MA Diharapkan Beri Putusan Adil buat Sorbatua Siallagan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 12 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil bersama Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan, kembali mendatangi Mahkamah Agung (MA), di Jakarta, Jumat (9/5/2025). Mereka meminta Majelis Hakim MA, bisa memberikan putusan yang adil kepada Sorbatua Siallagan,  Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), yang dianggap dikriminalisasi oleh PT TPL.

“Pemeriksaannya (kasus) dilakukan secara tertutup. Sehingga kita tidak tahu kapan putusan kasasinya akan keluar. Tapi kita berharap Sorbatua Siallagan bisa mendapatkan putusan yang adil dari MA,” kata Judianto Simanjuntak, kuasa hukum Sorbatua Siallagan, Minggu (11/5/2025).

Judianto yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan bahwa perkara yang tengah berproses di tingkat kasasi ini membawa angin segar bagi penegakan hukum. Anggapan tersebut didasarkan dari putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tertanggal 17 Oktober 2024, yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 155/Pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, tertanggal 14 Agustus 2024.

“Menyatakan perbuatan terdakwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan perdata, serta melepaskan Sorbatua dari segala tuntutan hukum,” kata.

Kelompok masyarakat sipil bersama perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menggelar aksi di depan MA, pada 9 Mei 2025. Foto: Istimewa.

Menurut Judianto, putusan tersebut telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan berbagai instrumen hukum lainnya.

Namun, karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 7 November 2024, maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Hingga kini, status hukum Sorbatua masih sebagai terdakwa dengan perkara yang terdaftar di MA pada register No. 4398 K/Pid.Sus-LH/2025.

Perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan, Friska Simanjuntak, menyampaikan kekecewaan atas kriminalisasi terhadap Sorbatua, yang dimulai dari penculikan, penetapan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara atas laporan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga dihukum dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Padahal, menurutnya, komunitas adat mereka sudah secara turun-temurun mengelola wilayah adat tersebut sejak tahun 1700-an.

“Generasi kami yang saat ini mendiami Huta Dolok Parmonangan adalah generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan,” ujar Friska.

Ia juga menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menuntut keadilan dan mendesak MA agar membebaskan Sorbatua.

Sinung Karto dari Divisi Penanganan Kasus PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa kasus Sorbatua adalah satu dari banyak contoh kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat membuat wilayah mereka rentan terhadap perampasan, kekerasan, dan intimidasi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024, AMAN mencatat 121 kasus perampasan wilayah adat seluas 2.824.118,36 hektare yang menimpa 140 komunitas adat.

“Kedatangan komunitas adat ke Jakarta ini harus menjadi refleksi bagi negara dan aparat penegak hukum agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” kata Sinung.

Sinung pun berharap Majelis Hakim MA dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, bukan hanya bagi Sorbatua dan komunitasnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat adat di Nusantara.

Samuel dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), berpendapat kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk nyata penyalahgunaan hukum untuk merampas hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri. Negara, melalui aparat penegak hukum, telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat adat dan justru menjadi alat kekerasan struktural yang melegitimasi kepentingan korporasi.

“Ini bukan sekadar persoalan hukum, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sorbatua dikriminalisasi karena membela tanah adatnya. Mahkamah Agung harus melihat perkara ini dengan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia, bukan semata-mata prosedur hukum formal,” katanya.

Marvella Fiorenza Barfiandana, mahasiswa dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menganggap aksi damai yang mereka lakukan kali ini adalah bentuk suara masyarakat sipil kepada MA. Mereka berharap agar majelis hakim memutus perkara ini dengan jujur, adil, dan tanpa campur tangan pihak lain.

Dalam aksi ini, mereka menyerahkan surat dukungan dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan yang berisi 324 tanda tangan serta petisi dari Change.org “Bebaskan Sorbatua Siallagan” yang telah didukung oleh 10.017 orang.

Judianto menambahkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun keliru dalam menjatuhkan hukuman. Ia bilang, dalam hukum pidana, hanya tindakan yang merupakan kesalahan dan melawan hukum yang dapat dijatuhi pidana. Karena itu, pihaknya berharap MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan membebaskan Sorbatua dari seluruh dakwaan.

“Sorbatua tidak melakukan kesalahan maupun tindakan yang melanggar hukum,” ujarnya.

SHARE