Kolaborasi CSO 3 Negara Buktikan Deforestasi demi Biomassa
Penulis : Aryo Bhawono
Hutan
Selasa, 12 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ekspor pelet kayu untuk kebutuhan energi Korea Selatan dan Jepang mengancam hutan alam Indonesia. Penelusuran yang dilakukan oleh masyarakat sipil dari tiga negara, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan di Gorontalo menunjukkan bahan baku energi itu merusak hutan alam Indonesia.
Penelusuran yang dilakukan oleh Auriga Nusantara menunjukkan hutan tanaman energi (HTE) telah menjadi pendorong deforestasi terhadap hutan alam Indonesia. Hasil HTE, berupa pelet kayu, sebesar 99,7 persen diekspor ke Korea Selatan sebesar 67,2 persen dan Jepang sebesar 32,5 persen.
Data yang diolah oleh Auriga Nusantara menunjukkan ekspor pelet kayu rentang 2021 hingga 2024 ke Korea Selatan mencapai 220.749,2 ton, Jepang mencapai 106.868,4 ton, dan lainnya sekitar 737,8 ton.
Kebutuhan ekspor biomassa untuk energi ini kian merisikokan hutan alam di Indonesia. Riset bertajuk Unheeded Warnings: Forest Biomass Threats To Tropical Forests In Indonesia And Southeast Asia menunjukkan sebanyak 37 konsesi HTE tersebar di Indonesia.

Riset ini dilakukan bersama Auriga Nusantara, Earth Insight, Forest Watch Indonesia (FWI), Trend Asia, Mighty Earth, dan Solution for Our Climate (SFOC).
Total konsesi itu menguasai lebih dari 1,2 juta hektare hutan di Indonesia. Sekitar 700 ribu diantaranya berada di kawasan tutupan hutan, yang terdiri dari 400 ribu ha hutan alam dengan tutupan yang masih baik dan 329 ribu ha hutan yang telah terdegradasi.
Pengapalan ekspor sendiri terdeteksi paling besar dilakukan di Gorontalo sebesar 50,18 persen dari total ekspor, disusul dari Tanjung Emas di Semarang sebesar 34,53 persen, dan Tanjung Perak di Surabaya sebesar 8,24 persen.
“Peningkatan ekspor ini telah menjadikan HTE sebagai ancaman terhadap hutan alam,” ujarnya dalam pertemuan dengan media di Jakarta pada Senin (12/8/2025).
Perwakilan masyarakat sipil dari Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang, tengah mendiskusikan temuan deforestasi hutan alam di HTE. Foto: Dokumentasi Auriga Nusantara
Auriga, SFOC Korea Selatan, dan Global Environmental Forum (GEF) Jepang, sendiri telah datang ke Gorontalo untuk membuktikan deforestasi hutan alam dalam HTE. Mereka pun menemukannya.
Forests and Land Use Lead SFOC, Hansae Song, mengungkapkan temuan ini bertolak belakang dengan informasi yang diberikan oleh pihak penyelenggara pembangkit energi biomassa di negaranya. Perusahaan HTE memang melakukan operasi penebangan secara legal namun secara praktik penebangan di hutan alam tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Alhasil praktik ini justru membawa malapetaka bagi masyarakat lokal, seperti banjir, konflik, hingga ketimpangan kepemilikan lahan.
“Kondisi ini akan menjadi isu bagi para regulator di Korea Selatan dan Jepang,” kata dia.
Data yang mereka kelola dari Kementerian Perdagangan, Industri dan Energi Korea Selatan menyebutkan pembangkit energi biomassa memasok 18 persen dari 53.146 Gigawatt, total produksi listrik pembangkit energi terbarukan. Biomassa dari produksi hutan mencapai 17 persen dari total energi biomassa itu.
Selama ini mereka mengandalkan sekitar 80 pasokan pelet kayu untuk energi dari negara lain. Separuh pasokan berasal dari Vietnam, kemudian Rusia, Indonesia, Kanada, Malaysia, dan lainnya.
Namun ia memastikan bahwa tren penggunaan energi biomassa dari hutan akan semakin menurun di negaranya. Isu deforestasi telah masuk ke parlemen di negara itu.
Sementara Katsuhiro Suzushima dari GEF menyebutkan kedatangannya di Gorontalo selama sekitar sepekan menunjukkan ancaman konkrit energi biomassa terhadap hutan alam. Ia menyebutkan deforestasi di Indonesia dipicu oleh pemenuhan ekspor pelet kayu biomassa dari Jepang dan Korea Selatan.
Jepang sendiri memiliki regulasi uyang mendukung atas impor ini sejak 2012 melalui mekanisme Feed-in Tariff (FIT). Mekanisme ini mengatur perusahaan listrik membeli energi terbarukan dengan harga lebih tinggi dari harga pasar.
Sekitar 75 persen mekanisme FIT diberlakukan untuk pembangkit energi biomassa di negara itu.
Catatan mereka menunjukkan impor pelet kayu untuk energi mengalami peningkatan dari 2020 hingga 2024, yakni dari 2.028 metrik ton pada 2020 hingga mencapai 6.831 metrik ton pada 2024. Pelet kayu ini diimpor dari Vietnam, Amerika Serikat, Kanada, dan negara lain.
Impor dari Indonesia sendiri mencatat tren kenaikan, dari 3.800 ton (1 persen) pada 2021 hingga mencapai 315.000 ton (4 persen) pada 2024.
“Sistem yang longgar di Jepang memicu peningkatan impor. Produsen tidak perlu melacak permasalahan produksi seperti pelanggaran hukum hingga penebangan hutan alam,” kata dia.
Rekan Katsuhiro, Sayoko Iinuma, mengungkapkan temuan mereka di Gorontalo cukup mengejutkan. Publik Jepang tidak mengetahui bahwa sumber energi biomassa demikian merusak hutan alam, termasuk soal sosial dan biodiversitasnya.
“Perusakan hutan alam ini sangat mengejutkan bagi publik di Jepang,” kata dia.
SHARE