Tanah Terlantar Dipelihara Pengusaha - Jangan, Kata KPA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Kamis, 24 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai rencana penertiban tanah telantar yang disampaikan oleh Menteri Nusron Wahid sejatinya merupakan langkah strategis untuk mencegah upaya-upaya monopoli di lapangan agraria, sebagai bagian dari agenda reforma agraria. Namun, KPA berpesan agar kebijakan ini harus diarahkan untuk mencegah modus-modus spekulan tanah oleh badan usaha.

Dalam pernyataan tertulisnya, KPA menjelaskan, secara historis wacana ini sebenarnya juga bergulir sejak 1998. Waktu itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/1998 tentang Pendayagunaan Tanah Telantar (PP Tanah Telantar). PP ini kemudian diperbarui melalui PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Terbaru, pemerintah mengeluarkan PP No. 21/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar

Kebijakan dan upaya penertiban tanah telantar sejatinya merupakan mandat Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mewajibkan penyelenggara Negara menjalankan fungsi sosial dari hak atas tanah; memastikan setiap orang menggunakan tanahnya dengan memelihara, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakannya, sehingga lebih berdaya dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat; mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli swasta.

Tapi menurut Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, pemerintah selama ini belum mempunyai kemauan politik yang kuat menjalankan mandat tersebut. Dampaknya, monopoli dan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, khususnya oleh badan usaha skala besar semakin melebar.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

“Pengamatan kami di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama ini banyak badan usaha mengurus HGU dan HGB dengan tujuan spekulatif untuk mengambil keuntungan ekonomi dari tanah tersebut,” kata Dewi, Rabu (23/7/2025).

Di sektor perkebunan, lanjut Dewi, perluasan perkebunan sawit korporasi terus meningkat dalam satu dasawarsa terakhir, dari 15,39 juta hektare pada 2014 menjadi 17,76 juta hektare pada 2022. Situasi ini berbanding terbalik dengan penguasaan dan pemilikan tanah petani yang rata-rata hanya menguasai kurang dari 0,5 hektare.

“Ironisnya, proses penerbitan HGU dan HGB tersebut seringkali dilakukan secara sepihak; berada di atas tanah kampung dan wilayah masyarakat, sehingga memicu konflik agraria. Situasi ini tidak hanya merugikan negara, namun juga mengorbankan kehidupan jutaan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tanah,” ujarnya.

Dewi melanjutkan, catatan akhir tahun KPA 2024 menunjukkan bahwa periode 2015-2024 sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik dengan luas mencapai 7,4 juta hektare, yang berdampak pada 1,8 juta keluarga di Indonesia. Letusan konflik tersebut didominasi oleh sektor perkebunan dengan 1.243 letusan konflik, dengan luas mencapai 2,8 juta hektare dan korban terdampak sebanyak 431.680 keluarga.

Ia mengatakan, penyelesaian konflik agraria, salah satunya dari penertiban tanah telantar sebenarnya sudah menjadi wacana sejak lama. Lintas pemerintahan era reformasi pun sudah menjanjikan pelaksanaan reforma agraria.

“Namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti komitmen politik yang kuat. Hasilnya pemerintah hanya mempercepat program sertifikasi, alih-alih menempatkan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah sebagai prioritas,” ucap Dewi.

Dewi mengatakan, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, KPA telah mengusulkan 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan luas mencapai 1,7 juta hektare untuk diprioritaskan penyelesaian konfliknya. Lokasi-lokasi tersebut merupakan tanah garapan petani, kampung, dan desa-desa yang mayoritasnya berkonflik dengan HGU dan HGB, badan usaha Negara dan swasta.

Tapi penyelesaian konflik agraria, imbuh Dewi, termasuk yang berasal dari HGU dan HGB telantar mengalami kemandekan. Hasilnya, hanya 2,46% yang berhasil diselesaikan, itu pun hanya berasal dari eks HGU dan tanah telantar badan usaha swasta. Sementara penyelesaian konflik agraria hasil penertiban tanah telantar PTPN masih 0%.

“Jika benar-benar serius, sebenarnya tidak perlu menunggu lama untuk mengurai persoalan ini. Sudah banyak data-data, baik yang dimiliki pemerintah, maupun data usulan masyarakat. Bahkan Pemerintahan SBY di masa lampau mengatakan terdapat 7,3 juta hektare potensi tanah terlantar,” kata Dewi.

Dari sisi regulasi, lanjut Dewi, pemerintah sudah didukung UUPA 1960, TAP MPR No.IX tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam. Termasuk peraturan pelaksana yang tertuang dalam Perpres 62/2023 tentang Reforma Agraria dan PP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.

Dewi bilang, agar kebijakan dan upaya penertiban tanah terlantar ini tidak salah arah dan sesuai dengan tujuannya, seperti yang telah dimandatkan konstitusi dan UUPA 1960, maka pemerintah khususnya Kementerian ATR/BPN perlu melakukan dan memastikan beberapa langkah.

“Pertama, kebijakan penertiban tanah telantar harus diarahkan untuk mencegah modus-modus spekulan tanah oleh badan usaha yang menghasilkan monopoli dan ketimpangan penguasaan tanah agar menghadirkan rasa keadilan atas penguasaan tanah di tengah masyarakat,” katanya.

Yang kedua, memastikan prinsip kehati-hatian dan skala prioritas dengan menempatkan HGU dan HGB badan usaha skala besar sebagai target utama penertiban tanah telantar, alih-alih menertibkan kelompok masyarakat kecil yang justru semakin memicu perluasan dan meningkatkan eskalasi konflik agraria; mencederai rasa keadilan.

Ketiga, penertiban saja tidak cukup; harus pula diikuti semangat reform sehingga mampu menjadi terobosan politik penyelesaian konflik agraria, terutama dari HGU dan HGB swasta dan PTPN yang selama ini macet.  Artinya kebijakan ini harus selaras dengan agenda reforma agraria yang telah menjadi program Presiden Prabowo.

“Upaya penertiban haruslah menyasar daerah-daerah yang mengalami ketimpangan dan konflik agraria akibat monopoli badan usaha swasta dan negara,” ucap Dewi.

Dewi menambahkan, hasil penertiban tersebut diprioritaskan kepada kelompok ekonomi lemah melalui redistribusi tanah kepada para petani gurem, petani penggarap, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin perkotaan yang hidupnya bergantung dari mengolah dan menggarap tanah.

Langkah keempat, pemerintah perlu memastikan prinsip transparansi dan mendorong partisipasi publik secara luas untuk memastikan penertiban tanah telantar tidak salah sasaran dan mampu menyasar akar persoalan.

Dewi menuturkan, KPA selama ini telah mengusulkan lokasi-lokasi penyelesaian konflik agraria sebagai lokasi prioritas. Lokasi-lokasi tersebut merupakan wilayah-wilayah konflik agraria yang disebabkan penguasaan HGU dan HGB badan usaha yang sudah habis masa berlakunya, maupun ditelantarkan.

“Lokasi tersebut sudah menjadi tanah-tanah garapan masyarakat dan kampung-kampung, namun belum mendapatkan pengakuan sehingga masyarakat belum mendapatkan hak atas tanahnya,” ucap Dewi.

SHARE