Studi Insentif Ikan Terancam Punah: Kena tangkap, Lepaskan, Bayar
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelautan
Sabtu, 03 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebuah studi baru dari University of Oxford telah mengungkapkan bahwa program insentif meningkatkan pelepasan spesies ikan langka yang ditangkap sebagai tangkapan sampingan. Namun, secara tidak terduga, dampak positif secara keseluruhan berkurang dengan meningkatnya tangkapan beberapa kapal terhadap spesies ini.
Dilansir dari Phys.org, penelitian ini merupakan uji coba terkontrol acak pertama di dunia yang secara meyakinkan menilai efektivitas program konservasi laut berbasis insentif, dengan temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances.
Satwa laut besar dan berumur panjang seperti hiu dan pari termasuk di antara kelompok yang paling terancam di dunia, terutama karena penangkapan ikan yang berlebihan pada perikanan yang ditargetkan dan tangkapan sampingan. Pada perikanan kecil, rumah tangga bergantung pada sumber daya laut untuk makanan dan pendapatan mereka, sehingga menciptakan tarik ulur antara keanekaragaman hayati dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, insentif dapat menjadi pilihan yang hemat biaya dan adil untuk menyeimbangkan kebutuhan manusia dan keanekaragaman hayati. Namun, insentif juga dapat mengubah perilaku dengan cara yang tidak terduga, yang berarti dampaknya perlu diuji secara ketat sebelum diperluas.

Para peneliti Oxford bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil lokal Kebersamaan untuk Lautan (KUL) demi mengevaluasi program bayar untuk pelepasliaran yang memberikan kompensasi kepada nelayan yang telah melepasliarkan dua kelompok spesies yang terancam punah secara aman, yaitu hiu martil (Sphyrna) dan ikan baji (Rhynchobatus), dalam perikanan skala kecil di Indonesia. Hiu martil dan ikan baji terancam oleh penangkapan ikan yang berlebihan dan sering kali tertangkap sebagai tangkapan sampingan saat menangkap spesies lain.
Studi ini mengevaluasi 16 bulan pertama program (Mei 2022-Agustus 2023), yang melibatkan 87 kapal yang secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok memenuhi syarat untuk menerima pembayaran kompensasi untuk pelepasliaran hiu martil, sementara kelompok lainnya bertindak sebagai kontrol dan tidak ditawari pembayaran.
Nelayan membuktikan bahwa mereka telah melepaskan ikan martil dan wedgefish dengan aman dengan mengambil video dengan kamera yang disediakan, yang harus menunjukkan ikan yang dilepaskan dengan aman berenang menjauh dan tidak terlihat. Pembayaran kompensasi sesuai dengan apa yang dapat diperoleh nelayan dengan menjual hiu dan pari di pasar lokal, berdasarkan penelitian sebelumnya yang juga dilakukan oleh tim Oxford yang sama.
Program ini terbukti sangat berhasil dalam memotivasi nelayan untuk melepaskan spesies yang terancam punah, 71% ikan baji yang tertangkap dilepaskan, sementara 4% ikan martil yang tertangkap dilepaskan. Namun, evaluasi eksperimental mengungkapkan bahwa program ini juga mendorong beberapa kapal untuk meningkatkan hasil tangkapan mereka untuk menerima lebih banyak pembayaran dengan mengorbankan tujuan konservasi.
Ketika hal ini diperhitungkan, kematian ikan baji hanya 25% lebih rendah pada kondisi perlakuan dibandingkan dengan kontrol, sementara kematian ikan martil 44% lebih tinggi.
Hasilnya memberikan wawasan penting untuk mengadaptasi program insentif KUL. Sejak penelitian tersebut, KUL telah 1) menyesuaikan jumlah kompensasi yang ditawarkan kepada nelayan, sehingga didasarkan pada kelas ukuran, 2) membatasi jumlah pelepasan kompensasi yang diizinkan per kapal per minggu, dan 3) mengujicobakan skema pertukaran alat tangkap yang baru, untuk menghindari tangkapan spesies yang terancam punah.
Meskipun belum ada analisis formal yang diselesaikan untuk fase kedua, hasil awal terlihat menjanjikan. KUL juga terus menjalankan program ini sebagai uji coba terkontrol secara acak, bersama dengan para peneliti Oxford, dengan dukungan finansial dari Darwin Initiative Inggris.
Hollie Booth, dari Departemen Biologi, Universitas Oxford, menuturkan, program berbasis insentif memainkan peran penting dalam konservasi alam yang efektif dan berkeadilan sosial. Pihaknya tidak dapat mengharapkan pengguna sumber daya skala kecil untuk menanggung sebagian besar biaya konservasi, terutama ketika ada pemangku kepentingan yang lebih kaya dan lebih kuat yang menyebabkan dampak negatif yang besar.
“Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian kami, insentif harus dirancang dengan baik dan dievaluasi dengan kuat untuk mendorong perilaku yang tepat dan pada akhirnya memberikan hasil positif bagi alam dan manusia,” ujar Booth.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang paling hati-hati dalam merancang program konservasi tidak dapat memperhitungkan semua jenis ketidakpastian dan kompleksitas di dunia nyata—dan menggarisbawahi pentingnya melakukan uji coba dengan desain eksperimental sebelum melakukan perluasan.
Peneliti senior Profesor Paul Ferraro, dari Johns Hopkins University, mengatakan, skema bayar untuk melepas spesies yang terancam punah yang ditangkap oleh nelayan lokal sedang diterapkan di seluruh dunia. Namun, skema ini cenderung diterapkan tanpa ada yang bertanya apakah skema ini benar-benar membuat perbedaan pada hasil tangkapan spesies yang terancam punah.
“Sangat memprihatinkan bahwa begitu banyak uang yang terus dihabiskan untuk program konservasi tanpa evaluasi yang ketat terhadap dampaknya terhadap keanekaragaman hayati dan hasil sosial-ekonomi,” ujar Ferraro.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya, Teuku Ridwan, mengatakan inisiatif ini telah memberikan dampak nyata dalam memperkuat mata pencaharian nelayan kecil, yang menjadi tulang punggung kehidupan pesisir di Aceh Jaya.
“Kami berharap sinergi antara organisasi pelaksana, masyarakat nelayan, tokoh adat, dan pemerintah daerah terus diperkuat untuk mewujudkan pengelolaan laut yang adil, berkelanjutan, dan berakar pada kearifan lokal,” ujar Ridwan.
Para peneliti menyoroti bahwa dengan mengambil pendekatan ini akan memastikan bahwa intervensi konservasi dapat berkontribusi lebih baik untuk membengkokkan kurva kehilangan keanekaragaman hayati dan mewujudkan visi Global Biodiversity Framework’s 2050 untuk “hidup selaras dengan alam.”
SHARE