Orang Muda: Melaporkan Pencemaran seperti Berteriak dalam Botol
Penulis : Gilang Helindro
Polusi
Sabtu, 05 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivis muda lingkungan hidup dari Indonesia, Aeshnina Azzahra Aqilani, menyerukan kepada Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) agar memperkuat perlindungan terhadap anak-anak dari dampak perubahan iklim dan pencemaran lingkungan.
Dalam Workshop Regional AICHR tentang Perspektif Gender dalam Bisnis dan HAM di Kuala Lumpur, Nina menyampaikan bahwa suara anak muda masih kerap diabaikan oleh pemerintah, padahal mereka menjadi kelompok rentan dalam krisis iklim dan polusi. “Sebagai anak muda, saya merasa tidak terlihat. Suara saya tidak berarti dan diabaikan pemerintah,” ujar Nina, Koordinator Komunitas River Warrior Indonesia, dikutip Kamis 3 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa meskipun dirinya sudah berkali-kali mengirim surat kepada pemerintah Indonesia terkait perdagangan sampah plastik global, hingga kini belum ada tanggapan nyata. “Uni Eropa justru membalas surat saya dan berjanji akan menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia pada November 2026.”
Nina, yang selama ini aktif menyuarakan penolakan terhadap impor sampah plastik dari negara maju, mengusulkan tiga prinsip untuk sistem pengaduan yang ramah anak, yakni pengakuan, perlindungan, dan tindakan nyata. Ia menekankan pentingnya pengakuan anak sebagai pemegang hak, penyediaan kanal pelaporan yang aman, serta perjanjian resmi antara pemerintah, industri, dan komunitas untuk menjamin keadilan tanpa harus viral di media sosial.

“Kami ingin sistem yang mencakup pendidikan dan pendampingan untuk anak-anak. Melaporkan pencemaran tidak boleh terasa seperti berteriak di dalam botol, tapi harus seperti membuka pintu menuju perubahan,” ujarnya.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat rawan bencana dan rumah bagi seperempat populasi anak dunia. Data UNICEF menunjukkan 140 juta anak sangat terpapar kelangkaan air, sementara 460 juta anak menghirup udara tercemar. Di Indonesia, lebih dari 90% sungai tercemar limbah industri, domestik, dan bahan kimia. Pembakaran sampah plastik secara terbuka juga masih lazim, termasuk di desa-desa yang menggunakan plastik sebagai bahan bakar produksi tahu.
Nina menyoroti bagaimana pencemaran turut berdampak pada kesehatan mental anak. Survei terhadap 1.183 responden Gen Z menunjukkan 93,2% merasa cemas terhadap krisis iklim dan pencemaran plastik. “Banyak anak muda mengalami stres dan kecemasan iklim, terutama anak perempuan yang juga menghadapi tekanan sosial tambahan,” kata Nina.
Laporan UNICEF bertajuk “Violence Against Children: The Forgotten Impact of Climate Change” (April 2025) juga menyebutkan bahwa anak perempuan menjadi korban ganda dalam bencana iklim, seperti meningkatnya risiko pernikahan dini, kekerasan berbasis gender, serta gangguan kesehatan seperti demam berdarah dan diabetes akibat paparan makanan dan lingkungan tidak sehat.
Menurut Nina, akar persoalan ada pada praktik bisnis yang mengabaikan lingkungan demi keuntungan. Ia menuntut penegakan hukum lingkungan yang nyata, bukan hanya regulasi di atas kertas. “Perusahaan pencemar harus didenda atau ditutup. Pemerintah harus membuka ruang aman bagi masyarakat untuk melapor dan mendukung korban, khususnya perempuan dan anak-anak.”
“Air bersih, udara bersih, dan rumah yang aman bukanlah kemewahan, tapi hak asasi manusia,” tegasnya. Nina menutup seruannya dengan mendesak agar industri mematuhi standar pengelolaan limbah, terutama di sektor berbahaya seperti plastik dan pertambangan.
SHARE