Bisnis Dagang Orang Cerah Karena Sistem Hukum Gagal - Riset SBMI
Penulis : Gilang Helindro
HAM
Kamis, 31 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang jatuh setiap 30 Juli, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) merilis laporan berjudul “Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO: Membongkar Realitas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum.”
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, laporan ini menyoroti kegagalan sistem hukum di Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), khususnya buruh migran. "Momen ini tidak boleh menjadi seremoni simbolik, tetapi harus menjadi pengingat keras atas pengabaian negara terhadap hak korban," kata Hariyanto, dikutip Selasa, 29 Juli 2025.
Dalam Catatan Tahunan 2024, SBMI mencatat sedikitnya 251 buruh migran Indonesia terindikasi menjadi korban TPPO dari berbagai sektor. Sejak 2014 hingga 2025, terdapat 22 kasus perdagangan orang yang dilaporkan ke berbagai instansi kepolisian, namun belum menunjukkan kemajuan berarti. Sebagian kasus bahkan telah berlangsung lebih dari satu dekade dan terancam kedaluwarsa. Di sisi lain, lebih dari Rp5,6 miliar restitusi yang diputuskan oleh pengadilan tidak pernah dieksekusi oleh kejaksaan. Di ruang sidang, korban kerap dipermalukan secara terbuka oleh majelis hakim, disudutkan dengan pertanyaan yang menyalahkan, dan tak jarang hak-hak dasarnya diabaikan.
Laporan ini juga mencatat berbagai bentuk kekerasan sistemik dalam proses hukum dari lima wilayah pengadilan: Serang, Pemalang, Malang, Indramayu, dan Sukadana (Lampung Timur). Di Serang, kepolisian menolak laporan karena korban masih berada di luar negeri, meskipun pelaku berada di Indonesia. Di Indramayu, seorang korban yang sedang hamil diperiksa selama delapan jam dalam sehari tanpa fasilitas ramah perempuan. Di Pemalang, calon awak kapal perikanan ditampung berbulan-bulan tanpa kejelasan keberangkatan, dan ketika kasus terbongkar, mereka justru ditempatkan di panti sosial tanpa perlindungan dan fasilitas layak. Beberapa dari korban bahkan kembali diperdagangkan ke Kamboja dan Myanmar karena dilepas tanpa proses reintegrasi.

Di Malang, korban perempuan diintimidasi oleh hakim dan disalahkan atas kegagalan rekan-rekannya berangkat kerja akibat pelaporan yang ia lakukan. Di Lampung Timur, aparat penegak hukum justru menyarankan korban berdamai dengan pelaku, bahkan menekan mereka agar menerima uang damai. Kasus yang dilaporkan hanya diterima sebagai aduan masyarakat, bukan sebagai laporan resmi.
SBMI juga mencatat bahwa sistem peradilan saat ini justru membuka celah terjadinya pembalasan oleh pelaku. Di Sukadana, para korban malah digugat secara perdata. Sementara itu, pendamping korban di Malang dan Pemalang menghadapi intimidasi dan ancaman kriminalisasi. Gugus Tugas TPPO yang seharusnya menjadi ujung tombak penanganan kasus justru dinilai tidak berjalan efektif dan perlu dievaluasi menyeluruh.
Hariyanto, menegaskan bahwa negara telah gagal melindungi korban dan bertanggung jawab atas keadilan. “Ketika laporan-laporan yang kami buat sejak lebih dari sepuluh tahun lalu tak kunjung selesai, ketika korban dihina di ruang sidang, dan restitusi tak pernah dibayar, itu bukan sekadar kelalaian. Itu adalah pengabaian yang sistemik,” tegasnya. Ia menambahkan, saat keadilan tak lagi bisa ditemukan di ruang hukum, yang dipertaruhkan bukan hanya hak korban, tetapi juga martabat negara.
Untuk itu, SBMI mengajukan delapan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR RI. Pertama, pemerintah dan DPR harus segera mengakomodasi hak-hak korban dalam RUU KUHAP yang berorientasi pada perlindungan dan peran korban dalam sistem peradilan pidana. Kedua, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung perlu menyusun panduan bersama penanganan kasus TPPO pada pekerja migran, menggunakan pendekatan berbasis hak korban dan mengintegrasikan UU No. 21/2007 tentang PTPPO dan UU No. 18/2017 tentang PPMI.
Ketiga, pemerintah dan DPR RI diminta merevisi UU PTPPO untuk memperkuat hak korban, menyesuaikan dengan Protokol Palermo, serta menambahkan mekanisme kompensasi dan dana bantuan korban. Keempat, negara harus menjamin perlindungan hukum terhadap korban dari pembalasan, serta memberikan perlindungan kepada pendamping, paralegal, dan advokat yang bekerja untuk mencegah dan menangani perdagangan orang, sebagaimana diamanatkan dalam UU PTPPO dan UU PPMI.
Kelima, Kepolisian RI diminta segera membentuk Direktorat TPPO di seluruh daerah dan menyediakan pelayanan yang ramah korban sejak awal pelaporan, termasuk hak atas pendampingan, informasi, dan perlindungan. Keenam, Gugus Tugas TPPO di semua tingkat harus diperkuat, anggarannya ditingkatkan, pelibatan masyarakat sipil diperluas secara bermakna, dan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional harus dipastikan berjalan.
Ketujuh, SBMI mendorong peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pendidikan agar mampu memahami kerangka hukum TPPO dan PPMI secara menyeluruh. Terakhir, Indonesia perlu memperkuat komitmen kerja sama global dan ASEAN dalam pencegahan serta penanganan perdagangan orang lintas negara.
SBMI menegaskan, saat korban dan pendamping terus menjadi sasaran intimidasi dalam sistem yang seharusnya melindungi, maka perubahan menyeluruh terhadap hukum, kebijakan, dan praktik institusi negara menjadi hal yang tak bisa ditunda.
SHARE