Deforestasi demi Emas Bayangi Hutan Beutong Ateuh Banggalang
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Senin, 09 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kondisi hutan Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dilaporkan semakin tergerus akibat pembukaan hutan alam (deforestasi). Yayasan Apel Green Aceh menyatakan, kerusakan hutan ini memicu peningkatan frekuensi banjir dan longsor di wilayah barat selatan Aceh.
“Kerusakan tutupan hutan di Beutong Ateuh sudah sangat mengkhawatirkan. Kawasan ini dulunya menjadi penyangga utama bagi DAS (daerah aliran sungai), tapi kini berubah fungsi akibat pembalakan liar dan perambahan,” ujar Syukur Tadu, Direktur Apel Green Aceh, pekan lalu (5/6/2025).
Syukur mencatat, alih fungsi lahan dan maraknya pembukaan hutan secara ilegal telah memperlemah daya dukung ekologis kawasan tersebut. Sungai-sungai yang berhulu di Beutong Ateuh kini sering meluap, sementara lereng-lereng hutan yang digunduli menjadi rentan longsor saat hujan deras mengguyur.
“Dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di hilir, dari lahan pertanian yang rusak hingga permukiman yang terendam. Ini bukan lagi soal lingkungan semata, tapi soal keselamatan hidup masyarakat. Hutan yang rusak berarti bencana yang terus datang,” ujar Syukur.

Dalam momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Apel Green Aceh secara khusus menyerukan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk mengambil langkah konkret dan segera dalam upaya penyelamatan hutan di Beutong Ateuh, dan lebih luas lagi, perlindungan seluruh kawasan hutan yang tersisa di Aceh.
“Sebagai pemimpin daerah, Gubernur Aceh memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk menghentikan kerusakan hutan yang kian masif. Ini saatnya kebijakan tidak berhenti pada seremoni, tetapi diwujudkan dalam aksi nyata di lapangan,” tuturnya.
Lebih jauh, Syukur menegaskan bahwa seruan ini juga sejalan dengan amanah Wali Nanggroe Aceh, yang menekankan pentingnya menjaga hutan sebagai bagian dari warisan peradaban dan martabat rakyat Aceh untuk anak cucu.
“Wali Nanggroe telah mengingatkan bahwa tanah, air, dan hutan adalah sumber kehidupan rakyat Aceh yang wajib dijaga. Mengabaikan kerusakan hutan berarti mengkhianati amanah sejarah dan budaya bangsa Aceh sendiri,” kata Syukur.
Dia juga mendorong penguatan patroli hutan, penegakan hukum terhadap pelaku perambahan, serta pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi berbasis lokal. Ia menegaskan bahwa masa depan ekologi Aceh tidak bisa ditunda untuk diselamatkan.
“Hutan adalah sumber air, udara bersih, dan kehidupan. Menjaga hutan bukan pilihan, tapi keharusan,” ucap Syukur Tadu.
Kerusakan hutan di Beutong Ateuh Banggalang ini juga diangkat dalam sebuah petisi yang dipublikasikan Rettet den Regenwald (Selamatkan Hutan Hujan). Petisi itu menyebut bahwa hutan alam yang berada di lembah kaki Gunung Singgah Mata di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ini merupakan salah satu kawasan hutan tersisa di Asia Tenggara. Selain keindahan alam dan kepentingan hutan bagi aneka ragam hayati dan iklim global, Beutong mempunyai makna sejarah istimewa.
Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 91 K/KTUN/LH/2020 saat mencabut Izin Usaha Pertambangan PT Emas Mineral Murni. Tapi, meskipun sudah ada putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap, ternyata pemerintah kembali mencoba untuk memberikan hak atas permohonan dan atau usulan pertambangan emas kepada perusahaan lain, yaitu PT Bumi Mentari Energi (BME).
Tak tanggung-tanggung, izin konsesi PT BME yang diajukan seluas 3.300 hektare itu masuk dalam wilayah kampung di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang. Sejauh ini belum ada informasi yang jelas tentang perizinan PT BMI dimaksud. Nama perusahaan tersebut bahkan belum terdaftar dalam Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
SHARE