Koalisi: RUU Masyarakat Adat Merupakan Amanat Konstitusi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Minggu, 20 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, hingga kini dianggap belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan, dan ketidakjelasan ini telah menimbulkan keprihatinan. Padahal, frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca-amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

Hal tersebut menjadi pokok bahasan dalam diskusi publik bertajuk Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat, yang digelar Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, secara daring, Rabu (16/4/2025).

Dalam diskusi tersebut, Rina Mardiana, akademisi dari IPB University mengatakan, rancangan undang-undang (RUU) masyarakat adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik.

Masyarakat adat, lanjut Rina, adalah masyarakat otohton, yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri.

Masyarakat Adat saat mengikuti gerak aksi "Menagih Janji Politik untuk Masyarakat Adat" di depan gedung DPR RI. Foto: AMAN

“Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja),” ujar Rina.

Erwin Dwi K. dari Perkumpulan HuMa, yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak-hak tradisional menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Erwin berpendapat selain original intent dari frasa hak-hak tradisional dapat menjadi salah satu rujukan untuk merumuskan hak-hak masyarakat adat dalam RUU Masyarakat Adat. Selain itu, lanjutnya, pelbagai norma yang sudah berlaku dan situasi-situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat menjadi rujukan lainnya.

“UU (undang-undang) masyarakat adat harus memperjelas hak-hak yang melekat di masyarakat adat, memastikan hak tersebut adalah HAM, dan menjadikan Negara bertanggung jawab untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut,” ujar Erwin.

Di kesempatan yang sama, Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan bahwa masyarakat adat di Sumba Timur menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. 

“Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan masyarakat adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh. Tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan,” kata Triawan Umbu.

Triawan Umbu menambahkan, masyarakat adat di Sumba Timur menerapkan praktik yang baik dalam mengelola sumber daya alam, agar tetap lestari dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam dikontrol melalui sistem kelembagaan adat dan mekanisme pengambilan keputusan, yakni musyawarah adat, sehingga dapat menghindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Sementara itu, bagi masyarakat adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat adat di sana menilai bahwa wilayah adat di Pegunungan Meratus merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Tokoh adat Meratus, Harnilis, menyebutkan, untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, masyarakat adat kompak kerja sama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

“Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya,” kata Harnilis.

Harnilis juga mengungkit tentang rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi taman nasional atau kawasan konservasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ia menganggap rencana penetapan wilayah adat menjadi taman nasional dapat mencederai hak-hak tradisional masyarakat adat.

Harnilis menyebut bahwa masyarakat adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

“Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” ujar Harnilis.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, menganggap hak-hak tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU masyarakat adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi masyarakat adat.

Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Koalisi menyebut, pemenuhan terhadap hak-hak tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan undang-undang masyarakat adat.

SHARE