MK Tolak Permohonan Uji Formil UU Konservasi dari Masyarakat Adat

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Jumat, 18 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Putusan tersebut, dibacakan Kamis, 17 Juli 2025, dinilai sebagai kemunduran dalam pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal dalam melakukan konservasi berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. 

UU KSDAHE disahkan pada Agustus 2024, dan merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Proses pembentukan dan pembahasannya berjalan tertutup dan minim partisipasi masyarakat sipil, salah satu poin para pemohon dalam uji formilnya ke MK. Menurut para pemohon, masyarakat berhak dilibatkan dalam pembentukan undang-undang ini, karena kebijakan ini berdampak pada ruang hidup, budaya, dan sumber penghidupan mereka. 

Keempat pemohon yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi korban kriminalisasi. 

“Putusan ini menjadi preseden buruk bagi proses legislasi ke depan dan semakin mengesampingkan suara kelompok rentan dan terdampak langsung, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal,” kata Syamsul Alam Agus, kuasa hukum pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Konservasi Yang Berkeadilan.

Masyarakat adat Sungai Utik di hutan adatnya di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 2015. Dok. Wikimedia Commons

“Dengan permohonan uji formil ini, pemerintah dan DPR harus mulai menata ulang proses legislasi yang inklusif, demokratis, dan menghormati keberadaan masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati, sebagaimana penegasan Mahkamah Konstitusi pada putusan ini,” kata Syamsul. 

Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Teo Reffelsen mengatakan, putusan MK memuat paradoks. “Di bagian pertimbangan, karena di satu sisi menolak namun disisi lain menyarankan pembentuk undang-undang untuk memaksimalkan partisipasi dalam pembentukan perundang-undangan melalui teknologi informasi,” katanya. 

“Terlihat jelas pertimbangan MK untuk menolak permohonan ini tidak solid dan cenderung ragu-ragu dalam memutus perkara,” ujarnya. 

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa ketiadaan partisipasi penuh dan efektif akan membuat Undang-Undang ini kehilangan legitimasinya di hadapan masyarakat adat.

“Bagi kami masyarakat adat, proses pembentukan UU KSDAHE serta putusan MK ini tidak mencerminkan partisipasi penuh dan efektif. Hal ini sesuai dengan fakta persidangan yang menyebutkan dari 21 pembahasan hanya dua yang terbuka untuk umum. Itu pun masukan masyarakat adat dan masyarakat sipil tidak diakomodir,” kata Rukka. 

Dissenting opinion

Dua hakim, Suhartoyo dan Saldi Isra, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) saat pembacaan amar putusan. Mereka menyebut, proses pembentukan undang-undang bersifat tertutup. Hal ini berimbas pada sulitnya masyarakat mengakses informasi maupun perkembangan pembahasan aturan tersebut. 

Keduanya menyatakan bahwa, pembahasan secara tertutup tanpa alasan valid berdampak pada pengabaian asas keterbukaan dan keterlibatan publik. Sehingga seharusnya MK menyatakan UU KSDAHE mengandung cacat formil sehingga proses pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945. 

“Dengan demikian, pokok permohonan Para Pemohon adalah beralasan menurut hukum. Atau, setidak-tidaknya Mahkamah Konstitusi harus mengabulkan untuk sebagian permohonan Para Pemohon,” kata kedua hakim tersebut seperti dicatat para pemohon. 

SHARE