Kasus Lumpur Sorik Marapi: PT SMGP Terlalu Cepat Menyimpulkan

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Rabu, 30 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pakar menilai PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) terlalu terburu-buru menyebutkan semburan lumpur panas di Desa Roburan Dolok, Kecamatan Panyabungan Selatan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, sebagai kejadian alamiah. Keselamatan masyarakat seharusnya menjadi prioritas atas risiko bencana pada daerah eksplorasi sumber daya alam.

Guru Besar Manajemen Kebencanaan Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Eko Teguh Paripurno, menyebutkan munculnya gas hingga lumpur panas biasanya terjadi di kawasan yang memiliki potensi panas bumi. Beberapa muncul di sekitar pengeboran geotermal.

Kemunculan ini bisa memiliki risiko tinggi bagi masyarakat karena mengandung gas seperti karbon dioksida (CO2). 

Namun untuk memastikan kaitan munculnya gas dengan pengeboran panas bumi perlu observasi lengkap. 

Peta areal PT Sorik Marapi Geothermal Power seluas 62.900 hektare di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Peta: Jatam.

“Ini tidak bisa dilihat dengan lokasinya berdekatan atau tidak tetapi pada rekahannya. Kegiatan munculnya lumpur berarti kan ada zona lemah yang sampai atau berhubungan dengan material yang dikeluarkan. Ini kan juga terjadi pada geotermal di tempat lain seperti Mataloko, Suoh, Dieng,” ucapnya ketika berbincang dengan redaksi pada Selasa (29/4/2025).

Ia menyebutkan untuk mengkategorikan semburan lumpur di wilayah kebun masyarakat sekitar area sumur Pad-E PT SMGP perlu melihat jalur rekahan ini. 

“Kalau ini mau dibuktikan, ya mari dibuktikan secara terbuka,” kata dia.

Menurutnya secara ideal pengeboran panas bumi memiliki standar keamanan tinggi. Aktivitas ini harus menimbang potensi risiko tambahan. Mereka perlu memastikan titik paling aman, kedalaman, uap produksi, hingga patahan. 

“Semua hal itu menyangkut keamanan, namun yang menjadi catatan itu soal keamanan sering kali beda persepsi. Para kontraktor pengeboran seringkali menilai keamanan untuk bisnisnya sedangkan secara ideal keamanan itu menyangkut keselamatan,” ucapnya. 

Menurutnya pemerintah wajib melakukan observasi ini, bukan hanya untuk kepentingan investasi tetapi keselamatan masyarakat sekitar. Munculnya lumpur panas, jika pun tidak berkaitan dengan pengeboran, perlu dilihat konsentrasinya. 

Konsentrasi CO2 yang berbahaya akan bergerak ke tempat yang rendah. Mitigasi perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menangani hal ini. 

“Jadi intinya pemerintah bertanggung jawab soal keselamatan masyarakat bukan soal investasi. Itu yang seharusnya dilakukan," ujarnya.

Sebelumnya semburan lumpur panas terjadi beberapa hari belakangan di Mandailing Natal di sekitar lokasi pengeboran PT SMGP, di Desa Roburan Dolok, Kecamatan Panyabungan Selatan. Desa ini berjarak kurang dari satu kilometer dari wellpad E milik PT SMGP, korporasi yang menguasai wilayah kerja panas Bumi (WKP) seluas 62.900 hektare atau 629 km², mencakup 138 desa di 10 kecamatan.

Setidaknya sepuluh titik semburan lumpur panas yang seluruhnya berada di kebun garapan milik warga. Berdasarkan perhitungan citra satelit, lokasi semburan berada sekitar 900 meter dari wellpad E dan sekitar 317 meter dari permukiman warga di Desa Roburan Dolok, yang dihuni oleh 1.931 jiwa.

Titik-titik baru semburan lumpur ini rata-rata juga hanya berjarak sekitar 700 meter dari Puskesmas setempat. Sementara itu, jarak dari wellpad E ke permukiman warga hanya sekitar 480 meter.

Proses munculnya semburan lumpur panas diawali oleh rekahan-rekahan kecil di permukaan tanah yang mengeluarkan asap. Gejala ini telah terjadi sejak 2021, atau empat tahun setelah pengeboran dilakukan oleh PT SMGP.

Pada Jumat (25/4/2025), Corporate Communication Manager PT SMGP, Agung Iswara, menyebutkan pihaknya bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mandailing Natal melakukan tinjauan lapangan ke lokasi. 

“Hasilnya menunjukkan bahwa titik manifestasi tersebut berada di lokasi lain di Desa Roburan Dolok dan tidak berada di area sumur Pad-E PT SMGP. Sementara manifestasi yang berada di sekitar area Pad-E merupakan fenomena alamiah yang telah terpantau sejak tahun 2021,” ucap Agung. 

SHARE