau dan amonia hijau ke berbagai lokasi-lokasi lain akan berpotensi memperluas dampak negatif dan memperbesar risiko kerusakan lingkungan serta sosial.   

“Jika transisi energi akan benar-benar membawa perubahan sistemik, maka proyek seperti GAIA harus tunduk pada prinsip keadilan ekologis, keterbukaan informasi, dan keterlibatan aktif masyarakat sebagai aktor utama,” ucap Rere.

Menurut Walhi, masih kata Rere, tanpa itu semua proyek GAIA ini hanya akan memperpanjang dan memperburuk ketimpangan dan ancaman terhadap keselamatan lingkungan serta kehidupan komunitas lokal, bukan menjadi langkah maju menuju masa depan yang berkelanjutan.  

Karena itu Walhi menyerukan kepada korporasi, investor, dan pendanaan pada proyek GAIA, untuk menghentikan proyek ini karena tidak memenuhi prinsip keadilan ekologis, keterbukaan informasi, serta demokrasi, sehingga proyek ini tidak lebih adalah bentuk green washing yang memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil, membahayakan keselamatan komunitas, dan mengabaikan hak-hak masyarakat atas partisipasi dan transparansi dalam pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

SHARE