Konservasi Harus Jamin Hak Rakyat agar Berhasil
Penulis : Gilang Helindro
Lingkungan
Rabu, 13 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menyatakan peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) setiap 10 Agustus seharusnya menjadi momentum untuk mengkritisi kesenjangan antara tujuan konservasi dan kondisi di lapangan, khususnya di Jawa Timur. Organisasi ini menegaskan, konservasi tak boleh hanya berorientasi pada pelestarian formal, tetapi juga menjamin hak masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan.
Manajer Advokasi WALHI Jatim, Pradipta Indra Ariono, mengingatkan bahwa gagasan konservasi di Indonesia sudah muncul sejak masa kolonial pada 1937. Hingga ada HKAN telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 22/2009, "Laju kerusakan hutan di Jawa Timur tetap mengkhawatirkan," kata Pradipta dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin, 11 Agustus 2025.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat deforestasi di Pulau Jawa mencapai 2,05 juta hektare pada 2000–2017, dengan laju 125.460 hektare per tahun. KLHK menyebut luas kawasan hutan di Jawa kini tinggal 24% daratan, dan hanya 19% yang masih berupa tutupan hutan. Di Jawa Timur, Global Forest Watch merekam hilangnya 84.500 hektare tutupan pohon antara 2001–2019, memicu emisi 36,3 juta ton CO₂.
Banyuwangi, Jember, Malang, Bondowoso, dan Tulungagung menjadi penyumbang terbesar kehilangan tutupan hutan akibat alih fungsi lahan, kebakaran hutan, dan pengelolaan yang tidak sesuai aturan. KLHK mencatat Jawa Timur kehilangan 18.822 hektare hutan akibat kebakaran hingga September 2024, termasuk 227 hektare hutan lindung.

WALHI Jatim menyoroti tiga dampak utama kerusakan ini: krisis air bersih akibat privatisasi sumber mata air, hilangnya habitat satwa yang memicu konflik manusia-satwa, serta melemahnya kedaulatan warga di sekitar kawasan hutan dan konservasi.
Staf Program WALHI Jatim, Nabila Putri, menilai kerusakan lingkungan diperparah oleh kebijakan yang lemah. Dalam catatan WALHI, tiga masalah mendesak dalam pembahasan RUU Perubahan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah paradigma konservasi yang belum berbasis HAM, ketiadaan pengaturan pemulihan ekosistem menyeluruh, serta minimnya transparansi dan partisipasi publik.
Ia menekankan pentingnya mengakui peran masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi. “Ketika mereka diabaikan, yang muncul adalah konflik tenurial,” katanya. Nabila mencontohkan kasus penyusutan mangrove di Surabaya yang luasnya menyusut dari 3.300 hektare pada 1978 menjadi hanya sekitar 1.500–2.000 hektare saat ini akibat alih fungsi lahan dan lemahnya regulasi pemulihan ekosistem.
WALHI Jatim mendorong perubahan paradigma konservasi yang berbasis komunitas, transparan, dan berkeadilan ekologis. Peringatan HKAN, kata mereka, tidak boleh berhenti pada seremonial, tetapi harus menjadi gerakan kolektif yang menghubungkan perlindungan alam dengan perlindungan hak asasi manusia.
SHARE