Di Baliara, Bertaruh Celana Dalam hingga Nyawa
Penulis : Aryo Bhawono
SOROT
Senin, 09 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Habis sudah celana dalam Amirudin. Tiap kali pulang mandi dari pantai, hampir sekujur tubuhnya berwarna merah, termasuk pakaian yang menempel di badannya. Tiap hari istrinya membuang celana dalam itu karena mengiranya sudah uzur kena air laut, hingga stok celana dalam Amirudin habis.
Untung saja dia selalu memakai celana panjang hitam, setidaknya ada tiga warna di tubuhnya, hitam di bagian kaki, merah di bagian badan, dan coklat gelap di bagian kepalanya.
Lumpur merah mengubah muka perairan tempatnya tinggal sekaligus tempatnya mencari ikan di Baliara, Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Warna merah itu tak hanya mengotori pakaian luar. Celana dalamnya juga berubah warna.
Apesnya, teknik mencuci atau deterjen apapun tak dapat menghilangkan warna itu. Bahkan istrinya juga sudah menggunakan pemutih mengembalikan warna celana dalam putihnya tak berpengaruh. Alhasil Istrinya pun lantas membuang celana dalam itu
“Tiga hari dicuci belum, belum hilang itu yang tanah merah itu, kalau celana. Ih sayang, habis celana dalam saya dibuang,” kata dia ketika
Amirudin tinggal di perkampungan Bajau di atas perairan muka Desa Baliara, Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Warna merah perairan itu datang seiring dengan aktivitas tambang nikel di daerah itu.
Baliara terletak pada sebuah tanjung di sisi barat Pulau Kabaena. Pulau kecil ini memiliki luas 891 kilometer persegi. Sebanyak 17 IUP pertambangan menguasai 73 persen dari luas pulau itu, sekitar 650 km2.
Sisi daratan Baliara dipenuhi konsesi tambang nikel. Setidaknya empat konsesi berada di sisi daratan agak ke utara dari pemukiman di Baliara, yakni PT Agrabudi Baramulia Mandiri (ABM), dengan luas 3.940 ha, PT Trias Jaya Agung (TJA) dengan luas konsesi 512 ha, PT Timah Investasi Mineral (TIM) dengan luas 300 ha, dan PT Manyoi Mandiri (MM) dengan luas 1.731 ha.
Kampung tempat Amirudin tinggal sendiri seperti tersudut di pinggir pantai, dataran di belakangnya terhampar konsesi tambang nikel. Hingga 2024 lalu, satu konsesi beroperasi PT TIM.
Parit dengan lebar satu meter dan panjang sekitar 5 kilometer menghubungkan bentang tambang perusahaan itu dengan pesisir Baliara. Jejak lumpur merah endapan aktivitas tambang terlihat jelas di sepanjang parit itu menuju pesisir. Pasang surut ataupun hujan membuat lumpur laju ke perairan.
“Sebanyak air turun kita turun di bawah. Tapi intinya sebentar jam empat atau jam lima lah (air laut jadi semakin merah),” ucapnya.
Rona perairan Baliara ini juga membawa tragedi. Tak hanya sandang yang hilang di bawah air berwarna merah itu melainkan juga nyawa.
Pada Maret lalu, Masra, bocah perempuan berumur dua tahun meniti jalan kayu di perkampungan. Ia terpeleset, masuk ke air dan tak ditemukan hingga seorang warga melihat seonggok kakinya di tengah lumpur merah ketika air sedang surut.
Masra bukan satu-satunya bocah yang meregang nyawa di air berona merah itu. Pada 2020, seorang bocah perempuan SD bernama Nayla, tercebur ke perairan. Warga yang mencarinya tak berhasil menemukannya karena air tertutup lumpur merah. Selang tak berapa lama seseorang melihatnya dalam kondisi terapung tak bernyawa sedikit jauh dari rumahnya.
Data Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara menyebutkan sepanjang tahun 2010-2023, tiga orang anak suku Bajau di Desa Baliara mati karena tenggelam di perairan keruh.
Kematian ini adalah ironi. Suku Bajau dikenal sebagai nomaden laut dengan kemampuan navigasi hingga selam, seperti kehilangan kemampuannya menghadapi perairan tercemar lumpur merah.
Padahal mereka hadir ke Baliara untuk menetap di kawasan pesisir, berdampingan dengan suku daratan Kabaena, Moronene.
Tumpang susun pemetaan citra satelit konsesi pertambangan di atas hutan lindung mangrove di Baliara, Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Data: Satya Bumi
Hilangnya celana dalam dan nyawa ini hanya sepenggal derita akibat tambang nikel yang menguasai Pulau Kabaena. Suku Bajau yang mendiami kawasan perairan di hampir seantero Kabaena menjadi pihak paling terdampak oleh pertambangan.
Uji laboratorium yang dilakukan oleh Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara menemukan komponen kimia di sungai dan laut. Hasil analisis menunjukkan konsentrasi nikel, sulfat, kadmium, dan timbal telah mencapai 200 persen hingga 7000 persen lebih tinggi dari batas aman di air sungai dan/atau laut.
Mereka mengambil sampel di Baliara dua titik desa sederet dengan Baliara di sebelah selatan, yakni Batuawu dan Pongkalaero. Logam berat seperti nikel, tembaga, timbal dan kadmium terdeteksi di sampel mereka.
Desa Batuawu terletak di selatan Baliara mengikuti jalur pesisir, kemudian Desa Puununu hingga Pongkalero. Pun pada pesisir desa-desa ini berderet konsesi tambang nikel, yakni PT Almharig, PT Margo Karya Mandiri (MKM), PT Tambang Bumi Sulawesi (TBS), PT Tekonindo, PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
PT Bakti Bumi Sulawesi (BBS) berada di daratan hingga ke kawasan pegunungan. Sedangkan PT Arga Morini Indah (AMI) berada di ujung selatan Pulau Baliara berdampingan dengan PT Arga Morini Indotama.
Konsentrasi nikel dalam air laut di Baliara, Pongkalaero, dan Batuawu berkisar antara 3,1 hingga 3,5 mg/L, jauh melebihi batas wajar untuk biota laut (0,05 mg/L) dan wisata bahari (0,075 mg/L). Nikel dapat menembus kulit manusia, tetapi penyerapannya melalui kulit lambat dan minim. Efek paling umum dari paparan nikel pada kulit adalah dermatitis yang disebabkan oleh sensitivitas (alergi) nikel.
Konsentrasi tembaga dalam air laut di dekat Baliara dan Pongkalaero berkisar antara 0,06 hingga 0,22 mg/L, melebihi standar untuk pelabuhan, wisata bahari, dan biota laut. Peningkatan kadar tembaga menyebabkan stres oksidatif, gangguan regulasi asam- basa dalam tubuh, penghambatan enzim, penurunan kekebalan tubuh, dan penurunan pertumbuhan biota laut. Secara khusus, paparan tembaga mengurangi aktivitas metabolisme hemosit dari kerang dan tiram.
Konsentrasi timbal dalam air laut di pantai Kabaena berkisar antara 0,35 hingga 0,55 mg/L, melebihi standar untuk area pelabuhan (0,05 mg/L) sebanyak 7-11 kali lipat, dan batas untuk wisata bahari dan biota laut (0,005 dan 0,008 mg/L) hingga 110 kali lipat. Ikan laut dapat mengalami penurunan kelangsungan hidup, gangguan reproduksi, dan penurunan pertumbuhan di tingkat konsentrasi timbal serendah 1,0 hingga 5,1 μg/L
Sedangkan konsentrasi adalah sekitar 1 mg/L. Nilai ini secara drastis lebih tinggi daripada konsentrasi kadmium di daerah pesisir lainnya di Indonesia, seperti di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, berkisar antara 0,0007 dan 0,064 mg/L. Perbedaan yang mencolok ini mengindikasikan adanya kontaminasi yang parah di perairan pesisir Pulau Kabaena, yang kemungkinan besar terkait dengan kegiatan pertambangan dan pencucian logam beracun yang dibuang ke lingkungan laut.
Pencemaran perairan ini menggusur mata pencaharian orang Bajau. Ilyas, nelayan rumput laut di Baliara mengaku harus menggeser wilayah budidaya.
Seorang nelayan Bajau di atas bagang miliknya di Batuawu, Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita
Dulu, kata dia, membentang tali untuk budidaya rumput laut bahkan cukup di belakang rumah. Tapi kini mereka harus pergi agak ke tengah. Bahkan dirinya mampu membuat 10 bentangan.
“Kalau sekarang ke tengah tetap saja juga kena dampak kalau air keruh. Rumput lautnya jadi jelek dan sebagian mati,” kata dia.
Nelayan tangkap dan selam pun kena dampak yang sama. Tak ada ikan mampir ke pesisir lagi. Mereka harus menjauh hingga ke tengah laut untuk dapat ikan.
Pencemaran tambang nikel membuat biota laut tak dapat hidup di perairan Baliara dan sekitarnya. Nelayan pun harus berlayar menjauh, hingga 20 km, ke tengah laut untuk mendapatkan ikan. Bahan bakar yang biasanya hanya perlu dua liter kini bertmabha menjadi 20 liter.
Itu pun hanya untuk mendapatkan sedikit hasil tangkapan laut. Dulu di masa air masih jernih mereka dapat membawa pulang hingga 15 kilogram tangkapan. Kini 2-3 kilogram saja yang berada di lambung kapal kecil mereka.
Perkara yang sama juga dihadapi oleh nelayan keramba di Puununu maupun Batuawu. Samsul, warga Bajau di Pununu, dan Muhali, warga Bajau di Batuawu. Mereka biasa memancing namun perubahan muka air memaksa mereka mencari akal baru untuk mendapat ikan.
Keduanya membuat keramba namun ikan di kerambanya kotor dengan lumpur berwarna merah setiap habis hujan.
Kekhawatiran ini lumrah, pencemaran endapan lumpur tambang nikel membuat ikan dan biota lainnya turut terpapar.
Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara menemukan logam berat dalam tubuh sampel kerang di Baliara dan Pununu. Konsentrasi seng (Zn), tembaga (Cu), timbal (Pb), Kadmium (Cd), dan nikel (Ni), jauh melebihi batas pedoman Food and Agriculture Organization (FAO).
Data yang mereka dapatkan dari Puskesmas dipadukan dengan data BPS menunjukkan korelasi penyakit yang diderita masyarakat dengan kontaminasi pencemaran oleh tambang nikel. ISPA dan penyakit kulit selalu masuk 10 besar dalam 15 tahun terakhir.
Peneliti Satya Bumi, Sayyidati Haya Afra menyebutkan masuknya tambang ke pulau itu 15 tahun lalu membuat air keruh dan menyebabkan sakit gatal pada kulit. Puskesmas Kabaena Barat menyebutkan biang gatal-gatal ini kemungkinan disebabkan oleh alergi dan scabies akibat sanitasi yang kurang. Penyakit kulit yang ditemukan termasuk cacar air, bisul, dan beberapa disertai dengan demam.
Seorang anak dari Suku Bajau mengalami penyakit kulit karena air pesisir terkontaminasi lumpur pertambangan Nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita
Ia menyebutkan penyakit ISPA banyak berdampak pada seluruh masyarakat di Pulau Kabaena. Pada tahun 2009 penyakit ISPA di Kabaena Timur tinggi karena operasi PT Billy Indonesia]. Hingga tahun 2011 PT Billy Indonesia tetap melanjutkan kegiatan dan mengabaikan perintah penghentian yang keluar di tahun 2008.
“Saat ini lokasi PT Billy Indonesia diambil alih oleh PT Naraya Labale Selaras. Akibatnya kualitas udara semakin memburuk karena debu tambang sebagaimana terlihat di tahun 2013,” ucapnya.
Nasib sama juga terlihat di kawasan timur Pulau Kabaena. PT Tonia Mitra Sejahtera beroperasi mengupas tanah di konsesinya seluas 5.891 ha. Aktivitas perusahaan itu telah menyebabkan deforestasi seluas 285 ha.
Perusahaan itu pun diduga melakukan pengelolaan limbah dengan cara buruk hingga mencemari sumber air setempat. Aktivitas tambang juga membabat kawasan kaki Gunung Sabano yang menyisakan sebuah kawasan lindung terisolir di puncak gunung itu.
Peta ekosistem pesisir dan laut Pulau Kabaena, Provinsi Sulawesi Tenggara. Data: Auriga Nusantara
Nafsu Hilirisasi Menghabisi Kabaena
Data Auriga Nusantara menyebutkan hingga awal 2025, Pulau Kabaena, juara bukaan lahan untuk pertambangan diantara pulau-pulau di Indonesia, di luar lima pulau besar. Analisis spasial menunjukkan pembukaan untuk tambang di pulau itu mencapai 3.417 ha dari total bukaan tambang di 24 pulau lainnya yang mencapai 10.239 ha.
Analisis ini menunjukkan aktivitas tambang telah menghabisi pulau kecil itu dari semua sisi. Peneliti Auriga Nusantara, Ki Bagus Hadi Kusuma, menyebutkan nafsu untuk memenuhi kebutuhan nikel telah mengorbankan Kabaena.
“Itu pulau kecil dengan angka pasokan nikel besar, ini berbahaya bagi pulau Kabaena,” kata dia.
Studi rantai pasok yang dilakukan oleh Mighty Earth 17 dan Business and Human Rights Resources Center (BHRRC) menunjukkan pertambangan di Kabaena berpotensi menyuplai nikel yang digunakan oleh pabrik mobil yang tersebar di Amerika, China, dan Eropa.4 Pemetaan rantai pasok ini dihimpun dari penelitian
Laporan perusahaan smelter nikel Huayou menyebutkan potensi 14 perusahaan tambang di Kabaena untuk diolah di Indonesia Pomalaa Industrial Park (IPIP). Kawasan ini kini tengah dalam perencanaan pembangunan dan diproyeksikan mulai beroperasi pada akhir 2025.
Huayou mengklaim bahwa area konsesi 14 perusahaan tersebut adalah 32.398,56 ha. Total area dari 14 perusahaan ini sangat mendekati dengan kondisi saat ini dari 15 IUP aktif Kabaena, yaitu 33.724,88 Ha.
Tumpang susun konsesi nikel PT TMS di hutan lindung di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Data: Satya Bumi
Sedangkan laporan tahunan produsen otomotif elektrik, Tesla tahun 2023, menyebutkan mereka mendapatkan 13 persen nikel mereka dari Indonesia. Tesla juga mengklaim bahwa mereka menggunakan nikel dari Advanced Material Co. Ltd (CNGR) dan smelter Huayou.
Huayou sendiri terdata bekerja sama dengan Vale Indonesia dan Ford Motor untuk membangun smelter HPAL baru di Pomalaa, yang juga mencantumkan nikel Kabaena sebagai sumber daya utama.
Analisis rantai pasok PT AHB dan PT TMS yang beroperasi di Kabaena menunjukkan pasokan nikel ke QMB New Materials Energy (QMB) melalui PT Sulawesi Mining Investment (SMI). Sementara laporan Mighty Earth menyebutkan kepemilikan smelter QMB terdiri dari GEM (36 persen), CATL (25 persen), Tsingshan (21 persen), Hanwa (8 persen), dan Indonesia Morowali Industrial Park/ IMIP (10 persen).
PT IMIP dimiliki oleh PT SMI mempunyai kepemilikan sebesar 25 persen atas PT IMIP.Kepemilikan inilah yang memberikan PT SMI kemampuan untuk mengendalikan QMB.
Tim peneliti juga mengkonfirmasi jaringan rantai pasok ini menggunakan Automatic Identification System (AIS) untuk mendeteksi pergerakan kapal. Salah satu kapal penarik tongkang teridentifikasi berasal dari jetty PT TMS adalah kapal Buana Express 51.
Dua website AIS, yaitu shipinfo dan marrinetraffic, mendokumentasikan pada Juli 2024 kapal tersebut bergerak ke Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
SHARE