Pulau Wawonii: Lepas dari Mulut Harita Masuk ke Mulut Harita
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Selasa, 24 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Meski pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dipegang perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dianggap sebuah kemenangan, tapi warga Wawonii masih merasa belum aman dari aktivitas pertambangan. Sebab, selain izin usaha pertambangan PT GKP belum dicabut, ada juga entitas perusahaan lain, yang diduga juga anak usaha Harita Group, yang mulai beraktivitas di pulau kecil itu.
Salah seorang warga Wawonii, Sarmanto, mengatakan, sebagai warga Wawonii yang selama ini berhadapan melawan tambang anak usaha Harita Group, ia merasa sangat bersyukur atas pencabutan IPPKH PT GKP oleh Kementerian Kehutanan. Tapi baginya kemenangan ini tak hanya berhenti sampai pada pencabutan IPPKH saja.
“Kami warga Wawonii meminta pencabutan seluruh IUP yang ada di pulau kecil Wawonii, dan mencabut laporan warga pendukung tambang yang melaporkan penolak tambang di Polda Sulawesi Tenggara,” kata Sarmanto, Kamis (19/6/2025).
Sarmanto bilang, kemenangan warga Wawonii melawan PT GKP ini didukung beberapa putusan Mahkahah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), yang isinya secara jelas melarang adanya aktivitas penambangan di pulau kecil. Adapun Pulau Wawonii luasnya hanya sekitar 705,7 km persegi atau sekitar 70.570 hektare.

Tapi Sarmanto heran, karena ternyata tidak hanya PT GKP saja yang nekat menambang di Wawonii. Saat ini, terdapat perusahaan tambang nikel lain yang juga bercokol di Wawonii, yakni PT Bumi Konawe Mining (BKM). Menurut Sarmanto, perusahaan yang diduga juga anak usaha Harita Group ini juga sedang memaksa masuk melakukan kegiatan tambang, persis di bagian utara pemukiman warga.
“Mereka (PT BKM) masih melakukan pengambilan sampel. Akhir 2024 mereka mulai beraktivitas, dan berhenti beroperasi sejak Februari 2025 saat terjadi protes warga,” ujar Sarmanto.
Sarmanto berpendapat, sama halnya dengan PT GKP, semestinya PT BKM juga tidak boleh beraktivitas di Wawonii. Sebab, selain putusan MK yang menegaskan pulau kecil tidak diperuntukkan untuk kegiatan tambang, adapula putusan MA yang menganulir Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan yang mengakomodasi ruang untuk tambang.
Betahita melakukan penelusuran melalui peta interaktif yang disediakan Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian ESDM. Hasilnya, ternyata terdapat tiga perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang aktif di Pulau Wawonii.
Ketiganya adalah, PT GKP yang memegang dua IUP operasi produksi No. 83 Tahun 2010 seluas 958 hektare dan No. 949/DPMPTSP/XII/2019 seluas 850,90 hektare, PT BKM dengan IUP operasi produksi No. 390 Tahun 2010 seluas 3.175 hektare, dan PT Wawonii Makmur Jayaraya (WMJ) dengan IUP operasi produksi No. 672/DPM-PTSP/IX/2018 seluas 950 hektare.
Yang menarik, menurut data perusahaan yang disajikan Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, tiga perusahaan tambang nikel di Pulau Wawonii itu memiliki pemegang saham yang sama persis, bahkan jumlah saham masing-masing pemegang saham pun sama. Pemegang saham tiga perusahaan itu yakni PT Budhi Kemakmuran Jayaraya (99,99%) dan PT Citra Duta Jaya Makmur (0,01%).
Bukti negara dan korporasi salah
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh Jamil, mengatakan pencabutan IPPKH PT GKP ini merupakan salah satu babak penting dalam perlawanan warga Wawonii melawan tambang. Pencabutan IPPKH ini adalah buah dari perjuangan panjang masyarakat Pulau Kecil Wawonii dalam menolak perampasan ruang hidup yang dibungkus atas nama investasi tambang nikel.
Pada 16 Juni 2025, lanjut Jamil, Jatam yang merupakan bagian dari Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK), secara resmi menerima Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 264 Tahun 2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014.
Keputusan ini mencabut izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 707,10 hektare di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sultra. SK tersebut ditetapkan pada 19 Mei 2025, lengkap dengan lampiran peta wilayah.
“Dengan demikian, secara hukum, anak usaha Harita Grup ini tidak lagi memiliki dasar legal untuk beraktivitas di kawasan hutan Pulau Wawonii,” kata Jamil, Kamis (19/6/2025).
Jamil mengungkapkan, selama bertahun-tahun, warga Wawonii—terutama perempuan petani dan nelayan—menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan tekanan, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga perusakan kebun, pencemaran lingkungan, dan rusaknya sumber air bersih yang diduga kuat sebagai akibat langsung dari aktivitas pertambangan PT GKP yang difasilitasi negara melalui perizinan.
Dalam hal kriminalisasi, lanjut Jamil, sedikitnya ada 44 warga Wawonii telah dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan yang cenderung mengada-ada dan represif. Tuduhan tersebut mencakup pencemaran nama baik, menggunakan pasal karet dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kemudian tuduhan menghalangi aktivitas tambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ada juga tuduhan dalam KUHP, seperti Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 338 jo Pasal 53 ayat (1) tentang percobaan pembunuhan, dan Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan.
Pertambangan di pulau kecil: ilegal dan merusak
Dari seluruh korban kriminalisasi tersebut, dua warga bahkan dipenjara dengan tuduhan berat, yakni penganiayaan dan percobaan pembunuhan berencana. Tuduhan-tuduhan itu, menurut Jamil, sangat janggal dan mengada-ada.
“Sementara itu, tiga warga lainnya dikurung selama berminggu-minggu dan baru dibebaskan setelah menyetujui pelepasan lahan mereka kepada perusahaan,” ucap Jamil.
Jamil mengatakan, pencabutan IPPKH PT GKP ini tidak bisa dimaknai sekadar sebagai koreksi administratif, melainkan bentuk pengakuan negara atas pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan yang telah lama terjadi. Ini adalah langkah korektif terhadap praktik perampasan ruang hidup rakyat yang selama ini dilanggengkan oleh negara melalui instrumen hukum yang menyimpang dari keadilan.
Lebih jauh Jamil menyebut, kasus tambang Wawonii ini memperlihatkan dengan jelas bahwa praktik pertambangan di pulau kecil hampir selalu berujung pada konflik horizontal dan kriminalisasi warga, kehancuran ekologis permanen, dan marginalisasi sosial-ekonomi masyarakat lokal.
Padahal, Pulau Wawonii, seperti pulau kecil lainnya, dilindungi oleh hukum, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 Pasal 23 dan 35 huruf (k), jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Tak hanya itu, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga menyatakan bahwa kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jamil mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir telah tampak bahwa perlawanan masyarakat terhadap tambang di pulau kecil mampu menghasilkan kemenangan hukum. Beberapa preseden penting yakni:
- Putusan MA No. 205 K/TUN/2016. Masyarakat Pulau Bangka (Sulawesi Utara) menang gugatan terhadap izin tambang bijih besi PT MMP.
- Putusan MA No. 57 P/HUM/2022. Menghapus seluruh areal tambang di kawasan APL seluas 41 hektare di Wawonii.
- Putusan MA No. 14 P/HUM/2023. Menghapus seluruh areal tambang di kawasan hutan Wawonii seluas 2.047 hektare. Kini, Kabupaten Konawe Kepulauan adalah kabupaten nol tambang—baik di APL maupun kawasan hutan.
- Putusan Kasasi MA No. 403 K/TUN/TF/2024. Membatalkan IPPKH PT GKP seluas 707,10 hektare.
- Putusan PK MA No. 15 PK/TUN/2024. Warga Sangihe menang terhadap izin pertambangan emas di wilayah seluas 42.000 hektare.
- Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023. Menolak gugatan PT GKP yang ingin menjadikan kawasan pulau kecil sebagai wilayah tambang. MK menegaskan larangan tambang di pulau kecil adalah mutlak.
PK tidak menunda pencabutan IPPKH
Jamil melanjutkan, penting untuk dipahami bahwa SK Menteri Kehutanan No. 264 Tahun 2025 ini merupakan keputusan administratif final yang berlaku serta-merta, meskipun PT GKP telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
PK, lanjut Jamil, tidak memiliki kekuatan menunda atau membatalkan kebijakan administratif, apalagi yang didasarkan pada putusan hukum yang telah in-kracht. Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang membatalkan SK tersebut, maka IPPKH telah resmi dicabut.
“Segala aktivitas tambang oleh PT GKP di kawasan hutan menjadi ilegal. Bahkan dalam SK tersebut, pada poin Ketujuh angka 4, ditegaskan bahwa apabila terjadi pelanggaran pidana, PT GKP tidak dibebaskan dari sanksi pidana,” ucap Jamil.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK) menyerukan kepada negara untuk tidak berhenti pada pencabutan IPPKH. Semua izin tambang milik PT GKP, termasuk IUP Operasi Produksi, harus dicabut total.
Kemudian, TAPaK juga menuntut pemulihan hak-hak warga, menghentikan kriminalisasi, dan memberikan jaminan bahwa tidak akan ada lagi pertambangan di pulau kecil mana pun di Indonesia. Mereka juga menuntut agar menjadikan pencabutan IPPKH ini sebagai preseden kebijakan nasional, bahwa pulau kecil adalah ruang hidup yang tidak boleh dikorbankan untuk industri ekstraktif.
“Pulau kecil bukan untuk tambang. Ia adalah identitas, ruang hidup, sumber pangan, masa depan, serta penyangga ekosistem laut dan darat yang harus dilindungi secara mutlak,” kata TAPaK, Selasa (17/6/2025).
Sementara itu, tak banyak hal yang disampaikan pihak PT GKP, saat Betahita meminta tanggapan atau komentar tentang pencabutan IPPKH oleh Menteri Kehutanan itu. Manager Strategic Communication PT GKP, Hendry Drajat, hanya mengatakan bahwa lebih lanjut pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu.
SHARE