Sejarah Punah di Pulau Kami

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Senin, 28 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Tangan Max Sigoro menunjuk sebuah bukit setinggi 20 meter yang menjorok ke laut ketika melintas di perairan di muka PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Bukit itu menjadi satu-satunya pemandangan hijau di tengah kompleks PT IWIP di perairan Lelilef, Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. 

Rapatnya pepohonan membuat tanah dan bebatuan di bawahnya gelap. Sedangkan di sekitarnya, lalu lalang tongkang, truk, dan ekskavator seolah tak berhenti meratakan tanah untuk reklamasi ataupun mengangkut nikel dari dalam smelter ke pelabuhan.

Gelombang yang tenang di perairan itu pada Jumat 15 Maret 2024 lalu memberi Max kesempatan mengendalikan perahu dengan satu tangan sembari menjelaskan beberapa titik lokasi. Max adalah nelayan dari Desa Gemaf, ia biasa mengingat lokasi mencari ikan dengan menghubungkan dengan ciri geografis tertentu, seperti bukit yang ditunjuknya. Ia hafal bukit-bukit yang dikeramatkan karena diyakini sebagai tempat tinggal nenek moyang orang Sawai, penduduk asli pesisir Halmahera Selatan. 

“Itu Tanjung Uli, tempat keramat orang Sawai,” ucapnya di atas perahu. 

Bangkai kapal kayu yang sudah tak terpakai di perairan Lelilef dekat PT IWIP, Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Mubaliq Tomagola/ Walhi

Tanjung Uli terletak di tengah bentang pesisir konsesi PT IWIP, sepanjang 10 km di pesisir Lelilef, Teluk Weda. Kawasan pengolahan nikel ini merupakan bagian dari proyek hilirisasi nikel pemerintah yang mulai dibangun sejak 2018.

Tanjung Uli merupakan tempat keramat bagi orang Sawai di Lelilef, Halmahera Tengah. Nampak pagar pantai mengelilingi kawasan itu. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita

PT IWIP seluas 5.000 ha dibangun di atas lahan desa Lelilef Sawai, milik Suku Sawai di Halmahera Tengah. Perusahaan ini merupakan patungan tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.

Penguasaan lahan ini pun meliputi tempat-tempat keramat dan lokasi potensial arkeologis di daerah itu. Kepala Adat Sawai, Harnemus Takuling, menceritakan gua di bukit itu menyimpan tulang belulang yang diyakini sebagai leluhur orang Sawai.

“Pusat sejarah orang Sawai itu ada di situ. Kami punya moyang itu punya tempat  jalannya di situ,” kata dia ketika dijumpai di rumahnya, Desa Lelilef Sawai, Halmahera Tengah, Maluku Utara. 

Sebagian Suku Sawai punya kebiasaan untuk berziarah ke makam itu. Mereka menaruh gerabah, koin, dan membakar dupa di sekeliling tulang belulang dalam gua. Sekarang warga sama sekali tak boleh menginjak bukit itu lagi. 

“Tidak pernah ada pembicaraan dengan perusahaan soal Tanjung Uli, kami kecewa, tak ada lagi yang bisa ziarah,” kata dia. 

Tak hanya Tanjung Uli saja yang menjadi tempat keramat bagi Suku Sawai. Abdullah Hambar, warga Sawai yang tinggal di Lelilef Weibulen menyebutkan terdapat tempat keramat Cekel di perbukitan belakang Desa Lelilef Sawai dan Wei Bulen. 

Cekel diyakini sebagai moyang Suku Sawai dan digambarkan sebagai sosok manusia besar yang menjadi muasal Suku Sawai. Tempat itu cukup sederhana, berupa susunan batu kecil melingkar dengan sisa gerabah, koin dan bakaran dupa. Sama halnya dengan Tanjung Uli, tempat itu merupakan lokasi peziarahan.

Arkeolog Universitas Khairun di Ternate, Nurakhman, menyebutkan tempat keramat merupakan petunjuk adanya peninggalan arkeologi, demikian pula dengan Tanjung Uli.

Pada 2010, ia bersama sejumlah tim arkeologi Unkhair melakukan survei di dalam dan sekitar konsesi PT Weda Bay Nickel (WBN). Survei ini meliputi pula tempat-tempat keramat itu. Setidaknya terdapat lima tempat keramat dengan potensi arkeologi. 

Pertama adalah Tanjung Ulie, bukit yang memiliki ceruk keramat berisi peninggalan arkeologis berupa sisa kerangka manusia dan fragmen keramik. 

“Beberapa peninggalan arkeologi ini sangat signifikan, terutama dari masa prasejarah,” kata dia.

Kedua, Gua Paniki yang terletak sebelum masuk konsesi PT WBN. Karakteristik gua ini menunjukkan potensi sebagai hunian dengan lantai datar, tanah yang cenderung hangat, dan dekat dengan mata air. Di dalamnya terdapat artefak gerabah dan ekofak kerang. 

Ketiga, Keramat Tabalik yang tak jauh dari Gua Paniki. Pada tempat ini terdapat sebaran keramik asing yang kaya raya.  

Keempat, Ceruk Gemaf yang berada di perbukitan belakang Desa Gemaf, tetangga PT IWIP. Beberapa ceruk-ceruk di sana mengindikasikan menjadi tempat hunian sementara karena hanya ditemukan ekofak. 

Temuan permukaan di Gua Yoli, Halmahera. Data: Dokumen Balai arkeologi Ambon

Kelima, makam keramat Cekel atau sering disebut Tete Cekel. Kawasan ini diyakini merupakan tempat tinggal protohistori. Temuan artefak di tempat ini mencakup keramika asing dan sebuah stone incluser, susunan batu kecil melingkar. 

Temuan ini menunjukkan bahwa jejak peradaban di Halmahera sudah lama. Dari masa prasejarah ada tradisi penghunian gua, kemudian masuk masa protohistori, kemudian berlanjut pada masa kerajaan Islam Tidore, masa kolonial, hingga masa kini. 

Survei yang dilakukannya itu didukung oleh PT WBN, sang pemilik konsesi. Kala itu timnya merekomendasikan perlindungan kawasan arkeologi untuk kemudian dicagarkan oleh perusahaan. 

“Konsekuensinya adalah situs tersebut tidak diganggu oleh pertambangan.  Meski akhirnya dia akan terlokalisir, tapi setidaknya itu adalah bukti. Jejak-jejak terakhir yang masih bisa didapatkan,” ucap dia. 

Pada akhir survei itu, ia memastikan seluruh ekofak maupun artefak tidak diambil untuk dipindahkan ke museum atau lembaga penelitian. Tim nya menjaga etika karena survei disponsori oleh perusahaan, bukan pemerintah yang memiliki kewenangan. 

Pada 2013, Balai Konservasi Ambon melakukan survei di Halmahera Tengah. Mereka melakukan penelitian pada sembilan titik lokasi di pesisir hingga pedalaman. Tak semua titik lokasi ini sama dengan survei yang dilakukan oleh Nurahman. 

Dua titik survei berada di selatan Kota Weda, yakni gua dan pemakaman Nusliko yang terletak sekitar lima kilometer di selatan Kota Weda, Ibu Kota Halmahera Tengah. Pengamatan tim pada Gua Nusliko tidak menemukan indikasi peninggalan, hanya temuan moluska saja. 

Titik survei paling banyak dilakukan di sekitar Desa Gemaf. Para arkeolog ini melakukan survei pada lima titik, yakni Gunung Sora 1, Gua Sora 2, Gua Sora 3, Parigi 2, Kali Gemaf dan Gua Yoli. 

Potensi arkeologi terdapat di Kali Gemaf dan Gua Yoli. Di Kali Gemaf ditemukan dua indikasi temuan alat prasejarah berupa batu serpih dan sebuah parut besar. 

Sedangkan di Kali Yoli ditemukan sebuah ceruk peneduh berlantai kering. Ceruk itu terbagi dalam dua ruang, bagian depan ditandai dengan pintu masuk selebar 5,5 meter dan tinggi 2 meter. Pada bagian dalam terdapat ruang dengan lebar 1,15 meter. Jejak moluska, fragmen gerabah, dan indikasi alat bantu juga ditemukan di daerah itu. 

Potret Goa Bokimoruru di Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: FWI

Satu titik survei dilakukan di Desa Sagea, yakni Gua Bokimoruru. Gua ini dialiri oleh aliran Sungai Sagea. Dari penyusuran sungai ditemukan proto kapak penetak di bantaran sungai dekat pintu masuk gua.

Temuan artefak ini masih perlu diperdalam dan dikaitkan dengan penelitian jejak hunian masa lalu di Maluku Utara yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian antara 1991-1996 didapat temuan rekam fase kronologi tertua berasal dari fase pra-keramik dengan penanggalan mencapai 32,500 tahun lalu di Situs Gua Golo, di Pulau Gebe. Beberapa situs dengan penanggalan yang lebih muda teridentifikasi di Daeo 2 di Pulau Morotai (14,000 BP), Um Kapat Papo di Gebe (6,500 BP), dan Siti Nasifah di Weda dengan penanggalan 5,500 tahun silam. 

Selain itu terdapat studi atas kawasan utara Wallacea meliputi Talaud di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sula di Maluku Utara. Hasil penelitian menemukan inisiasi okupasi manusia dapat ditarik hingga setidaknya masa Pleistosen Akhir, sekitar 30,000 tahun silam. 

Penelitian ini pun memberikan catatan bahwa situs-situs tersebut terancam rusak atau hilang karena masuk dalam konsesi PT WBN.  

Nurahman menyebutkan temuan-temuan ini masih perlu ditindaklanjuti. Kerusakan temuan survei arkeologi akibat tambang akan merugikan studi antropologis. 

“Temuan ini memiliki berbagai potensi, seperti mengungkap persebaran manusia melalui kawasan timur, terutama Halmahera. Tentu hal ini perlu dihubungkan dan diperdalam dengan temuan sebelumnya dan juga dengan temuan lainnya, seperti soal persebaran bahasa ataupun lainnya,” ucapnya. 

Tambang tak hanya mengancam lokasi arkeologis, tetapi juga kehidupan dan ikatan masyarakat dengan lingkungannya. Gua Bokimoruru misalnya, selama ini terjaga kondisinya karena masyarakat Desa Sagea memiliki ikatan kuat dengan sungai dan gua ini. Mereka rutin menggelar menggelar ritual ‘arwahan’. Koordinator Save Sagea, Adlun Fikri, menyebutkan ritual ini biasa digelar jika ada keperluan atau hajat di kampung.

“Ritual ini dimulai dengan tahlil di masjid, lalu dari muara sungai mereka memberi sesajen dan masuk lebih dalam ke sungai hingga dalam gua. Ada beberapa titik sesaji itu ditaruh,” ucapnya melalui telepon.

Tak hanya itu, menurut perempuan Sagea, Nursida Can, sungai dan gua itu sangat penting bagi masyarakat Sagea karena menjadi penyedia air bersih. Bahkan keasrian kondisi sekitar gua dan bersihnya air sungai menjadi daya tarik wisata. 

Namun konsesi pertambangan karst di sekitar gua itu mengancam kondisi gua dan sungai itu. Beberapa kali air sungai berubah menjadi keruh karena aktivitas pertambangan di belakang pegunungan karst di balik Gua Bokimoruru. 

“Ini tak hanya mengancam temuan arkeologi tetapi juga kehidupan kami karena demikian bergantungnya kehidupan desa ini dengan Gua Bokimoruru dan Sungai Sagea,” ucap Nursida.  

Tangkapan citra satelit bukaan PT IWIP di Halmahera, Maluku Utara pada Desember 2023. Data: Auriga Nusantara. 

Langkah penyelamatan peninggalan antropologis ini tidak mudah. Hilirisasi nikel telah mendorong pertambangan besar-besaran di Halmahera. Catatan Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang memiliki luas 227.683 hektare telah dibebani dengan 66 izin tambang dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 ha (60 persen).

Pihak PT IWIP sendiri membantah jika operasi perusahaannya merusak ataupun membatasi akses warga. Communication Manager PT IWIP, Setya Yudha Indraswara, menyebutkan perusahaannya selama ini menjaga situs-situs itu. 

“Tidak sembarangan karyawan boleh mengakses lokasi-lokasi seperti Tanjung Uli. Kami sangat memperhatikan kawasan itu,” ucapnya.

Meski demikian, perusahaannya tetap membuka akses terhadap masyarakat untuk melakukan kegiatan ritual. 

Namun selain Tanjung Uli masih banyak kawasan-kawasan arkeologis dan dikeramatkan yang tak boleh diusik, bahkan oleh pertambangan.

SHARE