Mencari Sisa Surga di Teluk Weda (Bagian 1)
Penulis : April Perlindungan, Peneliti AURIGA
PERJALANAN
Sabtu, 26 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
KETIKA matahari menyembul di ufuk timur pada pertengahan Juni lalu, dari pelabuhan tersembunyi di Desa Lelilef Sawai, bersama dua nelayan setempat, kami pergi menuju terumbu karang Pasi Tidore, mencari ikan.
Luki mengemudi, Martin Takuling penunjuk jalan, sementara saya cukup termangu menatap lautan. Perahu dengan kecepatan 15 km per jam memecah gelombang Teluk Weda. Suara mesin Yamaha bertenaga 15 PK beradu bising dengan alat berat serta gemuruh kapal -kapal besar yang mengantre sandar di kawasan Indonesia Bay Industrial Park (IWIP).
Dua hari sebelumnya, alat pancing kami gagal mendapat satu ekor pun ikan demersial di sekitar perairan Lelilef, walau telah menghabiskan dua kilo umpan surihi, ikan pelagis yang biasa dijadikan umpan oleh nelayan pancing, dan pergi sejauh tujuh kilometer dari garis pantai. Kegagalan itu menjadi alasan kami menuju Pasi Tidore, meski tempat itu jaraknya lebih jauh lagi, sekitar dua puluh lima kilo meter dari pantai Lelilef. Perlu waktu dua jam perjalanan untuk sampai ke sana, namun kami tetap mendatanginya.
Menurut Luki Takuling, pasca IWIP beroperasi, Pasi Tidore adalah satu-satunya surga bagi ikan pelagis maupun demersal yang masih tersisa di perairan Teluk Weda, sekaligus menjadi tujuan bagi para nelayan pancing, terutama dari Desa Luku Lamo, Lelilef Sawai, Lelilef Waibulen, dan Gemaf, meskipun secara geografis Pasi Tidore lebih dekat ke Weda, ibu kota kabupaten Halmahera Tengah.

Desa-desa tersebut adalah wilayah Ring I kawasan IWIP yang kini perairannya sudah tersedimentasi limbah. Terumbu karang tempat ikan berkembang di wilayah itupun telah hilang. Pantauan kami, tujuh kilometer dari garis pantai Teluk Weda telah tersedimentasi.
“Cara sederhana mengeceknya adalah memasang alat pancing dengan timah berat, jika diangkat terasa lebih berat, itu timah menancap ke lumpur. Jika tidak ada arus kuat, lumpur itu akan menetap,” kata Luki.
Bukan hal aneh, jika dalam radius tersebut, kini sulit menemukan ikan demersial yang biasanya berkembang di terumbu karang. Jika masih ditemukan ikan pelagis seperti tuna, cakalang, surihi dan sejenisnya, dipastikan itu dekat rumpon yang setiap waktu bisa ditabrak oleh kapal-kapal besar. Kapal berupa tongkang batu bara atau pengangkut nikel antreannya memadati dua kilometer dari Pelabuhan IWIP. Di perairan Lelilef, sudah tidak ada rumpon, mayoritas rumpon berada di perairan Desa Kiya dan Sagea, yang pencemaran lautnya belum separah Lellilef.
Sebelum perairan tercemar, cukup bermodal bensin Rp 50.000, sehari nelayan setempat biasa mendapat 50 kg ikan. Bahkan kaum perempuan terbiasa mengail ikan-ikan karang tanpa modal. Sekarang, untuk mendapat ikan sebanyak 40 kg, paling sedikit nelayan harus mengeluarkan modal bensin Rp 700-900 ribu, karena jarak yang ditempuh lebih jauh, sekitar 20-30km. Itu pun belum tentu berhasil jika cuaca buruk.
“Walaupun kami dekat laut, ikan di sini mahal. Kebanyakan yang dijual di pasar adalah ikan permukaan seperti surihi. Untuk kerapu, kakap merah rumah makan jualnya per ons, bukan lagi kilo, karena makin sulit mencarinya. Sejak kedatangan IWIP di antara kelompok masyarakat, kami nelayan inilah yang paling dirugikan,” ucap Martin.
Keterangan Martin sesuai dengan Analisa citra satelit yang diolah Walhi Malut serta Direktorat Informasi & Data Auriga Nusantara. Reklamasi yang dilakukan oleh IWIP mulai dari garis pantai Lelilef Sawai hingga perbatasan Gemaf, telah menimbun ekosistem penting Teluk Weda. Antara lain mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Reklamasi menggunakan slag nikel mencapai luas 178 ha bisa terus bertambah karena reklamasi masih berlangsung. Teridentifikasi, aktivitas ini merusak koral dan padang lamun seluas 100 hektare. Kompleks terumbu karang yang sekarang rusak itu dulunya tempat nelayan mencari ikan. Urugan reklamasi menggunakan slag dan pembuangan limbah cair langsung ke laut telah merusak bahkan membuat ekosistem tersebut hilang. Dasar laut dalam radius paling tidak sejauh 7 km dari garis pantai terlihat gelap.
Padahal Teluk Weda merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kawasan segitiga karang dunia (Coral Triangle), ekosistem perairannya sangat esensial, yakni terdapat padang lamun, mangrove, dan terumbu karang yang wajib dilindungi kelestariannya dan terlarang untuk dirusak maupun dialihfungsikan untuk kepentingan apapun, termasuk ekonomi. Sebab lestarinya ekosistem laut telah menghasilkan ekonomi sendiri.
Menurut studi LIPI (2017), jika 1 kilometer persegi ekosistem esesnsial termasuk terumbu karang dalam kondisi sehat , itu setara dengan produksi 20 ribu kg ikan/tahun; jika 42 ribu km2 ekosistemnya sehat, maka setara dengan 840 juta ton ikan per tahun. Artinya, tanpa modifikasi, laut sangat menunjang perekonomian. Dapat dibayangkan, berapa nilai kerugian yang diderita nelayan Teluk Weda, setelah ekosistem esensial perairannya rusak oleh aktivitas tambang.
Sejauh ini kami belum menemukan dokumen resmi alokasi ruang laut yang harusnya telah diatur dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, atau Perda Tata Ruang (integrasi), setelah terbitnya UU Ciptakerja, untuk mengetahui komposisi ruang laut Teluk Weda. Yang pasti, kondisi Teluk Weda semakin terancam dengan terbitnya 9 izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI. Izin PKKPRL Terminal Khusus penunjang pertambangan bijih nikel tersebut menjadi legitimasi IWIP dalam menimbun laut.
Kondisi surga ikan Pasi Tidore
Matahari telah meninggi, ketika kami tiba di Pasi Tidore, yang menurut keterangan Luki adalah harapan terakhir nelayan Teluk Weda mencari ikan dasar, begitupun dengan kami.
Pasi Tidore atau warga lokal menyebutnya rip berupa hamparan terumbu karang cukup luas, sekitar 1 ha. Sebagian karang menyembul ke permukaan, sisanya berada di kedalaman 2-5 meter dari permukaan laut. Karangnya cukup baik, meski sebagian telah rusak (bleaching ).
Meski berjarak sekitar 25 km dari IWIP dan belum ditemukan sedimentasi, bukan berarti tempat itu bebas dari pencemaran. Kami menemukan cemaran minyak di permukaan. Kuat dugaan berasal dari limbah kapal.
“Dulu tiga jam saja di sini tanpa pindah jangkar, bisa dapat satu kuintal ikan dasar,” ucap Luki. Sekarang, setelah satu jam menurunkan jangkar dan kami memasang pancing, belum ada ikan menyambar umpan. Baru setengah jam kemudian, umpan surihi kami mulai disambar.
Hari itu, untuk mendapat sekitar 40 kg ikan, memakan durasi waktu memancing selama empat jam dan lima kali berpindah Lokasi. Sebagian besar justeru ikan pelagis jenis suru, sedangkan untuk ikan dasar, kami hanya dapat puluhan ekor. Artinya, kondisi Pasi Tidore sudah tidak layak disebut surganya ikan.
SHARE