Hari Bumi 2025: Sumatera Menolak Punah oleh Batu Bara
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Sabtu, 26 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hari Bumi Internasional 2025 diperingati di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di Sumatera. Dalam momen ini, Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menyerukan jargon Sumatera Menolak Punah, sebagai bentuk penegasan sikap dan perlawanan terhadap batu bara.
Dalam rilisnya, Koalisi menyebut tema Sumatera Menolak Punah merupakan seruan untuk melawan kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan hidup, menolak sumber energi yang mengorbankan generasi masa depan, dan memperjuangkan transisi energi bersih, adil dan berkelanjutan.
Dalam rilisnya, koalisi yang terhimpun dari sejumlah kelompok masyarakat sipil di Sumatera itu menguraikan, dalam peringatan Hari Bumi kali ini mereka ingin menghadirkan ruang kolaborasi, edukasi dan mobilisasi aksi yang menempatkan Sumatera sebagai barisan terdepan dalam perlawanan terhadap krisis iklim.
Koalisi mengungkapkan, mereka telah melakukan pemantauan terhadap operasi sembilan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Sumatera, yakni PLTU Nagan Raya Aceh, PLTU Pangkalan Susu Sumut, PLTU Ombilin Sumbar, PLTU Tenayan Raya Riau, PLTU Keban Agung Lahat, PLTU Sumsel 1, PLTU Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Semaran Jambi, PLTU Sebalang dan Tarahan Lampung.

Dari hasil pantauan selama dua tahun terakhir itu mereka menemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup. Dari total temuan tersebut 12 di antaranya telah dilaporkan ke penegak hukum di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun hal ini tidaklah cukup untuk mempercepat penghentian aktivitas PLTU batu bara di Sumatera.
Koalisi menyebut rezim Presiden Prabowo sekarang ini terkesan membabi buta mendukung proyek-proyek batu bara, hilirisasi batu bara dalam bentuk gas, dukungan terhadap eksploitasi nikel sebagai media pengganti minyak bumi.
Tak hanya itu, Danantara yang juga berpotensi mendukung gasifikasi batu bara serta industri-industri turunannya adalah bentuk nyata bahwa rezim ini tidak berniat untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh baik transisi energi dunia. Pembiayaan eksploitasi pada sumber daya alam seperti hilirisasi batu bara, menurut Koalisi, merupakan kebijakan yang kontra produktif dengan agenda transisi energi yang sedang dilakukan negara Indonesia.
“Belum ada pergerakan yang signifikan dari negara untuk menjalankan agenda transisi energi. Yang muncul adalah strategi akal-akalan seperti co-firing, gasifikasi batu bara dan biomas, yang semuanya bertujuan untuk melanggengkan batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik di Sumatera,” kata Ali Akbar, Koordinator STuEB, yang juga Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Selasa (22/4/2025).
Syukur dari Apel Green Aceh, menyebut pembakaran batu bara di PLTU Nagan Raya selama ini telah menghasilkan abu pekat dan debu yang mengganggu kenyamanan serta kesehatan warga yang tinggal di sekitar wilayah operasional pembangkit.
Syukur bilang, polusi yang dihasilkan bukan hanya sekadar mengganggu, tapi sudah sampai pada tahap mengancam keselamatan hidup masyarakat. Berdasarkan data setidaknya 512 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan 174 kasus penyakit kulit yang diyakini kuat berkaitan dengan polusi udara dari aktivitas PLTU.
“Untuk keselamatan rakyat maka solusi terbaik cuma satu, pensiun dini PLTU 1 & 2 Nagan Raya. Pemerintah harus berani ambil langkah tegas demi menyelamatkan lingkungan dan masyarakat,” kata Syukur.
Wilton Amos Panggabean dari YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekan Baru mengatakan, Riau tanpa batu bara merupakan langkah tepat mengatasi krisis iklim, karena keberadaan PLTU Tenayan Raya justru menambah derita bagi masyarakat Riau di tengah fenomena cuaca yang ekstrim. Selain itu, nelayan di Okura juga terdampak karena tidak bisa lagi mengkonsumsi air dari Sungai Siak.
“Tidak adanya komitmen pemerintah untuk menghentikan laju emisi karbon berdampak pada menurunnya kualitas hidup masyarakat Riau khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar PLTU,” ujarnya.
Situasi di Jambi juga tak kalah mengkhawatirkan. Hardi Yuda dari Lembaga Tiga Beradik Jambi, mengatakan lubang-lubang bekas tambang batu bara terbuka lebar tanpa reklamasi, ini adalah kejahatan lingkungan.
Sementara itu, dana reklamasi yang seharusnya digunakan untuk pemulihan bekas tambang disalurkan entah ke mana. Di Kabupaten Muaro Jambi, situs cagar budaya nasional terluas di Asia Tenggara terancam rusak akibat dikepung stockpile batu bara.
Sedangkan di Desa Semaran Kabupaten Sarolangun, masih kata Hardi, setiap hari masyarakat dihadapkan dengan polusi udara akibat PLTU Semaran yang dioperasikan PT Permata Prima Elektrindo.
“Hingga saat ini dari persoalan tersebut belum terlihat adanya upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi tersebut, hal ini terkesan dibiarkan,” ujar Hardi.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara, Sumiati Surbakti, menyebut pengurus negara ini sangat kecanduan dengan batu bara padahal sudah sangat jelas bahwa batu bara itu sangat bermasalah dari hulu ke hilir, tapi tetap saja terus dipertahankan tanpa memikirkan penderitaan rakyat dan sudah banyak yang menjadi korban baik dari hulu ketika batu bara diambil dari perut bumi hingga ketika batu bara digunakan.
“Wajar jika ada yang mengatakan kalau kita sebenarnya masih belum merdeka, cuma ganti tangan saja,” kata Sumiati.
Di Lampung, penyediaan energi listrik oleh negara yang dihasilkan melalui energi fosil akan terus menimbulkan persoalan, dan setiap persoalan yang terjadi selalu rakyat yang terus menjadi korban. Sumaindra dari LBH Lampung, mengatakan energi kotor yang dihasilkan melalui PLTU sejauh ini dari hulu hingga hilir perlu dilihat sebagai upaya yang memperburuk lingkungan dan pelanggengan pelanggaran HAM.
“Provinsi Lampung dengan pemenuhan energi listrik melalui PLTU, yang salah satunya PLTU Sebalang, telah memberikan dampak terhadap masyarakat, yang berakibat pada wilayah tangkap nelayan serta beberapa kasus sebelumnya mengenai akses jalan publik masyarakat,” kata Indra.
Ia menilai stockpile batu bara yang menjamur di Lampung yang diduga ilegal memberikan dampak kesehatan kepada masyarakat di sekitar Desa Sukaraja dan masyarakat banyak mengalami ISPA dan penyakit kulit akibat debu batu bara yang dihasilkan dari stockpile.
“Karena itu penting mendorong dan memastikan negara untuk melakukan transisi energi yang bersih, adil dan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan energi yang partisipatif dan berpihak kepada masyarakat,” ujarnya.
Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi, mengatakan negara telah gagal memenuhi kewajiban dasarnya dalam menjamin hak asasi manusia. Warga di sekitar PLTU, khususnya di PLTU Ombilin dan PLTU Teluk Sirih di Sumatera Barat dibiarkan tanpa perlindungan, meski hidup dalam bayang-bayang ancaman kesehatan dan keselamatan akibat aktivitas PLTU.
“Negara membiarkan rakyatnya bertaruh nyawa demi kelangsungan hidup sehari-hari,” tutur Diki.
Sahwan dari Yayasan Anak Padi Lahat, menuturkan, Lahat sebagai salah satu daerah penghasil terbesar batu bara di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), jelas sangat berdampak buruk terhadap lingkungan. Di mana bentang alam yang sangat indah sekitar Bukit Serelo kini berubah menjadi lobang tambang yang besar.
Bukan itu aja, imbuh Sahwan, saat musim hujan banjir yang selalu menghantui bisa jadi dikarenakan menyempit atau mendangkalnya sungai akibat aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, angkutan batu bara yang hilir mudik juga menyebabkan polusi udara yang mengganggu kesehatan.
“Di Lahat juga terdapat PLTU Keban Agung dan di sekitar PLTU ini ada petani yang mengaku penghasilnya menurun sejak PLTU ini beroperasi,” kata Sahwan.
Boni dari Perwakilan Perkumpulan Sumsel Bersih, menambahkan, pada peringatan Hari Bumi 2025 ini Pemerintah Sumsel seharusnya bisa mengambil langkah besar dalam menyelamatkan masyarakat dari bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Sepanjang 2024-2025 di berbagai daerah di Sumsel diterpa bencana alam mulai dari banjir hingga kebakaran hutan hal ini di sebabkan kerusakan lingkungan.
Boni menilai percepatan transisi energi yang adil dan berkelanjutan merupakan hal yang penting dilakukan oleh Pemerintah Sumsel guna memitigasi kerusakan lingkungan. Maka ia menyerukan stop dan evaluasi pembangunan PLTU batu bara baru di Sumsel, karena setiap pembangunan PLTU dan tambang akan berbanding lurus dengan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber perekonomian masyarakat.
“Sementara saat ini bauran energi Provinsi Sumsel sebesar 24,14% telah melebihi target baur energi nasional dengan energi baru dan terbarukan (EBT) yang terpasang saat ini sebesar 989,12 MW, maka seharusnya Sumsel dalam mewujudkan transisi energi harus berani mengajukan pengurangan PLTU batu bara sebesar pembangkit EBT yang telah terpasang,” ujar Boni.
Perwakilan Koalisi Aksi Penyelamat Lingkungan (KAPL), Arlan, menyampaikan bahwa Sungai Musi sebagai jantung perekonomian masyarakat harus segera diselamatkan dari dampak negatif keberadaan angkutan batu bara dan stockpile batu bara yang menyebabkan terjadinya pendangkalan dan tercemarnya Sungai Musi.
Di sisi lain, lanjut Arlan, aktivitas angkutan batu bara dan tambang batu bara di Sumsel sangat meresahkan masyarakat mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya mata pencaharian masyarakat dan menurunnya kualitas kesehatan.
“Maka layak dituntut untuk cabut izin dan tutup semua stockpile yang ada di sepanjang Sungai Musi serta evaluasi angkutan batu bara di perairan Sungai Musi yang selama ini membawa bencana terhadap masyarakat di Sumsel,” kata Arlan.
Arlan yang juga Koordinator aksi Sumatera Menolak Punah meminta kepada Gubernur Sumsel, Herman Deru berani memimpin atau menginisiasi percepatan pemensiunan PLTU batu bara demi mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Pulau Sumatera, melalui langkah koordinasi dan konsolidasi dengan para gubernur di se-Sumatera.
Selain itu ia mendesak presiden Prabowo untuk mewujudkan proses pemulihan baik terhadap lingkungan maupun korban yang telah jatuh akibat investasi tambang batu bara dan pembangkit energi fosil di Sumatera Selatan secara khusus dan Pulau Sumatera, dan segera mempercepat transisi energi untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dan menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
“Sampai dengan rilis ini dinaikkan, di 7 PLTU batu bara di Sumatera sebanyak 4.920 jiwa sedang menanggung dampak polusi udara,” kata Arlan.
SHARE