Sawit Watch Meminta Pemerintah Lindungi Buruh Kebun Sawit
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Sawit
Rabu, 07 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sawit Watch meminta pemerintah segera menetapkan kebijakan perlindungan terhadap buruh perkebunan sawit di Indonesia. Tak hanya itu, kelompok masyarakat sipil ini juga meminta agar ada jaminan atas kepastian kerja, juga upah layak.
Dalam rilisnya, Sawit Watch menguraikan, luas tutupan kebun sawit di Indonesia yang berdasarkan data pemerintah sebesar 16,38 juta hektare. Sementara itu, menurut data yang dikumpulkan Sawit Watch, luas kebun sawit di Indonesia hingga 2024 (berbasis izin) telah mencapai 25,33 juta hektare. Industri ini menyerap sebanyak 20 juta buruh, namun di sektor hulu perlindungan terhadap buruh masih menjadi persoalan besar.
Sementara itu, menurut data yang dikumpulkan Sawit Watch, luas kebun sawit di Indonesia hingga 2024 (berbasis izin) telah mencapai 25,33 juta hektare. Industri ini menyerap sebanyak 20 juta buruh, namun di sektor hulu perlindungan terhadap buruh masih menjadi persoalan besar.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyatakan buruh menjadi aktor penting industri sawit, sehingga kondisi kesejahteraannya seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Menurut Surambo, buruh perkebunan sawit bekerja dalam kondisi rentan, tanpa jaminan kepastian kerja, dan kepastian upah.

“Kerentanan buruh perkebunan sawit sudah berlangsung lama, bahkan terjadi di perkebunan sawit yang mengklaim memiliki sertifikat keberlanjutan dan komitmen tanpa eksploitasi,” kata Surambo pada 1 Mei 2025.
Surambo melanjutkan, merujuk hasil riset International Palm Oil Workers United (IPOWU) dan Koalisi Buruh Sawit (KBS), kondisi buruh sawit, terutama buruh perempuan yang banyak bekerja di bagian penyemprot dan pemupuk sangat rentan menerima dampak negatif penggunaan bahan agrokimia di perkebunan sawit.
“Riset yang dilakukan menemukan fakta bahwa perkebunan sawit tidak melakukan pemeriksaan kesehatan rutin terhadap buruh yang bekerja dengan bahan agrokimia, perkebunan sawit juga tidak menyediakan fasilitas sanitasi layak yang diperuntukkan bagi buruh penyemprot dan pemupuk,” ujarnya.
Spesialis Perburuhan Sawit Watch, Zidane, menambahkan, rekrutmen tipuan menjadi persoalan lain yang dihadapi buruh perkebunan sawit. Sawit Watch menemukan praktik rekrutmen tipuan di mana buruh direkrut dengan janji akan menerima upah tinggi dan dilengkapi fasilitas. Namun kenyataannya upah yang diterima jauh di bawah ketentuan UMK.
“Upah minim yang diterima masih dipotong untuk pembayaran alat kerja. Mereka bekerja dalam kondisi kerja yang buruk, upah minim, perikatan kerja tidak jelas dan beban utang yang dipotong langsung dari upah bulanan,” kata Zidane.
Sawit Watch, lanjut Zidane, juga menerima informasi kekhawatiran buruh berkenaan dengan penertiban kawasan hutan (PKH) yang dilakukan pemerintah. Buruh khawatir kepastian kerja mereka terancam dengan penertiban tersebut. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan misalnya, Satgas PKH memasang plang bahwa perkebunan sawit dimaksud dalam penguasaan negara.
“Buruh mengkhawatirkan jika perkebunan itu diambil alih negara, lantas bagaimana dengan nasib mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun?” ucap Zidane.
Surambo mengatakan, Sawit Watch meminta Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit dengan jaminan atas kepastian kerja, upah layak, perlindungan buruh perempuan dan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
“Pemerintah perlu membangun sistem kerja yang memastikan kondisi kerja yang layak bagi buruh perkebunan sawit. Kerja layak ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab produsen di hulu dan sepanjang rantai pasok,” ujar Surambo.
SHARE