Hatam 2025: Awas, Industri Ekstraktif Berembel-embel Hijau!
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Selasa, 27 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengingatkan kini industri ekstraktif memakai embel-embel energi hijau dan kian tak peduli hukum.
Hari Anti Tambang (Hatam) 2025 yang jatuh pada Senin (26/5/2025) diperingati di Flores. Pulau di kawasan timur Indonesia itu menjadi korban industri ekstraktif dengan berlabel hijau, usai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkannya sebagai Pulau Panas Bumi.
Data Kementerian ESDM menyebutkan Flores memiliki lebih dari 30 titik potensi panas bumi dengan total daya mencapai sekitar 900 megawatt. Total kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang beroperasi di Flores baru mencapai 18 megawatt listrik (MWe)
Namun proyek ini mendapat perlawanan dari masyarakat karena mengancam keselamatan, kesehatan, dan merusak ruang hidup mereka. Penolakan seperti ini muncul di Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, Sokoria hingga Atadei.

Warga Poco Leok menolak perluasan PLTP Ulumbu dari 7,5 MW menjadi 40 MW ke wilayah mereka, unit 5-6. Perluasan ini mencakup 13 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.
Penolakan ini bukan tanpa sebab, PLTP Ulumbu terletak di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, telah beroperasi selama dua puluh tahun. Namun warga warga sekitar pembangkit mengeluh kesehatannya terganggu, terutama terkait penyakit ISPA.
Selain itu, tanaman pertanian dan perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, hingga kemiri tak lagi produktif. Demikian juga dengan atap seng rumah dan sekolah yang karatan akibat terpapar H2S yang korosif. Selain itu, warga juga mengeluh sumber air yang tercemar, diduga akibat operasi tambang panas bumi Ulumbu.
Perwakilan Keuskupan Agung Ende dan Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ende, sebuah Komisi Religius dari Kongregasi Serikat Sabda Allah/Societas Verbi Divini (SVD) yang bekerja di dalam wilayah pelayanan Provinsi SVD Ende, Pater Charles Beraf SVD, menyebutkan Bumi adalah rumah bersama, bukan sekadar sumber daya tetapi ruang hidup dan tempat suci.
“Kepada pemerintah, dengarkan suara tanah ini! Dengarkan suara umat yang menangis! Membangun masa depan tidak bisa dengan menghancurkan masa lalu,” ucapnya dalam pernyataan sikap.
Energi bersih, kata dia, tidak bisa dilahirkan dari energi kotor ketamakan yang menghancurkan.
Koordinator Jatam, Melky Nahar, menyebutkan Flores merupakan satu contoh dari kejamnya industri ekstraktif berlabel hijau. Sulawesi dan Maluku Utara menjadi ladang eksploitasi nikel, yang diklaim sebagai bahan pembuat baterai kendaraan listrik, justru menyisakan kemiskinan dan pencemaran.
Herannya negara, melalui pemerintah, tak malu-malu membungkam pelbagai komunitas warga yang melawan tambang demi ruang hidupnya. Label preman disematkan tanpa tedeng aling-aling kepada masyarakat adat Maba Sangaji yang tengah berjuang untuk mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan dan penghancuran.
Luka serupa juga dialami masyarakat dan pemuda adat Poco Leok yang dibungkam melalui kriminalisasi ketika proyek pengeboran panas bumi akan menghancurkan hutan mereka.
Kriminalisasi pun kian terbuka dilakukan pada para penjaga hutan adat. Padahal, negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan menjadi alat bagi korporasi yang merampas tanah dan sumber daya alam demi menangguk cuan dari berbisnis komoditas jarahan.
Negara dan korporasi berlindung di balik klaim transisi energi dan ekonomi berkelanjutan, padahal itu hanya jargon negara-korporasi untuk menyamarkan praktik perampasan ruang hidup rakyat, mencemari lingkungan, dan memicu konflik sosial yang semakin mendalam. HATAM 2025 hadir untuk mengungkap kebohongan ini dan membangun kekuatan rakyat untuk menolak ekspansi industri ekstraktif yang berkedok keberlanjutan.
Menurutnya pola ini sama saja dengan perilaku industri ekstraktif lainnya, seperti batu bara, emas, hingga tembaga di berbagai tempat.
“Kita melawan ekstraktivisme karena kita tahu tambang dan proyek ekstraktif lainnya hanya bentuk lain dari penjajahan yang menyaru dalam nama pembangunan. Kita merawat hidup karena tanah, air, hutan, dan udara adalah bagian dari tubuh kita. Karenatak ada artinya pembangunan jika kehidupan rakyat dilenyapkan.” ucap Melky.
Penyintas lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo, Harwati, mengingatkan adat dan budaya adalah kunci untuk mempertahankan ruang hidup, menguatkan perjuangan mempertahankan tanah leluhur.
SHARE