Darurat Mangrove: Dijajakan tapi Dihancurkan

Penulis : Parid Ridwanuddin, Peneliti Isu Kelautan Auriga Nusantara

OPINI

Selasa, 22 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

TAK ada satu pohon atau ekosistem yang paling banyak dijadikan alat diplomasi internasional oleh Pemerintah Indonesia dalam beberapa dekade terakhir kecuali mangrove. Dengan sebaran yang mewakili 23 persen ekosistem dunia, Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem mangrove yang wajib dilindungi. Hal ini wajib ditegaskan mengingat beragam fungsi ekosistem mangrove sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekaligus menjadi penanda keseimbangan wilayah pesisir dan laut.

Dalam sejarah perundang-undangan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat disebut sebagai undang-undang yang pertama kali menyebutkan pentingnya perlindungan mangrove. Dalam pasal penjelasan 41 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.

Lalu, di dalam UU 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil disebutkan aturan yang lebih tegas mengenai larangan merusak ekosistem mangrove beserta sanksi pidana lingkungan. Di dalam pasal 35 disebutkan: Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:  e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; g. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain.

Sanksi pidana untuk perusak mangrove disebutkan dalam pasal 73 UU 27 tahun 2007: dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah setiap orang yang dengan sengaja: (b) menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.

Ilustrasi Mangrove Jawa Timur. Foto: Istimewa/unplash

Jika berhenti di sini, kita menemukan bahwa perlindungan ekosistem mangrove mendapatkan ruang yang sangat memadai, bahkan sangat kuat, dalam UU Kehutanan dan terutama UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, karena memuat sanksi pidana bagi para pelaku perusakan ekosistem mangrove.

Ancaman UU Cipta Kerja dan aturan turunannya

Namun Ekosistem mangrove kini berada dalam ancaman yang sangat berbahaya setelah disahkan UU Cipta Kerja (UU 1 Tahun 2020 jo UU 6 Tahun 2023) beserta aturan turunannya. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan untuk menghancurkan hutan mangrove di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 pada PP 27 Tahun 2021 tersebut menyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa agenda-agenda perlindungan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman nyata.

Lebih jauh dari itu, ancaman perlindungan ekosistem mangrove datang dari PP No. 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pada tanggal 5 Juni 2025 lalu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP ini dan penting untuk mendapatkan catatan kritis dari masyarakat luas mengingat isinya tidak benar-benar melindungi ekosistem mangrove di Indonesia, meski namanya Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Sejak tahun 2023 lalu, kritik terhadap Rancangan PP ini telah disampaikan dengan sangat jelas. Di dalam dokumen Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Mangrove di Indonesia yang diterbitkan oleh WALHI Nasional, dijelaskan sejumlah poin bermasalah yang terdapat dalam draf Rancangan PP, di antaranya adalah memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove.

Sebaliknya yang digunakan adalah sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove. Lebih jauh, rancangan PP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif (Ridwanuddin, 2023).

Jika kita membaca PP No. 27 tahun 2025 dengan detail, PP ini tidak melihat perusakan ekosistem mangrove sebagai kejahatan lingkungan sekaligus tidak memberlakukan hukum pidana lingkungan bagi pelakunya. Sanksi yang ada dalam UU Cipta Kerja juga sangat jelas, yaitu sanksi administrasi. Sanksi ini sangat lemah dan tidak akan melahirkan efek jera bagi para pelaku perusakan mangrove. Poin mengenai sanksi ini dapat dilihat pada pasal 39.

Lebih jauh, PP ini mengizinkan perubahan ekosistem mangrove di kawasan lindung dengan syarat apabila melampaui penurunan persentase tutupan tajuk mangrove lebih besar atau sama dengan 25 persen (pasal 24 ayat2). Seharusnya, ekosistem mangrove di kawasan lindung ini dimasukkan ke dalam kategori No Go Zone (NGZ) dan tak dapat diubah untuk kepentingan ekstraktif. Pemanfaatan di wilayah ini dimungkinkan untuk riset, dan atau konservasi berbasis masyarakat.

Hancur di dalam, harum ke dunia internasional

Ekosistem mangrove telah menjadi ikon diplomasi internasional. Namun, keberadaan UU Cipta Kerja, PP 27 Tahun 2021, dan PP 27 Tahun 2025 penting untuk dipertanyakan mengingat substansinya tidak menempatkan perlindungan mangrove sebagai jantung utamanya. Padahal, dalam berbagai forum atau aliansi internasional, Pemerintah Indonesia selalu mengkampanyekan mangrove bahkan “menjualnya” untuk mendapatkan dukungan pendanaan internasional. 

Salah satu aliansi internasional yang menjadi ruang kampanye pemerintah Indonesia menggalang dukungan pendanaan adalah Mangrove Alliance for Climate (MAC). Aliansi ini diluncurkan secara resmi pada KTT (COP) Perubahan Iklim ke-27 di Mesir pada tahun 2022 yang merupakan inisiatif Uni Emirat Arab dan Indonesia. Aliansi ini telah diperkuat oleh India, Sri Lanka, Australia, Jepang, and Spanyol, yang kini telah menjadi anggotanya.

Dalam aliansi ini, Norwegia telah menyatakan bergabung pada tahun 2024 lalu, setelah sebelumnya KTT (COP) Perubahan Iklim ke-28 di Dubai, Indonesia dipercaya sebagai ketua MAC. Norwegia, melalui lembaga Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI), menyatakan bahwa aliansi MAC bertujuan untuk mendorong perlindungan dan restorasi 15 juta hektare mangrove di seluruh dunia, serta menghentikan kerusakan mangrove pada tahun 2030, serta memobilisasi dana sebesar USD 4 miliar untuk tujuan ini. Jika melihat sebaran luasan mangrove, maka Indonesia akan menjadi penerima manfaat dukungan pendanaan ini (NICFI, 2024).

Sekali lagi, dukungan pendanaan sebesar itu penting dipertanyakan oleh masyarakat luas mengingat regulasi perlindungan ekosistem mangrove sangat lemah sekaligus ekspansi industri ekstraktif yang menghancurkan ekosistem mangrove dijustifikasi atas nama pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan atau hilirisasi nikel untuk mendorong mobil listrik yang ramah lingkungan.

Berbagai skema pendanaan internasional untuk ekosistem mangrove seharusnya diarahkan untuk memastikan perlindungan eksosistem mangrove yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia dan keseimbangan pesisir laut Indonesia.

Diplomasi mangrove ke dunia internasional sesungguhnya harum ke luar, tetapi hancur ke dalam karena tidak ada kemauan politik (political will) untuk melindungi mangrove sebagaimana terdapat dalam berbagai aturan terbaru, khususnya UU Cipta Kerja serta PP Perlindungan dan Pengelolaan Mangrove. Lebih jauh, kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia, khususnya yang terdampak oleh industri skala besar tidak benar-benar dipulihkan.  

Menjelang perayaan Hari Mangrove se-Dunia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli, masyarakat pesisir yang hidup di lebih dari 12 ribu desa pesisir, penting untuk mendesak pemerintah Indonesia mendesain ulang agenda perlindungan mangrove. PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove merupakan kado pahit untuk masyarakat pesisir di seluruh Indonesia. Sebagai pemiliki wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil, masyarakat pesisir di Indonesia layak untuk mendapatkan regulasi perlindungan ekosistem mangrove yang lebih adil dan melindungi hak-hak mereka.   

SHARE