Bahaya Senyap Residu Pembangkit Listrik Sampah Benowo Surabaya
Penulis : Wahyu Eka Styawan, Peneliti dan Direktur WALHI Jawa Timur
OPINI
Senin, 28 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
PEMBANGKIT listrik tenaga sampah (PLTSa) Benowo di Kota Surabaya, tepatnya di daerah Benowo, Kecamatan Pakal, diresmikan pada 2021 sebagai proyek percontohan nasional dalam pengelolaan sampah berbasis teknologi waste-to-energy (WTE). Fasilitas ini dibangun untuk menjawab problem penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, yang setiap hari menerima sekitar 1.500 ton sampah dari seluruh Surabaya. Dari jumlah itu, sebagian besar merupakan sampah organik dan anorganik tercampur yang seharusnya bisa dikelola melalui pemilahan, daur ulang, atau kompos.
Walaupun Kota Surabaya sudah mempunyai peta jalan penyelesaian sampah berbasis hulu dan hilir sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan di Kota Surabaya, yang dapat diintegrasikan dengan prinsip zero waste dan circular economic, tetapi baik pemerintah pusat maupun pemerintah Kota Surabaya lebih memilih PLTSa sebagai solusi penyelesaian problem sampah.
Teknologi PLTSa ini menggunakan metode gasifikasi yakni proses mengubah sampah, terutama organik untuk dikonversi menjadi gas yang mudah terbakar (syngas) melalui proses termal dengan pasokan oksigen terbatas pada suhu tinggi. Dari proses tersebut, PLTSa Benowo dapat memproduksi listrik sekitar 2 megawatt per hari. Diklaim, teknologi ini ramah lingkungan.
Klaim Tak Sesuai Temuan
Namun, klaim efisiensi dan ramah lingkungan dari PLTSa Benowo tidak diikuti oleh transparansi data emisi maupun pengelolaan residu berbahaya seperti abu dasar (bottom ash) dan abu terbang (fly ash). Warga di sekitar PLTSa, terutama yang tinggal di Kelurahan Benowo dan Romokalisari, juga melaporkan bau menyengat, partikel debu halus, serta gangguan pernapasan, khususnya pada pagi dan malam hari.

Dalam observasi lapangan, penulis menemukan jika bagian-bagian penting dari sistem termal atau pembakaran seperti cerobong asap, sistem pengendali emisi, dan hasil uji emisi tidak diperlihatkan kepada publik. Sementara itu, laporan internal pengelola tidak dipublikasikan secara terbuka, sehingga menyulitkan evaluasi independen terhadap dampak lingkungan dan kesehatan.
Karena minimnya keterbukaan informasi, untuk mengetahui data lapangan, dengan menggunakan metode citizen science, penulis bersama WALHI Jawa Timur serta relawan lokal melakukan pemantauan kualitas udara menggunakan alat portabel AirBeam3 dari HabitatMap. Pemantauan dilakukan pada November 2024 hingga Februari 2025, melalui metode stasioner (ditempatkan di 5 titik tetap) dan metode mobile (dibawa oleh 14 relawan dalam kegiatan harian). Langkah ini bertujuan tidak hanya untuk mendokumentasikan pencemaran udara secara ilmiah, tetapi juga untuk memperkuat partisipasi warga dalam membela hak atas udara bersih dan mendorong kebijakan pengelolaan sampah yang berorientasi pada keadilan ekologis dan kesehatan publik.
Hasil pemantauan di lima titik sekitar PLTSa Benowo menunjukkan bahwa baik indikator partikulat PM2.5 maupun PM10 telah melampaui ambang batas aman yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Untuk PM2.5, batas aman harian adalah 15 µg/m³, sedangkan untuk PM10 adalah 45 µg/m³. Selama proses pemantauan kami mencatat lonjakan drastis angka pencemaran pada kedua jenis partikulat, terutama pada jam-jam operasional PLTSa (pukul 08.00–17.00). Kami mendapati jika rata-rata PM2.5 adalah 26,78 µg/m³ di semua stasiun dan nilai maksimal dari PM2.5 adalah 78 µg/m³. Beberapa stasiun bahkan mencatat konsentrasi PM10 melebihi 150 µg/m³, dan PM2.5 melebihi 100 µg/m³, kondisi yang sudah tergolong berbahaya untuk semua kelompok usia dan kesehatan.
Sementara itu, selama melakukan pemantauan mobile oleh 14 relawan, kami menemukan bukti adanya paparan dalam bentuk partikel halus dan kasar di sekitar PLTSa. Nilai pencemaran berbasis partikulat PM 2.5 rata-rata sebesar 36.2 µg/m³, yang melebihi ambang batas WHO (5 µg/m³ tahunan, 15 µg/m³ harian). Pada beberapa titik terlihat ekstrem, dengan PM 2.5 setinggi 449 µg/m³, yang lokasinya berada di dekat situs PLTSa. Paparan tersebut juga meluas ke pemukiman, jalan utama, pasar, dan sekolah di sekitar situs. Temuan kami menujukkan adanya lonjakan tajam baik PM2.5 maupun PM10 saat relawan melintasi wilayah dekat PLTSa, terutama saat angin bergerak ke arah pemukiman.
Penyakit Kronis Mengancam Warga
Perlu diketahui bahwa dampak dari kombinasi PM2.5 dan PM10 sangat serius. PM10 dapat menyebabkan iritasi saluran napas atas, batuk, sesak napas, serta memperburuk kondisi asma dan bronkitis. PM2.5 lebih berbahaya karena dapat menembus hingga ke alveoli paru-paru dan memasuki sistem peredaran darah, menyebabkan peradangan sistemik, peningkatan risiko stroke, serangan jantung, dan kanker paru-paru.
Polusi udara menjadi faktor kedua terbesar yang menyebabkan kematian di seluruh dunia. Data. HEI
Merujuk pada WHO Global Air Quality Guidelines 2021, ambang batas aman harian untuk PM2.5 adalah 15 µg/m³. Namun, hasil pemantauan kualitas udara selama 54 hari di sekitar PLTSa Benowo menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata PM2.5 mencapai 26,78 µg/m³, dengan lonjakan harian hingga melebihi 100 µg/m³ di beberapa titik. Konsentrasi ini jelas melampaui ambang aman dan menandakan paparan kronis yang berisiko bagi kesehatan masyarakat.
Studi time-series seperti yang dikemukakan Brook dkk (2010) “Particulate matter air pollution and cardiovascular disease: an update to the scientific statement from the American Heart Association. Circulation,” menunjukkan bahwa peningkatan 10 µg/m³ pada PM2.5 dapat meningkatkan risiko relatif kematian kardiovaskular harian sebesar 0,4–1%, terutama pada kelompok rentan seperti lansia dan penderita penyakit jantung tersembunyi.
Selain risiko kardiovaskular, bukti epidemiologis dan eksperimen terbaru juga menunjukkan bahwa paparan PM2.5 berkontribusi signifikan terhadap peningkatan insiden dan kematian akibat kanker paru-paru. Riset yang dilakukan oleh Wang dkk (2024) “Particulate matter air pollution as a cause of lung cancer: epidemiological and experimental evidence,” menggarisbawahi bahwa partikel PM2.5 dari berbagai sumber mengandung zat karsinogenik seperti logam berat, sulfat, dan hidrokarbon aromatik polisiklik, yang secara biologis dapat memicu proses mutasi dan peradangan kronis pada jaringan paru.
Paparan tersebut dalam jangka panjang akan menyebabkan dampak sistemik dan akumulatif yang berujung pada perkembangan kanker, terutama di wilayah dengan sumber pencemar lokal yang aktif seperti fasilitas insinerasi sampah TPA Benowo dan PLTSa Benowo.
Jika dikaitkan dengan konteks PLTSa Benowo, lonjakan PM2.5 selama jam operasional insinerator menunjukkan hubungan temporal yang kuat antara aktivitas pembakaran dan buruknya kualitas udara. Lalu mengacu pada konteks wilayah dengan populasi besar, peningkatan tersebut dapat menyebabkan satu kematian prematur per hari, menandakan bahwa dampaknya bersifat populatif dan tidak bisa dianggap main-main. Sehingga perlu disikapi secara serius
Catatan untuk Pemerintah
Paparan polusi udara yang terjadi di wilayah Benowo bukan bersifat sesaat, melainkan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan memberikan dampak serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, orang lanjut usia, dan warga berpenghasilan rendah yang tinggal di sekitar PLTSa. Klaim ramah lingkungan yang selama ini dikemukakan oleh pihak pengelola tidak selaras dengan temuan nyata di lapangan berdasarkan data pemantauan.
Pemantauan ini menegaskan pentingnya peran sains warga (citizen science) sebagai sarana advokasi berbasis bukti. Melalui pemanfaatan alat pemantauan partisipatif seperti AirBeam3, warga terbukti mampu mengambil peran penting dalam memperjuangkan hak atas udara bersih yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak asasi.
Data yang dihasilkan warga menunjukkan bahwa pengawasan terhadap pencemaran tidak dapat hanya diserahkan kepada otoritas, apalagi kepada pihak pengelola yang berpotensi memiliki konflik kepentingan. Oleh karena itu, hasil temuan ini seharusnya menjadi landasan kuat bagi pemerintah untuk menghentikan aktivitas pembakaran sampah di PLTSa Benowo, serta mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah menuju pendekatan yang menekankan pencegahan, pemilahan, dan pengurangan dari sumbernya.
SHARE