Putusan Praperadilan Warga Sangaji: Jangan Membela Diri di Haltim
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Rabu, 18 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penetapan tersangka terhadap 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur (Haltim) yang bersengketa dengan tambang nikel PT Position, dianggap sah oleh Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara (Malut), dalam sebuah putusan praperadilan, Senin (16/6/2025). Trend Asia menilai putusan itu justru melegitimasi tindakan kriminalisasi yang akan membungkam hak konstitusi warga untuk melindungi lingkungan sekaligus tanah adat mereka dari upaya perusakan.
Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, Arko Tarigan, menyebut penetapan tersangka terhadap 11 warga Maba Sangaji ini adalah kriminalisasi SLAPP (strategic lawsuit against public participation) dan pembungkaman bagi masyarakat yang mempertahankan lingkungannya.
“11 masyarakat Maba Sangaji harus dibebaskan karena mereka membela wilayah hidup mereka dari kerusakan lingkungan,” ujar Arko, Senin (16/6/2025).
Menurut Arko, penetapan tersangka ini mencederai hak pejuang lingkungan yang membela wilayah hidup dan hutan mereka dari kerusakan lingkungan. Hal ini tidak sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 66 UU itu menegaskan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Sehingga, di tengah hilirisasi nikel yang ugal-ugalan, seperti yang telah terjadi di Raja Ampat, menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hukum negara menjamin hak masyarakat untuk membela lingkungan hidup mereka.
“Keputusan ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan masyarakat adat yang saat ini terdesak oleh investasi ekstraktif dan hilirisasi,” ujarnya.
Wetub Toatubun dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyebut ada hal menarik dari putusan yang dibacakan hakim. Tiga dari lima perkara yang dipersoalkan dinyatakan bahwa proses penangkapan yang dilakukan oleh polisi tidak sah, sementara status tersangka tetap sah.
Kemudian, satu perkara lain dinyatakan bahwa proses penangkapan dan penetapan tersangka sah. Sedangkan satu perkara lagi ditolak seluruhnya dengan alasan hakim bahwa PN Soasio tidak berwenang mengadili perkara.
Wetub menganggap putusan para hakim itu terkesan ambigu. Salah satu hakim menganggap PN Soasio tidak berhak mengadili perkara tersebut, sedangkan hakim lainnya tidak mempersoalkan terkait kewenangan mengadili. Padahal, wilayah Halmahera Timur masuk dalam administrasi hukum PN Soasio.
“Mestinya, dari fakta-fakta hukum persidangan praperadilan, PN Soasio bisa mengambil keputusan untuk membatalkan seluruhnya status tersangka warga Maba Sangaji, dan tidak menerima satu pun atau sebagian tuntutan dari polisi kepada warga,” ucap Wetub.
Pada 19 Mei 2025, Polda Maluku Utara melakukan penangkapan terhadap 27 warga pada aksi upacara adat di lahan Hutan Adat Maba Sangaji. Sebanyak 11 orang di antaranya kemudian ditetapkan sebagai tersangka melalui Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat), Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan dan Pasal 368 ayat 1 Jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Padahal, pihak warga menegaskan bahwa aksi mereka adalah bentuk perjuangan mempertahankan tanah dan hutan adat dari ekspansi tambang nikel PT Position yang telah berlangsung sejak akhir 2024. Sejak itu, laporan warga pada perusahaan bahwa aktivitas mereka menyerobot hutan adat dan menyebabkan pencemaran air sungai terus diacuhkan.
Lebih lanjut, warga menyatakan bahwa PT Position tidak pernah menyampaikan informasi apapun mengenai rencana penambangan mereka, bahkan kepada pemerintah desa sekalipun. Hal ini mendorong warga untuk menganggap aktivitas perusahaan di wilayah tersebut sebagai tindakan ilegal.
SHARE