Pulau-pulau bisa 100% Mandiri Energi Terbarukan: Riset IESR
Penulis : Gilang Helindro
Energi
Kamis, 03 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan sistem energi 100 persen terbarukan di berbagai pulau. Dalam peluncuran studi terbaru bertajuk “Pulau Berbasis 100% Energi Terbarukan dan Fleksibilitas pada Sistem Tenaga Listrik”, IESR menekankan bahwa model sistem energi mandiri berbasis pulau dapat memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mempercepat target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) sebelum 2060.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan, pengembangan energi terbarukan di setiap pulau merupakan pilihan strategis, tidak hanya dari sisi geografis tetapi juga ekonomis. Pembangunan jaringan listrik antar-pulau melalui kabel bawah laut bisa mencapai tiga hingga lima kali lebih mahal daripada kabel darat, yakni sekitar USD 2–3 juta per kilometer. "Selain itu, pengembangan energi bersih juga mengurangi risiko logistik dan krisis energi akibat ketergantungan bahan bakar fosil di pulau-pulau terpencil," kata Fabby dikutip Selasa, 1 Juli 2025.
Studi ini menunjukkan bahwa Pulau Timor, Sumbawa, dan Sulawesi bisa memenuhi 100 persen kebutuhan listrik dari sumber energi terbarukan. Di Pulau Timor, potensi energi mencapai 30,81 gigawatt (GW) dengan dominasi tenaga surya sebesar 20,72 GW. Strategi transisi energi yang disarankan meliputi penggantian PLTU dan PLTG yang masih dalam perencanaan dengan pembangkit berbasis energi terbarukan pada 2025–2035, serta penghentian total pembangkit fosil dan pensiun dini PLTU Timor pada 2050. Sistem kelistrikan Timor pada 2050 diperkirakan akan berbasis 82 persen energi surya, 9 persen mini hidro, 6 persen angin, dan 3 persen biomassa.
Sementara itu, Pulau Sumbawa memiliki potensi 10,21 GW, dengan energi surya sebesar 8,64 GW sebagai kontributor terbesar. Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat telah menetapkan target NZE pada 2050, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 47 persen pada 2034. Strategi jangka pendek IESR untuk Sumbawa adalah mengganti proyek pembangkit fosil yang masih direncanakan, dan dalam jangka panjang mengganti pembangkit fosil dengan hidrogen serta amonia hijau.

Untuk wilayah Sulawesi, IESR menekankan pentingnya fleksibilitas sistem kelistrikan agar mampu menyerap energi terbarukan variabel seperti surya dan angin. Potensi energi terbarukan di Sulawesi mencapai 63 GW, dan porsi VRE (variable renewable energy) diperkirakan meningkat dari 2,4 persen pada 2024 menjadi 29 persen pada 2060. Dalam jangka pendek, sistem akan mengandalkan pembangkit fleksibel dari hidro, fosil, dan sumber baru lainnya. Sedangkan pada jangka panjang, teknologi penyimpanan energi seperti baterai, interkoneksi antar-pulau, dan pengelolaan musiman akan menjadi kunci.
Menurut IESR, transformasi menuju energi terbarukan di Indonesia akan membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah melalui pembentukan kerangka hukum yang jelas, penyediaan skema pembiayaan untuk pensiun dini PLTU, dan reformasi sistem perencanaan serta pengadaan energi. IESR juga mendorong investasi di teknologi penyimpanan energi dan infrastruktur jaringan listrik agar sistem lebih fleksibel dalam menyerap energi bersih. Selain itu, proses penyusunan kebijakan energi harus mencakup peta jalan transisi hidrogen hijau dan proyek percontohan yang dapat direplikasi di daerah lain.
Analis IESR Alvin P. Sisdwinugraha menyebut bahwa kolaborasi lintas pemangku kepentingan sangat penting. Pemerintah harus menyelaraskan kebijakan antar-sektor, penyedia energi perlu berbagi sumber daya dan perencanaan regional, dan sektor swasta mesti dilibatkan melalui kerangka investasi yang stabil. "Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat memanfaatkan keunggulan sebagai negara kepulauan tropis untuk menjadi contoh global dalam transisi energi berkelanjutan," kata Alvin.
SHARE