Negara Rampas Banyak Wilayah Adat, AMAN: Melawan Konstitusi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Rabu, 16 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kebijakan Pemerintah Indonesia dianggap terus merugikan masyarakat adat, terkhusus praktik perampasan wilayah adat, yang bertentangan dengan konstitusi tapi mendapat perlindungan dari negara. Demikian menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.

Ia juga menyebut hanya di Indonesia, perampasan wilayah adat dilegalkan.

“Perampasan wilayah adat saat ini dilegalkan melalui instrumen hukum, padahal itu bertentangan dengan konstitusi,” kata Rukka, dalam pidatonya di hadapan ratusan peserta Rapat Kerja Nasional AMAN VIII di komunitas Masyarakat Adat Kutai Lawas Layang Sumping, Desa Kedang Ipil, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, pada Senin (14/4/ 2025).

Rukka menyebutkan, beberapa komunitas masyarakat adat yang melakukan perlawanan, langsung mendapatkan kriminalisasi dengan tudingan melawan hukum. Rukka mencontohkan perjuangan masyarakat adat di Tano Batak yang menolak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Masyarakat adat Poco Leok yang menolak wilayah adatnya dirampas untuk pembangunan PLTP Ulumbu, bentrok dengan aparat yang datang mengamankan rombongan PT PLN ke wilayah Poco Leok, Sabtu (25/11/2023). Foto: Koalisi Advokasi Poco Leok

“Banyak saudara-saudara kita di Tano Batak yang mendekam di penjara hanya karena mempertahankan tanah leluhurnya. Mereka dikriminalisasi,” ujarnya.

Terkait hal ini, Rukka minta setiap komunitas masyarakat adat di Indonesia untuk bersatu memperkuat perlawanan menghadapi segala macam upaya yang melemahkan gerakan masyarakat adat. Sebab, menurutnya, tak hanya kriminalisasi, kini beragam peraturan dan kebijakan juga ikut didesain dengan sistematis untuk merugikan masyarakat adat, mulai dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE), hingga yang terbaru UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menempatkan praktik militerisme di tengah masyarakat sipil.

Rukka juga menyinggung ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya terkait perdagangan karbon. Di Kalimantan Timur, sebutnya, banyak pihak menikmati keuntungan dari perdagangan karbon. Sementara di Tano Batak, masyarakat adat terus berdarah-darah untuk menjaga hutan.

Dikatakannya, hutan memang harus memberi manfaat, tetapi bukan dengan cara menindas kelompok lain.

“Kita boleh menikmati hasil hutan, tapi bukan dengan mengorbankan saudara-saudara kita di tempat lain,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rukka menekankan pentingnya perjuangan untuk pengesahan undang-undang masyarakat adat serta penerbitan peraturan daerah (perda) yang melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat di tingkat lokal. Ia juga menegaskan pentingnya pemetaan wilayah adat sebagai bentuk perlindungan dari ancaman perampasan.

“Petakan wilayah adatmu, karena bisa jadi wilayah itu sudah dibagi-bagi oleh orang lain tanpa kita sadari. Peta bukan hanya selembar kertas, tapi alat perlawanan, pengingat sejarah, dan bukti keberadaan,” ucap Rukka.

Produk hukum daerah tidak berfungsi

Rukka menyebutkan, ada sebanyak 350 produk hukum daerah dalam bentuk peraturan daerah atau surat keputusan tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat dat di Indonesia, namun belum memberikan manfaat kepada masyarakat adat.

"Ratusan produk hukum daerah ini tak berfungsi dan bahkan disangkal oleh undang-undang," ujarnya.

Rukka menambahkan, sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, masyarakat adat memiliki hak atas wilayah adat dan hutan adat. Dalam turunannya, setiap daerah mesti memberikan payung hukum untuk mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat sembari menunggu pengesahan undang-undang masyarakat adat yang sudah 14 tahun mangkrak di DPR RI.

Terkait hal ini, Rukka melanjutkan, AMAN telah menyiapkan seluruh dokumen pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, mulai dari data komunitas masyarakat adat, peta wilayah adat, sampai data potensi masyarakat adat.

"Jadi, meski konsep negara ini ada otonomi daerah, nyatanya praktiknya tidak ada. Perda-perda yang memayungi masyarakat adat, tak pernah difungsikan dan dijadikan alat untuk melindungi masyarakat adat," ujar Rukka.

Rukka berpendapat, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, fakta menunjukkan bahwa meski di beberapa tempat sudah memiliki payung hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, tapi justru ada 11,7 juta hektare wilayah adat yang hilang.

Kemudian, kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat meningkat. Berdasarkan catatan AMAN sepanjang 2024, telah terjadi 121 kasus kriminalisasi. Pada 2025, hingga Maret, sudah ada 113 kasus kriminalisasi.

“Jadi situasi makin memburuk," katanya.

Praktik kriminalisasi

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Bengkulu, Fahmi Arisandi, menyebut situasi saat ini sangat sulit bagi masyarakat adat. Praktik kriminalisasi serta pengusiran terhadap masyarakat adat masih terjadi di komunitas masyarakat adat di Bengkulu.

Dikatakannya, meski Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Seluma telah memiliki Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, tapi tetap saja ada praktek kriminalisasi. Ia mencontohkan di Seluma, peta wilayah adat ada dan sudah diakui melalui perda, tapi komunitas masyarakat adat di daerah ini justru dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri.

Atas dasar ini, Fahmi berharap pengesahan undang-undang masyarakat adat bisa segera terealisasi. Sebab, tanpa payung hukum yang lebih tinggi, maka produk hukum daerah yang memayungi masyarakat adat jadi tidak berguna.

"Undang-undang masyarakat adat sudah mendesak disahkan, mengingat situasi terus memburuk,” ucap Fahmi.

SHARE