Kebun Sawit Plat Merah Main Kriminalisasi di Paser

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Jumat, 13 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kasus dugaan kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat di sekitar wilayah perkebunan kelapa sawit kembali mencuat. Kali ini, masyarakat desa di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, menjadi korban. Dua orang warga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang diduga dilaporkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional V, yang sebelumnya dikenal sebagai PTPN XIII.

Dalam keterangan tertulisnya, Bony dari organisasi Sawit Watch menyayangkan tindakan intimidatif yang terus terjadi di wilayah perkebunan. Ia menyebut, kehadiran aparat kepolisian, pemanggilan terhadap saksi, hingga patroli di sekitar kebun dan permukiman warga telah menimbulkan tekanan psikologis yang besar bagi masyarakat.

“Hal ini tentu melemahkan semangat perjuangan warga. Seperti yang terjadi di Desa Lombok, Pait, Sawit Jaya, dan Pasir Mayang. Setidaknya dua warga telah ditetapkan sebagai tersangka, dan lainnya masih dalam pemeriksaan sebagai saksi,” kata Bony, dikutip Kamis 12 Juni 2025.

Bony menekankan bahwa aksi warga seharusnya dipahami sebagai bentuk perjuangan atas hak atas tanah mereka yang diduga dirampas tanpa proses pembebasan lahan yang sah oleh perusahaan milik negara. Ia mendesak agar penyelesaian konflik dilakukan melalui dialog terbuka, bukan jalur hukum yang berpotensi menekan masyarakat.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyebut, terdapat 1073 kasus konflik sosial di perkebunan sawit di Indonesia. Foto: Gilang/Betahita.id

“Kehadiran perusahaan negara tanpa disertai pembebasan lahan yang sah sejak awal adalah akar konflik ini. Maka wajar jika masyarakat berupaya memperjuangkan haknya,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyoroti bahwa konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit merupakan persoalan sistemik. Data Sawit Watch mencatat, sepanjang 2024 terdapat 1.126 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan sawit skala besar di Indonesia.

“Masyarakat menjadi pihak paling rentan dalam konflik agraria. Mereka kehilangan lahan secara tidak transparan, kehilangan mata pencaharian, serta harus menanggung beban psikologis dan materiil,” jelas Surambo.

Ia mendorong adanya jalur penyelesaian konflik yang adil dan setara, termasuk di Kalimantan Timur. Selain itu, menurutnya, peningkatan kapasitas hukum dan pendampingan terhadap masyarakat perlu diperkuat agar warga memiliki bekal menghadapi proses hukum yang mungkin mereka hadapi.

Kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit yang belum kunjung menemukan titik terang, sekaligus menjadi sorotan penting bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal di Indonesia.

SHARE