Dugaan Perbudakan Modern di Toba Pulp Lestari Diminta Diusut
Penulis : Gilang Helindro
Agraria
Jumat, 11 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Organisasi masyarakat sipil dan buruh mendesak pemerintah segera mengusut tuntas dugaan kejahatan agraria, pelanggaran ketenagakerjaan, dan praktik eksploitasi yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah Tano Batak, Sumatera Utara. Desakan ini disampaikan dalam pernyataan sikap bersama yang disampaikan oleh 10 organisasi pada Kamis, 10 Juli 2025.
PT TPL, perusahaan bubur kertas milik konglomerat Sukanto Tanoto, dituding telah lama melakukan perampasan tanah adat, perusakan lingkungan, kriminalisasi warga, hingga eksploitasi buruh melalui skema kerja kontrak tanpa perlindungan. Aktivitas konsesi perusahaan disebut berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat adat dan buruh yang bekerja di bawah sistem Buruh Harian Lepas (BHL).
“TPL tidak hanya merampas wilayah adat masyarakat Tano Batak, tapi juga melakukan praktik kerja eksploitatif yang menjurus pada perbudakan modern,” tulis pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh gabungan organisasi seperti KPA, KSPPM, KASBI, GSBI, AMAN Tano Batak, dan lainnya dikutip Jum'at, 11 Juli 2025.
Berdasarkan data yang dihimpun, PT TPL saat ini menguasai konsesi seluas 167.912 hektare yang tersebar di 12 kabupaten di Sumatera Utara, berdasarkan SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020. Konsesi tersebut disebut tumpang tindih dengan wilayah adat, menjadi sumber konflik agraria berkepanjangan sejak perusahaan ini berdiri dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama pada 1980-an.

Selain konflik lahan, PT TPL juga diduga melanggar hak-hak pekerja. Sebanyak 6.072 buruh direkrut melalui perusahaan outsourcing dan bekerja sebagai BHL tanpa perjanjian kerja tertulis. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Nias, Siantar, Dolok Sanggul, dan Tanjung Balai. Buruh disebut bekerja 10–12 jam per hari dengan target pemeliharaan lahan 10 hektare per orang, tanpa jaminan upah jika sakit, tanpa cuti haid dan melahirkan bagi buruh perempuan, serta potongan upah yang tinggi dan tidak transparan.
TPL juga disebut memotong upah buruh untuk berbagai alasan, termasuk kegagalan tanam dan pembelian alat kerja, dengan potongan berkisar Rp30.000–Rp45.000 per hari dari upah harian sebesar Rp130.000. Para buruh dan keluarganya tinggal di tenda-tenda seadanya, dan harus menyerahkan sebagian upah jika ingin menempati hunian permanen.
Ketiadaan serikat buruh di lingkungan kerja PT TPL membuat para BHL tidak memiliki wadah kolektif untuk menyampaikan keluhan atau memperjuangkan hak-haknya. “Ini bentuk pelanggaran atas hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh undang-undang,” tulis pernyataan tersebut.
Atas berbagai dugaan pelanggaran tersebut, gabungan organisasi mendesak agar PT TPL segera menghentikan perampasan tanah adat, perusakan lingkungan, serta pelanggaran terhadap hak-hak pekerja. Mereka juga menuntut agar perusahaan bertanggung jawab dengan mengembalikan tanah dan wilayah adat masyarakat, serta memulihkan kondisi lingkungan dan memenuhi hak-hak buruh yang selama ini diabaikan.
Selain itu, mereka meminta Kementerian Ketenagakerjaan mengusut praktik kerja paksa dan memastikan pemulihan serta perlindungan terhadap para pekerja. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta untuk segera mengevaluasi dan mencabut izin HTI PT TPL, sementara Kementerian ATR/BPN, KLH, dan Kemenhut diharapkan mencabut klaim hutan negara atas wilayah adat. Gabungan organisasi ini juga mendesak Presiden Prabowo untuk segera menjalankan reforma agraria sejati guna menyelesaikan konflik agraria dan menata ulang penguasaan tanah secara adil demi kesejahteraan masyarakat adat, petani, nelayan, serta kaum buruh.
Gabungan organisasi yang menyampaikan pernyataan ini di antaranya: Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi KASBI, GSBI, KPBI, KSN, F-Serbundo, AMAN Tano Batak, Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, dan Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU).
SHARE