Menagih Tanggung Jawab Nikel Hingga Taipei
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 07 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Environmental Rights Foundation (ERF), bersama AEER dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bersama warga komunitas masyarakat, menuntut tanggung jawab lingkungan kepada Walsin Lihwa, di Taipei, Taiwan. Sebab, melalui anak perusahaannya Walsin Lihwa mengoperasikan pabrik peleburan logam dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang berdampak negatif kepada masyarakat dan lingkungan di kawasan industri di Morowali, Sulawesi Tengah, dan di Teluk Weda, Maluku Utara.
Dalam sebuah keterangan tertulis, kelompok-kelompok masyarakat sipil ini menganggap perkembangan industri dan permintaan global terhadap nikel Indonesia telah menyebabkan polusi serius, pelanggaran hak masyarakat adat, perampasan lahan dan kecelakaan industri—terutama di kawasan industri yang didominasi perusahaan Tiongkok seperti Tsingshan Group dan Zhejiang Huayou Cobalt.
Dalam hal ini, Walsin Lihwa memiliki hubungan yang erat dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok tersebut. Di Morowali (IMIP), fasilitas smelter dan pembangkit listriknya hanya berjarak beberapa ratus meter dari sekolah dasar dan menengah. Murid-murid sekolah dan perempuan setempat sering mengalami infeksi kulit dan masalah pernapasan, namun tidak mampu membiayai pengobatan atau membeli masker.
Di Kawasan Industri Teluk Weda (IWIP), selain dampak lingkungan dan sosial yang serupa, Walsin Lihwa sudah mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan terus membangun yang baru—bertentangan dengan transisi global menuju net-zero.

Koordinator AEER (Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat), Pius Ginting, mengatakan meskipun Walsin mengklaim mendukung energi terbarukan, operasional mereka sejauh ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan turut terlibat dalam deforestasi yang digerakkan oleh industri batu bara di Kalimantan. Bila benar ingin selaras dengan citra sebagai “pendukung energi terbarukan”, Walsin harus segera menghentikan penggunaan bahan bakar fosil—terutama mengingat krisis iklim dan polusi udara yang semakin mendesak.
“Selain itu, catatan kami menunjukkan bahwa anak perusahaan Walsin mengimpor nikel dari PT Gag Nikel pada tahun 2025. PT Gag beroperasi di Pulau Gag, bagian dari Kepulauan Raja Ampat yang sering disebut “Amazon of the Seas” oleh media internasional,” kata Pius, dalam sebuah keterangan tertulis yang disiarkan pada Selasa (5/8/2025).
Pius menjelaskan, penambangan nikel di Pulau Gag telah memicu protes luas dari masyarakat lokal, dan meskipun pemerintah telah mencabut empat IUP perusahaan tambang lain di Raja Ampat pada Juni 2025, IUP PT Gag Nikel tetap dipertahankan karena beroperasi di luar kawasan geopark dan dianggap memenuhi regulasi lingkungan.
“Namun, hingga saat ini Walsin belum membuat komitmen publik untuk menghentikan pengadaan mineral dari PT Gag. Kami mendesak agar mereka segera menghentikan pengadaan nikel dari pulau-pulau dengan ekologi rapuh seperti Pulau Gag dan Pulau‑pulau kecil lainnya seperti yang mereka klaim,” ujarnya.
Manager Kampanye Perencanaan Ruang dan Infrastruktur Walhi, Dwi Sawung, menuturkan bahwa pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang dibangun untuk pengolahan nikel sedang mengubah perubahan iklim menjadi bencana iklim. Pembangkit-pembangkit ini juga menyebabkan polusi udara dan air yang signifikan di daerah sekitarnya.
“Pembangkit-pembangkit ini gagal menggunakan teknologi terbaik yang tersedia untuk meminimalkan polusi,” kata Sawung.
Adlun Fiqri Sigoro, pendiri organisasi masyarakat lokal Fakawele, menyebut penambangan nikel tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, terutama terhadap komunitas asli Indonesia. Pihaknya mendesak perusahaan yang berinvestasi di Indonesia untuk menghentikan pengadaan nikel dari wilayah penambangan yang bermasalah.
Perwakilan penduduk asli Halmahera Timur, Said Marsaoly, mengatakan komunitas asli menghadapi perampasan tanah, pelanggaran hak untuk menentukan nasib sendiri dan persetujuan secara bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi (free, prior and informed consent), serta kriminalisasi yang semakin sering terjadi. Baru-baru ini, 11 orang asli ditangkap hanya karena secara damai mempertahankan tanah mereka.
“Walsin Lihwa harus menghentikan pasokan dari perusahaan yang melanggar hak-hak asli dan merusak Sungai Sangaji,” katanya.
Tak hanya itu, terdapat pula banyak permasalahan di tempat kerja dalam operasional Walsin di Indonesia, khususnya terkait kesehatan dan keselamatan kerja. Masalah-masalah ini sering kali menyebabkan kecelakaan, yang kemudian berdampak pada sekitar 30% pekerja jatuh sakit setiap bulan.
Hal tersebut diungkapkan Johan Sappara, pekerja yang berasal dari anak perusahaan Walsin Lihwa, yaitu Walsin Nickel Industrial Indonesia. Johan juga mencatat bahwa manajemen senior Walsin di Taiwan kemungkinan besar belum mengetahui kondisi ini.
“Hari ini, kami menyampaikan langsung kekhawatiran tersebut kepada manajemen senior Walsin di Taiwan. SPIM (Serikat Pekerja Industri Morowali - Indonesia) akan terus memantau situasi dan mendesak agar tuntutan ini segera dipenuhi hingga terjadi perbaikan nyata,” ucap Johan.
Direktur Akuntabilitas Korporat dan Urusan Internasional di ERF, Hsin Hsuan Sun, memenuturkan bahwa pihaknya sangat mengapresiasi warga Indonesia yang terdampak yang telah melakukan perjalanan jauh untuk bertemu langsung dengan perwakilan Walsin Lihwa. Selain itu, Kepala Keberlanjutan Perusahaan dan Manajer Umum Grup Bisnis (Chief Sustainability Officer and Business Group General Manager) Walsin Lihwa juga secara langsung bertemu perwakilan ERF pada Mei.
Sejak Oktober 2024, ERF telah melakukan beberapa putaran korespondensi dengan Walsin Lihwa untuk menyampaikan tuntutan komunitas Indonesia setempat, meminta pertemuan tatap muka dengan pemangku kepentingan Indonesia, dan mengklarifikasi isu-isu yang tidak sepenuhnya diungkapkan dalam laporan tahunan dan laporan keberlanjutan perusahaan.
“Namun demikian, meski hampir setahun telah berlalu sejak komunikasi dimulai, hanya sebagian kecil fakta yang berhasil diklarifikasi, sedangkan sebagian besar kekhawatiran masih belum memperoleh jawaban,” kata Sun.
Dalam pertemuan di Taipei, pihak Walsin tidak memberikan tanggapan substansial maupun komitmen terhadap sejumlah tuntutan utama dari pemangku kepentingan Indonesia. Selain itu, Walsin juga tidak bersedia berkomitmen untuk menyelenggarakan pertemuan pemangku kepentingan di Indonesia sebelum akhir 2025. Hal ini sangat mengecewakan bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil yang jauh-jauh datang ke Taipei.
Mereka menganggap, sebagai perusahaan multinasional asal Taiwan, Walsin seharusnya menegakkan komitmen terhadap keberlanjutan melalui tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Kelompok-kelompok masyarakat sipil ini kemudian menegaskan kembali tuntutan bersama dari kelompok masyarakat sipil Taiwan dan Indonesia, komunitas terdampak, serta perwakilan pekerja.
Tuntutan bersama itu yakni, mengembangkan kebijakan due diligence hak asasi manusia dan lingkungan yang diterapkan pada seluruh operasi grup perusahaan, termasuk anak perusahaan di Indonesia, membangun mekanisme yang efektif untuk keterlibatan rutin dan bermakna dengan komunitas lokal, serta secara publik mengumumkan proses dan hasil keterlibatan tersebut, melakukan due diligence komprehensif di seluruh rantai pasok dan mengungkapkan hasilnya untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak atas tanah, kerusakan lingkungan, maupun eksploitasi tenaga kerja.
Kemudian, secara publik menyampaikan informasi mengenai operasional, data emisi, serta dampak kesehatan dari pembangkit listrik tenaga batu bara, menyertakan anak perusahaan di Indonesia dalam strategi net-zero 2050 grup perusahaan dan menetapkan jadwal yang jelas untuk menghapus pembangkit listrik tenaga batu bara, dan memperbolehkan pihak ketiga independen untuk melakukan penilaian komprehensif terhadap sistem kesehatan dan keselamatan kerja di anak perusahaan Indonesia—khususnya pada area atau departemen terkait insiden yang melibatkan Andri—dan memastikan pekerja serta serikat pekerja dapat berpartisipasi dalam proses evaluasi.
SHARE