Pisau Dua Mata Satgas Penertiban Kawasan Hutan

Penulis : Gilang Helindro

Agraria

Rabu, 23 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kebijakan penertiban kawasan hutan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2023 sebagai kebijakan yang berisiko menjadi “pisau bermata dua.” KPA menyatakan bahwa kebijakan yang seharusnya menjadi langkah strategis dalam menindak usaha ilegal di kawasan hutan justru bisa menyasar masyarakat adat, petani kecil, dan kelompok rentan lainnya, jika pelaksanaannya tidak hati-hati dan transparan.

Dalam pernyataan sikapnya, KPA menyebutkan frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (2) Perpres tersebut membuka ruang tafsir yang mengancam masyarakat yang selama ini tinggal dan bercocok tanam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. “Penertiban yang tidak selektif berpotensi memperburuk konflik agraria yang sudah lama berlangsung di banyak wilayah Indonesia,” tulis KPA dalam pernyataan sikapnya, dikutip Selasa, 22 Juli 2025.

KPA juga menyoroti pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) oleh Presiden Prabowo Subianto pada Januari 2025, yang hanya berselang satu bulan setelah Kementerian Kehutanan mengeluarkan daftar 436 subjek penertiban dengan total luas 790.474 hektare. Dalam lima bulan, Satgas PKH mengklaim telah menertibkan dua juta hektare lahan usaha ilegal, terutama sawit, kayu, dan tambang, meski hingga kini belum ada transparansi terkait lokasi dan subjek yang ditertibkan.

KPA menegaskan bahwa penertiban hanya akan selaras dengan tujuan reforma agraria apabila tanah yang ditertibkan diberikan kepada petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan. Sebaliknya, jika tanah tersebut justru kembali dikuasai oleh korporasi, maka kebijakan ini hanya akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria.

KPA juga mengkritisi komposisi kepemimpinan Satgas PKH yang dinilai terlalu militeristik, dengan dominasi Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri. Foto Istimewa/KPA.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat terdapat 42.471 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan yang diklaim negara. Dalam Sensus Pertanian 2023, BPS mencatat ada 2,19 juta petani gurem yang tinggal di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan. Menurut KPA, mereka adalah masyarakat juga terhambat dalam mengakses pembangunan karena pembangunan di kawasan hutan memerlukan izin khusus.

KPA juga mengkritisi komposisi kepemimpinan Satgas PKH yang dinilai terlalu militeristik, dengan dominasi Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri. Pendekatan seperti ini menurut KPA justru menimbulkan rasa takut dan memperbesar potensi kekerasan di lapangan. Dalam satu dekade terakhir, keterlibatan aparat dalam konflik agraria telah menyebabkan setidaknya 2.841 orang dikriminalisasi, 1.054 mengalami kekerasan fisik, 88 orang tertembak, dan 79 orang tewas.

Di Jambi, KPA menilai penertiban lahan telah disalahgunakan oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinarmas Group, yang menggunakan Satgas PKH sebagai alat untuk menggusur tanah milik anggota Serikat Tani Tebo (STT) di Desa Lubuk Mandarsah. Padahal, masyarakat telah tinggal di wilayah itu sejak 1813, jauh sebelum klaim kawasan hutan oleh perusahaan pada 2004. KPA menyebutkan total 20.660 hektare tanah petani terancam digusur di wilayah tersebut. Pola serupa juga ditemukan di 16 lokasi lain di Jambi.

Ironisnya, tanah-tanah yang kini menjadi objek penertiban Satgas PKH merupakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang sebelumnya sudah diajukan untuk penyelesaian konflik dan bahkan sudah ditinjau oleh Kementerian Kehutanan pada 2021. KPA mencatat telah menyerahkan 1,7 juta hektare LPRA sejak 2016, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut berarti dari pemerintah.

KPA menyatakan bahwa akar permasalahan agraria kehutanan terletak pada penetapan kawasan hutan yang keliru sejak awal, yang dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat di dalamnya sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Situasi makin memburuk pasca-berlakunya UU Cipta Kerja yang memperbolehkan penetapan kawasan hutan tanpa melalui tahapan lengkap sebagaimana sebelumnya.

KPA dan Serikat Tani di Provinsi Jambi mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi pelaksanaan Satgas PKH secara nasional. Mereka juga meminta pengembalian tanah kepada masyarakat, memastikan partisipasi publik dalam penentuan objek penertiban, serta membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) di bawah Presiden untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria yang adil dan berpihak pada rakyat kecil.

KPA menegaskan, hanya melalui koreksi terhadap batas kawasan hutan dan redistribusi tanah secara adil, warisan konflik agraria ini dapat diselesaikan secara menyeluruh.

SHARE