Industri Nikel Bahayakan HAM dan Lingkungan - Report
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Selasa, 10 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Industri nikel, baik tambang maupun pemurniannya, terus menjadi sorotan. Bahkan dari masyarakat internasional. Climate Rights International (CRI) menyebut, para pemilik perusahaan di kawasan industri nikel, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), telah melanggar hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Hal tersebut diuraikan CRI dalam sebuah laporan berjudul “Perusakan Berlanjut dan Rendahnya Akuntabilitas: Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup, dan Iklim dalam Industri Nikel Indonesia” yang dirilis pada 4 Juni 2025.
Laporan itu mengungkapkan, pertambangan dan pengelolaan nikel menyebabkan penggundulan hutan (deforestasi) besar-besaran, pencemaran udara dan air, serta mengemisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah luar biasa, dari operasi pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara untuk kawasan industri itu (PLTU captive).
Sementara itu, CRI menemukan bahwa Pemerintah Indonesia, beberapa perusahaan nikel, serta perusahaan kendaraan listrik gagal memberikan tanggapan berarti terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup serius.

Menurut CRI, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, bahan mineral transisi yang digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik. Salah satu kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, adalah PT IWIP. Sebagian besar bijih nikel yang diolah di kawasan ini berasal dari PT Weda Bay Nickel, tambang nikel terbuka terbesar di Pulau Halmahera, Maluku Utara.
“Meskipun ada bukti jelas bahwa hak dan mata pencarian masyarakat terancam dengan ada pertambangan dan pengolahan nikel, sejumlah perusahaan tetap saja beroperasi tanpa tersentuh hukum, dan lebih mementingkan keuntungan di atas kepentingan masyarakat,” kata Krista Shennum, peneliti CRI, dalam sebuah keterangan tertulis, pada 5 Juni 2025.
Pemerintah Indonesia, lanjut Shennum, harusnya mendengarkan masyarakat lokal dan meminta pertanggungjawaban para pelaku pencemaran.
“Perusahaan-perusahaan yang memasok nikel dari Indonesia, termasuk banyak perusahaan kendaraan listrik, seharusnya turut bertanggung jawab penuh dalam mengatasi berbagai pelanggaran mengerikan dalam rantai pasokan mereka,” katanya.
Shennum menuturkan, perusahaan-perusahaan Indonesia dan asing, yang berkoordinasi dengan aparat TNI-Polri, terlibat dalam perampasan tanah, pemaksaan, dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan berbagai komunitas lain, yang menghadapi ancaman serius serta berisiko mengusik cara hidup tradisional mereka. Aktivis dan mahasiswa di Maluku Utara yang menentang PT IWIP sudah menjadi sasaran kriminalisasi, pelecehan, dan kampanye hitam.
Sebelumnya, CRI menerbitkan laporan tentang IWIP pada Januari 2024 dengan judul Nikel Dikeduk. Laporan itu mengungkapkan, meski kendaraan listrik merupakan bagian kunci dalam transisi dari bahan bakar fosil, namun pengolahan nikel di IWIP ditopang 11 PLTU batu bara captive (yang berbahan bakar fosil), dengan tiga pembangkit tambahan sedang proses pembangunan.
Saat beroperasi, 14 PLTU batu bara itu akan memiliki kapasitas 4,54 GW, yang akan menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah luar biasa. Sementara itu, masyarakat sekitar IWIP tidak memiliki akses listrik yang konsisten dan bisa diandalkan.
PLTU di kawasan PT IWIP, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Aryo Bhawono/Betahita.
Operasi 14 PLTU batu bara itu mengakibatkan pencemaran udara dan air, oleh kawasan industri diduga kuat menjadi pemicu lonjakan penderita infeksi saluran pernapasan dan masalah kesehatan lain.
Julfikar Sangaji, aktivis lokal dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan kepada CRI tentang informasi yang dia peroleh dari puskesmas di Lelief. Menurut Julfikar, dalam kurun waktu tiga tahun, prevalensi infeksi saluran pernapasan meningkat lebih dari 24 kali lipat.
“Saya berhasil mendapatkan data dari otoritas kesehatan setempat di Weda Tengah pada 2024,” katanya.
Data itu, lanjut Julfikar, menunjukkan bahwa pasien dengan infeksi saluran pernapasan akut terus meningkat dari 434 pasien pada 2020 menjadi 10.579 pasien pada 2023. Sungai-sungai di sana yang pernah jadi sumber air minum, seperti Sungai Sagea, sudah tak aman untuk konsumsi karena tercemar.
Pengujian air oleh organisasi asal Indonesia AEER, Jatam, dan Nexus3 pada 2023 dan 2024 menunjukkan kadar nikel dan kromium heksavalen tinggi dan berbahaya, selain sejumlah polutan lain.
Krista melanjutkan, warga setempat yang ditemui CRI, tidak yakin lagi pada kualitas air dan mengkhawatirkan kesehatan mereka. Meski ada klaim bahwa beberapa perusahaan pertambangan dan pengolahan nikel telah melakukan pengujian kualitas air secara rutin, namun mereka tidak memberikan informasi kepada masyarakat setempat mengenai keamanan sumber-sumber air minum yang penting dan dapat diakses oleh publik.
“Para orang tua seharusnya khawatir anak-anak mereka bisa sakit kalau mandi atau berenang di sungai yang sama yang sudah jadi sumber air minum keluarga mereka selama beberapa generasi,” ujar Krista.
Warga lingkar tambang Halmahera Tengah ini melakukan aksi protes di Kawasan Pesisir Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah pada Kamis (13/2/2025). Foto: Istimewa.
Krista menguraikan, PT IWIP adalah usaha patungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Tiongkok. Pemegang saham PT WBN adalah Tsingshan Holding Group, Eramet, dan PT Aneka Tambang (Antam). Pemerintah Indonesia sudah gagal meminta pertanggung-jawaban perusahaan, termasuk dengan mengajukan tuntutan pidana dan hukuman perdata.
CRI, lanjut Krista, menyerukan kepada pemerintah agar mewajibkan para pemangku kepentingan utama di IWIP untuk segera mengambil langkah-langkah mengatasi pencemaran air dan udara karena operasional mereka. Perusahaan tambang nikel seharusnya membuang limbah tambang dengan benar untuk meminimalisasi pencemaran.
Baik PT IWIP maupun perusahaan tambang nikel, masih kata Krista, seharusnya memberikan kompensasi penuh dan adil kepada seluruh anggota masyarakat, termasuk masyarakat adat, atas tanah mereka. Juga, memastikan masyarakat adat dapat memberikan persetujuan atas dasar keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent/FPIC) secara penuh sebagaimana dalam hukum HAM internasional.
Krista mengatakan, perusahaan-perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang langsung maupun tidak memasok nikel dari Indonesia atau memiliki kontrak memasok nikel dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, seharusnya segera menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan para pemasok menghentikan dan memperbaiki pelanggaran HAM.
Tak hanya itu, para pemasok nikel juga membersihkan pencemaran air dan udara, dan melakukan peralihan dari batubara ke sumber-sumber energi terbarukan secepatnya. Mestinya, perusahaan kendaraan listrik meningkatkan transparansi dengan menyediakan informasi publik tentang semua perusahaan dalam rantai pasokan mineral transisi mereka.
Kendati Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut sebagai negara kepulauan, rencana induk kelistrikan negara ini mencakup pembangunan 20 GW PLTU batu bara captive baru dalam tujuh tahun ke depan—hampir sama dengan seluruh kapasitas batu bara Turki saat ini.
Mengenai rencana Presiden Prabowo untuk mencapai “ketahanan pangan” dalam negeri, yang secara efektif akan menjadi proyek penggundulan hutan terbesar dalam sejarah Indonesia. Proyek ini akan mengubah 20,6 juta hektare hutan, termasuk lebih dari 2 juta hektar hutan lindung, menjadi proyek-proyek perkebunan pangan dan energi.
“Agar transisi energi benar-benar berjalan adil, hak-hak masyarakat yang berada di garis depan ekstraksi mineral harus dihormati,” kata Krista.
“Pemerintah semestinya mencabut izin operasi perusahaan-perusahaan yang secara sistematis melanggar hak-hak masyarakat atau menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah,” imbuhnya.
Tumpang susun pemetaan Pengembangan PT IWIP, Weda Bay Nikel, dan izin pertambangan di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sumebr: Jatam
PT IWIP klaim beroperasi sesuai standar lingkungan
Terpisah, Corporate Communication Manager PT IWIP, Jordan Xu, mengatakan bahwa pihaknya senantiasa mengupayakan untuk menjalankan seluruh operasional sesuai peraturan, perizinan, dan standar lingkungan yang ditetapkan pemerintah. Seluruh aktivitas industri di IWIP, disebut, memiliki izin sah, dan diawasi melalui sistem pemantauan terintegrasi.
Sebagai pengelola kawasan industri, lanjut Jordan, IWIP menerapkan sistem pemantauan berbasis regulasi untuk memastikan bahwa seluruh tenant mematuhi standar lingkungan, terutama terkait pencemaran air, udara, dan tanah. Pemantauan ini mengacu pada dokumen Amdal, RKL-RPL Rinci, Persetujuan Teknis (Pertek Air Limbah dan Emisi), serta Surat Laik Operasional (SLO Air Limbah dan Emisi).
“Dengan pendekatan ini, IWIP memastikan setiap tenant melaksanakan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku guna menjaga keseimbangan ekosistem,” kata Jordan dalam sebuah keterangan tertulis yang diterima Betahita, Senin (9/6/2025).
Jordan menjelaskan, IWIP juga melakukan koordinasi rutin, inspeksi, dan audit internal guna memastikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan sesuai perizinan. IWIP juga melaksanakan pemantauan dan pengelolaan lingkungan secara berkala, termasuk inspeksi rutin pada berbagai aspek geofisika dan kimia di lebih dari 200 titik lokasi.
Kegiatan ini, imbuh Jordan, dilakukan bekerja sama dengan laboratorium lingkungan yang terakreditasi dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hasil pemantauan menunjukkan bahwa seluruh parameter lingkungan tetap berada dalam baku mutu yang ditetapkan dan memastikan operasional kawasan industri berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
“Kegiatan operasional sesuai dengan peraturan yang berlaku serta memastikan kepatuhan terhadap ketentuan perizinan dan standar lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.
SHARE