Jangan Terima Dana Karbon dari Orang yang Jahat - Sekjen AMAN

Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat

Selasa, 15 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, meminta komunitas adat mewaspadai pemberian insentif dana karbon (carbon fund). Dana itu diduga menjadi selubung untuk menutupi kriminalisasi kepada masyarakat adat lain. Ironisnya perampasan tanah adat dan kriminalisasi masih merajalela. 

Rukka menyebutkan sudah 4 dekade tanah Tano Batak dirampas dan masyarakatnya dikriminalisasi. Sebanyak 167 ribu hektare tanah hilang. Lalu, perusahaan yang sama membayar masyarakat adat di Kalimantan Timur. 

“Jadi kita menikmati uang karbon dari penderitaan saudara-saudara kita," kata Rukka di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional ke-VIII AMAN di komunitas adat Kutai Lawas Sumping Layang di Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur pada Senin (14/5/2025).

Kalimantan Timur merupakan provinsi pertama di Indonesia yang menerima dana karbon pada 2022. Dana ratusan miliaran rupiah digelontorkan ke daerah ini dalam skema program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Data AMAN menyebutkan penyaluran dana ini dilakukan  perusahaan yang sebelumnya memiliki jejak kelam terhadap praktik kriminalisasi masyarakat adat.

Masyarakat adat tuntut janji Jokowi di DPR. Foto: Harry Siswoyo

"Hutan-hutan di sini dibayar oleh Tanoto. Ini sama saja kita menikmati uang karbon, tapi dari penderitaan masyarakat adat di tempat lain," kata Rukka.

Ia pun meminta seluruh komunitas adat yang hendak menerima dana kompensasi perdagangan karbon untuk melakukan verifikasi ketat dan pemeriksaan secara rinci siapa yang hendak mendistribusikan dana karbon tersebut.

"Dana karbon adalah milik kita, dan perlu dibayar semahal-mahalnya. Yang tidak boleh itu, uang itu kita terima dari orang jahat yang telah membunuh saudara kita di tempat lain," kata Rukka.

Dialog Umum: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan Yang Merusak.

Pengakuan Masyarakat Adat Tak Berfungsi

Ironisnya pengakuan adat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah selama ini tak memiliki taji. Ia menyebutkan sebanyak 350 produk hukum daerah dalam bentuk peraturan daerah maupun surat keputusan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat belum memberikan manfaat kepada masyarakat adat.

Produk hukum daerah ini tak berfungsi dan bahkan disangkal oleh Undang-Undang. Meski, kata Rukka, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-X/2012 sudah menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas wilayah adat dan hutan adat. 

Setiap daerah mesti memberikan payung hukum untuk mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adatnya. Sembari menunggu terbitnya UU Masyarakat Adat yang selama 14 tahun ini belum juga menjadi produk hukum nasional.

Selama ini AMAN turut mempersiapkan  seluruh dokumen terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, mulai dari data komunitas adat, peta wilayah adat, sampai dengan seluruh data potensi yang dimiliki oleh masyarakat adat.

"Jadi, meski konsep negara ini ada otonomi daerah, nyatanya praktiknya tidak ada. Perda-perda yang memayungi masyarakat adat, tak pernah difungsikan dan dijadikan alat untuk melindungi masyarakat adat," kata Rukka.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sebanyak 11,7 juta hektare wilayah adat justru hilang. Meski beberapa daerah sudah memiliki payung pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. 

Selain itu catatan AMAN menunjukkan setidaknya telah terjadi 121 kasus kriminalisasi. 

"Yang lebih buruk lagi. Tahun 2025, sampai Maret ini, sudah ada 113 kasus kriminalisasi. Jadi situasi makin memburuk," kata Rukka.

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi menambahkan, situasi ini telah dirasakan oleh komunitas adat di Bengkulu. Tiga kabupaten di Bengkulu, yakni Lebong, Rejang Lebong, dan Seluma, telah memiliki perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Namun praktik kriminalisasi masih terus terjadi. 

"Di Seluma contohnya. Peta wilayah adat ada, dan sudah diakui Perda. Tapi komunitas adat malah dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri," kata Fahmi.

Beberapa perempuan masyarakat adat menyuarakan desakan kepada pemerintah agar segera mengesahkan RUU

Mereka menekankan, pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan solusi konkrit untuk melindungi masyarakat adat. Tanpa perlindungan setingkat UU maka perlindungan masyarakat adat hanya isapan jempol belaka. 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yance Arizona, menyebutkan RUU ini sudah belasan tahun bergulir di DPR dan hanya menguap sebatas janji politik saja. Masyarakat adat selalu menjadi korban atas perampasan tanah dan kriminalisasi.  

"Biar tidak mengulangi kesalahan yang sama," kata Yance di Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur, Senin, 14 April 2025.

Menurut Yance, lamanya penantian pengesahan RUU Masyarakat Adat, mesti menjadi pelajaran penting bagi pegiat gerakan masyarakat adat di Indonesia. Terutama terkait beberapa hal substantif yang mungkin perlu mendapat perhatian.

Menurutnya saat ini belum ada model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat adat. Masing-masing kebijakan, justru berjalan tanpa ketersambungan satu sama lain dan bahkan terkesan berjalan sendiri-sendiri.

Ia mengingatkan AMAN dan para pegiat masyarakat adat untuk lebih meluaskan pembahasan soal RUU masyarakat adat secara lebih luas. 

"Jadi kita mesti buat RUU Masyarakat Adat, yang tidak cuma bicara soal masyarakat adat saja. Karena ini bisa membunuh masyarakat adat," kata Yance.

SHARE