Sembrono Satgas di TN Tesso Nilo
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Rabu, 25 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Upaya penertiban kawasan hutan oleh Tim Satuan tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dinilai dilakukan secara sembrono dan tidak didasarkan pada perencanaan pemulihan. Demikian menurut kelompok masyarakat sipil.
Kelompok masyarakat sipil juga memandang perintah kepada masyarakat untuk relokasi secara mandiri dari kawasan TNTN, paling lambat 22 Agustus 2025, juga berpotensi akan menimbulkan letusan konflik yang lebih besar. Terutama bila Satgas PKH melakukan tindakan penertiban dengan pendekatan militeristik dan represif.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Andri Alatas, mengatakan, penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan dengan dua semangat penting, yakni menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup. Karena itu, lanjut Andri, penertiban di kawasan TNTN harus dilakukan selaras dengan upaya penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat.
Selanjutnya, proses ini harus dengan tegas memperhatikan beberapa kluster kelompok berdasarkan luas penguasaan. Beberapa kelompok yang harus dikluster yakni, masyarakat yang menguasai kurang dari 5 hektare dan telah melakukan aktivitas lebih dari 5 tahun secara terus menerus, masyarakat atau perusahaan yang menguasai lebih dari 25 hektare, dan masyarakat yang menguasai lahan antara 5-25 hektare.

Andri mengatakan, terdapat masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap, beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial lainnya di lokasi tersebut selama bertahun-tahun. Adanya desa definitif dan sarana prasarana menunjukkan besarnya peran negara membiarkan atau bahkan mengakselerasi penguasaan dan aktivitas ilegal di TNTN.
“Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik,” ujar Andri, dalam keterangan tertulis, Senin (23/6/2025).
“Penegakan hukum kepada pemodal yang mempunyai areal perkebunan besar haruslah diutamakan. Hukum, menurutnya, harus dikerjakan secara selektif dan tidak dengan mudahnya menyasar yang lemah,” imbuhnya
Di momen yang sama, Manager Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda, mengatakan pemulihan kawasan TNTN harus ditinjau dari dua aspek, yakni lingkungan hidup dan sosial.
“Kita sepakat bahwa upaya penertiban ini mendukung upaya pemulihan kawasan TNTN. Namun aspek sosial juga harus dipertimbangkan. Hal tersebut, dapat dimulai dengan melakukan identifikasi subjek dan objek pengelolaan,” katanya.
Upaya pemulihan TNTN juga sebaiknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat korban atau masyarakat terdampak. Pemberian waktu jangka benah yang patut dapat secara pararel dilakukan secara perlahan dengan proses pergantian tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan.
“Tidak menutup kemungkinan, pendekatan kemitraan konservasi dibuka untuk memberi ruang keberlanjutan hidup kepada masyarakat, bukan kepada tuan tanah atau pebisnis besar,” ujar Eko.
Menurut Eko, generalisasi tenggat waktu tiga bulan yang diberikan Satgas PKH untuk relokasi kepada semua pihak hanya akan memicu konflik besar. Relokasi ini bukan sekedar persoalan pindah rumah, jauh dari itu masyarakat harus memastikan pekerjaan pengganti untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah.
Demi menyelamatkan hutan alam tersisa di TNTN, lanjut Eko, pemerintah di berbagai level harus memastikan komitmen pengawasannya. Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras dengan aspek ekonomi berpotensi meningkatkan partisipasi untuk melindungi hutan alam tersisa, termasuk pemulihannya.
"Selain itu, preseden buruk, perampasan aset yang bermuara pada pengalihan pengelolaan PT Agrinas Palma Nusantara tidak boleh diulang. Negara harus tegas dalam komitmen pemulihan TNTN. Meminimalkan penggunaan tindakan represif dan penegakan hukum secara selektif harus jadi suatu yang integral guna menyelesaikan persoalan ini," ucap Eko.
Kawasan TNTN dulu dan sekarang
Walhi Riau menguraikan, kawasan yang kini menjadi TNTN awalnya merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang masuk dalam areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Inhutani IV. Ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik, yang mana diketahui ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarnya.
TNTN juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.
Secara kebijakan, awalnya areal yang disiapkan menjadi kawasan konservasi TNTN berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: SK.255/Menhut II/2004 tanggal
19 Juli 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 adalah seluas ±83.068 ha. Selanjutnya, luas ini diperbaharui secara definitif menjadi ±81.793 ha melalui Keputusan Menhut Nomor: Sk.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo.
Olah citra satelit Walhi Riau menunjukkan kondisi areal tersebut pada 1997 dan 2004 mempunyai kerapatan hutan ±78.274 ha. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan alam dari total luas arealnya. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan alam dari total luas arealnya.
Peta tutupan lahan pada kawasan TNTN 2025. Sumber: Walhi Riau.
Riwayat aktivitas masyarakat di TNTN
Secara administrasi TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo Tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi.
Aktivitas masyarakat dipicu oleh tiadanya aktivitas PT Inhutani IV yang izinnya kemudian dicabut pada 2002. Aktivitas yang dilakukan masyarakat adalah berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah, sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar. Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.
“Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN,” ujar Eko.
Berdasarkan laporan EoF yang sama, kawasan hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok hak ulayat. Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah ada enam desa terbangun di lokasi tersebut. Keenam desa itu yakni Air Hitam, Lubuk Batu Tinggal, Simpang Kota Medan, Lubuk Kembang Bunga, Kesuma, dan Segati. Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Bagan Limau.
Perambahan pasca-penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan kemudian dicabut. Selain itu, pasca-2004 juga tercatat ada satu aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer atau sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya perambahan di kawasan TNTN, seperti yang dilakukan PT RAPP.
Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan kehutanan di buffer, hal lain yang membuat laju alih fungsi hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal. Pertama, peran penegak hukum yang tidak tegas menindak praktik ilegal ini. Bahkan masifnya alih fungsi dengan pendirian pemukiman malah diakui secara administratif oleh negara.
Kedua, rencana pemulihan TNTN dengan program revitalisasi Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja telah menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020.
“Hal ini memperparah penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya,” kata Eko.
40 ribu ha kawasan TNTN ditanami sawit ilegal
Sebelumnya, Satgas Garuda yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), telah memulai operasi di TNTN yang memiliki luas kawasan sebesar 81.739 ha.
Berdasarkan luas tersebut, diketahui sekitar 40.000 ha kawasan TNTN telah dibuka dan ditanami sawit secara ilegal. Pemerintah menargetkan pemulihan kawasan hutan ini melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh.
“TNTN menjadi target strategis Bapak Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025,” kata Dwi Januanto Nugroho, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, dalam keterangan tertulis, Kamis (19/6/2025).
Menurut Komandan Satgas Garuda, Brigadir Jenderal TNI Dody Triwinarto, kondisi TNTN saat ini sangat memprihatinkan. Populasi gajah terus menurun, dan dalam 20 tahun terakhir kawasan ini mengalami degradasi akibat aktivitas ilegal masyarakat pendatang di dalam kawasan. Dari sekitar jiwa individu yang tinggal di kawasan TNTN, hanya 10% yang merupakan penduduk asli.
Dengan kekuatan 380 personel yang ditempatkan di 13 titik, Satgas telah memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan secara persuasif tanpa kekerasan. Sejumlah masyarakat juga mulai secara sukarela meninggalkan kawasan. Satgas mencatat 1.805 SHM yang terbit di kawasan TNTN, yang kini tengah diverifikasi bersama BPN.
“Target kami adalah menciptakan kondisi de facto bahwa negara hadir dalam penertiban kawasan hutan. Proses hukum berlangsung selama dua tahun ke depan, dan pemulihan dilakukan dengan pendekatan humanis,” kata Dody.
Di kesempatan yang lain, Direktur Konservasi Kawasan Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, mengatakan, kawasan TNTN menghadapi tantangan serius. Dari total luas, hanya sekitar 24% (±19.000 ha) yang masih berupa hutan, sisanya telah berubah menjadi areal terbuka yang didominasi pemukiman dan kebun sawit ilegal. Kondisi ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. UU Nomor 32 Tahun 2024, yang melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.
Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah telah dan terus mengambil langkah-langkah nyata, antara lain penegakan hukum terpadu. Melalui operasi bersama dengan aparat penegak hukum, dilakukan penindakan terhadap pelaku illegal logging dan perambah, termasuk penangkapan pelaku, perobohan pondok liar, penyitaan alat berat, serta pemusnahan kebun sawit ilegal.
Selain itu, pemerintah membentuk Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo, yang kini diperkuat dengan pendekatan berbasis masyarakat. Pemerintah juga mendorong partisipasi aktif masyarakat lokal, baik asli maupun pendatang, dalam pengelolaan kawasan melalui penguatan kapasitas dan kolaborasi dengan pemerintah daerah.
"Upaya pemulihan ekosistem juga terus diupayakan. Hingga 2021, telah dilakukan pemulihan ekosistem seluas 3.585 ha, mencakup rehabilitasi hutan, DAS, dan kegiatan restorasi oleh Balai TNTN," tutur Sapto, Rabu (11/6/2025).
SHARE