11,5 Juta Ton Limbah Tailing IMIP Ancam Sungai Bahodopi
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Selasa, 22 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Banjir dan longsor yang melanda kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Maret 2025 lalu menunjukkan rentannya pencemaran limbah tailing. Analisis Yayasan Tanam Merdeka menyebutkan sebanyak 11,5 juta ton limbah tailing di kawasan PT IMIP mengancam Sungai Bahodopi.
Bencana pertama adalah banjir yang melanda Desa Labota dan Kawasan PT IMIP akibat jebolnya tanggul fasilitas penyimpanan tailing PT Huayue Nickel Cobalt pada 16 Maret 2025 lalu. Bencana ini berdampak terhadap 341 KK atau 1.092 jiwa di desa tersebut.
Bencana kedua adalah longsor di fasilitas penyimpanan tailing area PT QMB New Energy Materials pada 22 Maret 2025 yang menewaskan tiga pekerja.
Direktur Eksekutif YTM, Richard Fernandes Labiro, mengungkapkan curah hujan tinggi mengakibatkan area fasilitas penyimpanan tailing rentan terhadap bencana longsor dan banjir.

“Tempat penampungan yang bermasalah kemarin, digunakan dua perusahaan tenant yang menghasilkan katoda, PT Huayue Nickel Cobalt dan dan PT QMB New Energy Materials. Mereka memang dua perusahaan yang belum lama berdiri, sejak 2022,” kata dia dalam perbincangan melalui telepon pada Jumat (11/4/2025).
Kedua perusahaan tersebut beroperasi di kompleks kawasan industri PT IMIP. PT Huayue Nickel Cobalt dan dan PT QMB New Energy Materials merupakan dua dari delapan perusahaan yang memproduksi nikel dengan teknologi Pelindian Asam Bertekanan Tinggi (High Pressure Acid Leaching/ HPAL) untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
MHP adalah bahan baku untuk pembuatan baterai litium-ion untuk kendaraan listrik, barang-barang elektronik, alat penyimpanan listrik, dan aplikasi peralatan militer.
PT Huayue Nickel Cobalt memiliki kapasitas produksi 60.000 ton MHP/ tahun. Produksi ini juga berpotensi menghasilkan limbah tailing sebesar 6.000.000 ton.
PT QMB New Energy Materials memiliki kapasitas produksi 55.000 ton MHP/tahun dengan potensi limbah tailing sebesar 5.000.000 ton.
Citra Google Earth dari tanggal 3 Januari 2025 menunjukkan tanah longsor yang jelas dari fasilitas p
Dua perusahaan ini menghasilkan 11,5 juta ton limbah tailing. Dua bencana pada Maret lalu dipicu oleh hujan deras yang mengakibatkan jebolnya penampungan tailing dua perusahaan itu. Limbah tailing yang ditampung pun turut tersebar karena longsor dan banjir.
Hasil pemantauan YTM menunjukkan pengelolaan tailing di PT IMIP menggunakan metode Penyimpanan Tailing Kering (dry-stack tailings) di fasilitas penyimpanan Tailing (tailings storage facility - TSF). Metode ini berisiko besar dan berbahaya ketika menghadapi tingkat curah hujan tinggi.
Tailing dalam bentuk bubur tanah yang sudah dikeringkan masih memiliki kandungan air sekitar 30 hingga 35 persen. Ketika ditempatkan di fasilitas penyimpanan akan berubah menjadi lumpur ketika ditimpa curah hujan yang tinggi.
“PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan tailing sebagai Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Risiko bahaya bukan hanya dalam bentuk cair, seperti yang terjadi ketika curah hujan tinggi, melainkan juga saat kering karena debu limbah ini beterbangan,” ujarnya.
Sementara analisis citra satelit menunjukkan banjir dan longsor pada Maret membuktikan air, lumpur, tailing, dan tanah menyebar di kawasan penduduk. Lebih jauh longsor dan banjir dari fasilitas pembuangan tailing itu telah menuju Sungai Bahodopi.
“Jaraknya cuma delapan km saja. Ini belum lagi kalau ditambah dengan gempa, maka akan semakin parah lagi,” kata dia.
Ancaman tak hanya berhenti pada fasilitas PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Materials saja. Mereka hanya dua dari delapan perusahaan di PT IMIP yang diperkirakan menghasilkan limbah tailing sebesar 47 juta ton pada 2026.
Pperusahaan Penghasil MHP dan Tailing di IMIP. Sumebr Data: YTM
Tailing sendiri merupakan limbah beracun dari proses pengolahan bijih nikel kadar rendah (limonite) dengan teknologi HPAL untuk menghasilkan MHP. Tailing mengandung beberapa jenis logam dalam jumlah kecil dan di antaranya mengandung racun. Selain itu juga terdapat bahan kimia berbahaya yang digunakan dalam proses HPAL seperti asam sulfat yang bersifat korosif dan beracun.
Racun yang terkandung di dalam tailing dapat merembes mencemari air di sekitar. Rembesan ini pun dapat melepaskan karsinogen beracun yang disebut kromium heksavalen. Kromium inilah yang mengakibatkan penyakit pernafasan dan meningkatkan risiko kanker.
Potensi penyebaran limbah tailing tak hanya karena bencana hidrometeorologi. Kawasan IMIP dan sekitarnya tercatat pernah mengalami beberapa gempa bumi keras yang merusak bangunan. Catatan Yayasan Tanah Merdeka, terakhir pada 31 Mei 2024 (pukul 01:08 WITA) gempa bumi dengan Magnitudo 5,1 mengguncang kawasan IMIP dan sekitarnya.
Kawasan industri nikel tersebut dilintasi Sesar Matano, sebuah sesar aktif yang terhubung dengan Sesar Palu-Koro. Dalam kajian para ahli, diketahui, gempa dengan Magnitudo 7,4 terakhir pernah terjadi di Sesar Matano sekitar 200 tahun lalu.
Pada awal Februari 2024 lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah dan Friends of Earth (FoE) Jepang menemukan paparan kromium heksavalen di Sungai Bahodopi. Temuan ini merupakan bagian dari penelitian pada tujuh sungai dan saluran irigasi.
Jejak kromium heksavalen tercatat sebesar 0,075 mg/ liter. Temuan pencemaran ini termasuk dari sampel yang diambil di tengah pemukiman.
Dokumentasi hasil uji sampel air di Desa Bahodopi dan Labota, Morowali. Data: Walhi Sulteng
“Pencemaran ini sudah terdeteksi. Dan jelas sumbernya dari mana. Apalagi Sungai Bahodopi ini sangat dekat lokasinya dengan penampungan tailing,” ucap Staff Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Wandi.
Wandi dan Richard menekankan pemerintah harus melakukan keterbukaan informasi terkait pencemaran ini, melakukan penegakan hukum, dan upaya mitigasi. Tak hanya itu, menurut mereka, perusahaan juga harus bertanggung jawab atas pencemaran ini.
Kepala Departemen Hubungan Media PT IMIP, Dedy Kurniawan, membantah aktivitas dalam kawasan industrinya mengancam Sungai Bahodopi dan kawasan pemukiman. Ia menyebutkan banjir pada 6 Maret 2025 menerjang Desa Lalampu di Kecamatan Bahodopi dan pada hari berikutnya menerjang Kawasan IMIP.
Banjir dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah Bahodopi. Muka air sungai naik dan mengalir ke kawasan industri karena sistem drainase tidak dapat menampung masuknya air. Air pun meluap ke area pabrik dan menghanyutkan tanah dengan kandungan bijih nikel laterit yang menumpuk di sekitar pabrik.
“Meski demikian, IMIP mencatat banjir tersebut hanya berlangsung sekitar 2 jam lamanya. Banjir juga hanya menggenangi area pabrik dan tidak sampai ke permukiman warga,” ucapnya melalui jawaban tertulis kepada redaksi.
Pada bencana longsor yang terjadi di 22 Maret 2025 dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur kawasan industri selama kurang lebih 4 jam. Khususnya wilayah selatan Kawasan IMIP, lokasi kejadian longsor.
Peristiwa banjir yang melanda Desa Lalampu bukan disebabkan oleh banjir dan longsornya wilayah selatan Kawasan IMIP.
Ia menyebutkan limbah tailing selama ini ditampung di area terbuka. Pada bagian bawah fasilitas penampungan limbah tailing dilapisi geomembran, material pelapis kedap air yang mencegah rembesan zat berbahaya ke dalam tanah. Air hujan di atas tailing akan mengalir ke kolam retensi, bukan menyerap ke tanah. Air pun akan diperlakukan secara kimiawi untuk menurunkan kadar partikel padat (TSS) dan racun.
Menurutnya tidak ada sungai atau daerah aliran sungai yang berada di sekitar atau berdekatan dengan area kolam retensi ini.
“Pernyataan yang menyebutkan arah banjir dan longsor pada Maret 2025 menuju ke sungai Bahodopi itu terbantahkan. Telah dibangun sumur pantau guna memonitor arah dan kualitas air tanah secara rutin. Selama ini pemantauan ini menjadi indikator utama untuk mengevaluasi efektivitas sistem pengelolaan tailing,” kata dia.
Ia pun memastikan pengelolaan yang dilakukan ini sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Perusahaan melakukan upaya mitigasi mulai dari disiplin pelaksanaan SOP operasional tailing, menghindari peningkatan ketinggian tumpukan tailing yang ekstrem. Hal ini dilakukan mengingat kondisi curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Selain itu mereka melakukan pemeriksaan pada lokasi pembuangan tailing secara teknis (stabilitas tanah dan potensi likuifaksi), dan evaluasi langsung di lapangan untuk memastikan aktivitas benar-benar sesuai prosedur.
“Dari beberapa penjelasan di atas, baik banjir yang terjadi pada 17 Maret 2025 dan longsor yang terjadi pada 22 Maret 2025, tidak ada aliran air yang kemudian mengarah ke Sungai Bahodopi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian punggungan dan jarak antara lokasi Sungai Bahodopi dan lokasi banjir yang dimaksud. Sehingga pernyataan yang menyebutkan arah banjir dan longsor pada Maret 2025 menuju ke sungai Bahodopi, itu terbantahkan,” ujarnya.
SHARE