Main Langgar di Terminal Nikel Halmahera Timur
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 26 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembangunan terminal khusus (tersus) atau jetty oleh perusahaan tambang nikel PT STS di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Maba, Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, menabrak aturan pemanfaatan ruang laut. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam sebuah surat yang diterima Salawaku Institute.
Surat dengan nomor B.250/DJPRL.6/PRL.140/VI/2025 itu, menyebutkan PT STS telah mengajukan permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) kepada Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut, KKP, namun hingga saat ini KKPRL belum dapat diterbitkan berkaitan dengan adanya kebutuhan kajian teknis lebih lanjut terkait potensi konflik sosial dan pencemaran lingkungan.
Berkaitan itu, KKP menegaskan, dengan belum terbitnya KKPRL yang dimohonkan oleh PT STS, maka perusahaan seharusnya menghentikan sementara kegiatan operasional terminal khusus sampai KKPRL diterbitkan oleh Lembaga OSS.
Menanggapi itu, Ketua Salawaku Institute, M. Said Marsaoly, mengatakan, surat resmi dari KKP ini memperjelas bahwa jetty yang dibangun PT STS di Memeli adalah pelanggaran hukum yang nyata. Lebih dari itu, ini tidak sekedar perihal izin administratif melainkan soal masa depan pesisir, laut, dan masyarakat adat yang hidup dari ruang itu.

Ia menyebut bahwa perusahaan sangat tidak menghargai aturan dan hukum yang berlaku, dan ini juga harus dipandang sebagai pelanggaran serius. Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah bertindak tegas.
“Tidak boleh ada kompromi terhadap pelanggaran ruang hidup,” ujar Said yang juga warga Halmahera Timur, Rabu (25/6/2025).
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, berpendapat pemerintah harus mencabut izin usaha pertambangan PT STS. Selain itu, ia berharap agar aparat penegak hukum, KKP, Dinas Lingkungan Hidup dan Pemda Haltim tidak bungkam.
“Mereka tidak harus menjadi alat pembenaran dari kejahatan korporasi. Penegakan hukum harus ditegakkan kepada perusahaan, bukan hanya kepada rakyat yang mempertahankan hak-haknya,” ujar Julfikar.
Salawaku Institute dan Jatam Maluku Utara, kemudian mendesak kepada Polres Haltim dan Polda Maluku Utara untuk segera melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana lingkungan, pelanggaran tata ruang.
Mereka juga meminta kepada KKP melalui Ditjen PRL untuk menerbitkan surat resmi penolakan atau pembatalan atas permohonan KKPRL yang diajukan PT STS. Sebab jetty tersebut sudah dibangun tanpa dokumen KKPRL yang sah.
Dua kelompok masyarakat sipil ini juga meminta Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Haltim mengeluarkan surat resmi penghentian aktivitas (SPP) di lokasi pembangunan jetty Memeli, serta memproses sanksi administratif hingga pencabutan izin kegiatan berdasarkan UU Lingkungan Hidup. Mereka meminta Bupati Haltim bertindak tegas dengan menerapkan Perda RTRW, sebab pembangunan jetty Memeli adalah pelanggaran tata ruang.
Untuk diketahui, Salawaku Institute pada 2 Juni 2025 melayangkan surat ke Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan nomor 015/SI/V/2025 perihal Permohonan Keterangan Resmi Terkait Legalitas Terminal Khusus.
Adapun dalam surat balasannya, KKP menyebutkan bahwa angka 12, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007—sebagaimana telah diubah melalui Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari pemerintah pusat.
Pada Angka 13, Pasal 16A menyebutkan bahwa setiap orang yang memanfaatkan ruang dari perairan pesisir yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dikenai sanksi administratif.
SHARE