PLTU Huabao Diduga Jadi Pemicu ISPA di Morowali

Penulis : Aryo Bhawono

PLTU

Selasa, 08 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  PLTU milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) ditengarai memicu meningkatnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Jumlah total kasus ISPA di sekitar PLTU itu, berdasarkan data Puskesmas Wosu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, menunjukkan pola fluktuatif, dengan 735 kasus pada tahun 2021, meningkat menjadi 1.200 kasus pada tahun 2022, dan sedikit menurun menjadi 1.148 kasus pada tahun 2023.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) meluncurkan hasil riset dampak PLTU Captive milik PT IHIP itu akhir bulan lalu. Mereka mengungkap dampak polusi udara, pencemaran air, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Kawasan Industri Pengolahan Nikel PT IHIP di Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

Menurut Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Richard Labiro, peningkatan pada tahun 2022 mungkin disebabkan oleh pelonggaran pembatasan sosial, sedangkan penurunan pada tahun 2023 dapat mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap protokol kesehatan.

DIa juga mengungkapkan penyakit common cold atau selesma (infeksi ringan pada saluran pernapasan) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada tahun 2023. Terdapat 149 kasus yang sebelumnya tidak tercatat pada tahun 2021 dan 2022. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan, seperti perubahan musim atau peningkatan mobilitas pascapandemi. 

SD Tondo di Desa Tondo, Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah, yang berada di dekat PLTU milik PT IHIP. Sumber: Aryo Bhawono/ Betahita

“Lonjakan ini juga menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penyakit umum yang berpotensi menjadi epidemi,” ucapnya membacakan riset berjudul ‘Daya Rusak PLTU Captive PT IHIP di Morowali’ pada Minggu (25/3/2024).

Data ISPA di Kecamatan Bungku Barat . Sumber: Puskesmas Wosu Kecamatan Bungku Barat, 2024.

Faringitis akut tercatat menjadi penyakit dengan jumlah kasus tertinggi selama tiga tahun terakhir dengan 390 kasus pada tahun 2021, 861 kasus pada tahun 2022, dan sedikit menurun menjadi 724 kasus pada tahun 2023. 

Peningkatan tajam pada tahun 2022 dapat mengindikasikan faktor pemicu seperti perubahan pola interaksi sosial atau rendahnya tingkat kesadaran terhadap pencegahan. Penurunan pada tahun 2023 mungkin mencerminkan keberhasilan intervensi kesehatan.

Sebaliknya, sinusitis akut menunjukkan fluktuasi yang menarik, dengan peningkatan dari 3 kasus pada tahun 2021 menjadi 6 kasus pada tahun 2022. Sebelum menurun drastis menjadi 1 kasus pada tahun 2023. 

“Penurunan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh intervensi medis yang lebih efektif atau pengurangan paparan terhadap pemicu penyakit,” ucap dia.

Penyakit lain seperti influenza menunjukkan tren penurunan yang konsisten, dari 323 kasus pada tahun 2021 menjadi 266 kasus pada tahun 2022, dan 181 kasus pada tahun 2023. Penurunan ini dapat dikaitkan dengan upaya vaksinasi massal dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebersihan selama pandemi covid-19.

PLTU Captive milik PT IHIP sendiri memiliki kapasitas 350 MW dan target ekspansi ke 450 MW. Listrik yang dihasilkan dipakai untuk mendukung produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, bahan baku stainless steel, carbon steel dan MHP bahan dasar pembuatan baterai kendaraan listrik.

Peta Wilayah PT IHIP. Sumber: YTM

Lokasi PLTU ini menyatu dalam kawasan industri bersama smelter dan jetty, serta berada sangat dekat dengan pemukiman warga, sekolah, pasar, dan fasilitas umum lainnya.

PLTU Captive ini hanya berjarak 100 meter dari Sekolah Dasar (Ibtidaiyah) dan Sekolah Menengah Pertama (Tsanawiyah) Alkhairaat di Desa Ambunu. Operasi pembangkit ini mengancam kesehatan anak-anak maupun orang dewasa akibat paparan udara yang mengandung zat kimia tertentu yang dihasilkan dari pembakaran PLTU tersebut.

Selain ISPA, dampak lain yang dirasakan oleh warga dalah kebisingan aktivitas industri hingga potensi pencemaran laut, pesisir, dan sungai di Morowali. Direktur Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menyebutkan limbah yang berasal dari pengolahan nikel yang tidak terkontrol dapat mencemari air laut dan merusak ekosistemnya yang berdampak pula bagi habitat kehidupan laut seperti ikan dan hewan-hewan laut lainnya menyebabkan mata pencaharian nelayan terancam hilang. 

“Belum lagi rentan konflik perusahaan dengan warga setempat. Saat warga menolak keberadaan kawasan industri ini justru terjadi dikriminalisasi,’ kata dia. 

Ia menyebutkan kawasan industri PT IHIP terdata sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Program Hilirisasi yang dicanangkan Pemerintah. PT IHIP merupakan kawasan industri pengolahan nikel yang didanai oleh Tiongkok, Zhensi Indonesia Industrial Park pemegang saham terbesar 51% sementara Beijing Shengyue Oriental Investment Co Ltd sebesar 10,28%, Kejayaan Emas Persada 27,45% dan Himalaya Global Investment sebesar 11,27%.

“Namun bukannya memberikan kesejahteraan, kehadirannya justru menciptakan kemiskinan struktural akibat keserakahan eksploitasi SDA tanpa perencanaan keselamatan ekologis lingkungan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang matang,” kata dia. 

Mereka pun mendesak pemerintah segera menghentikan beroperasinya PLTU Captive dalam kawasan industri pengolahan nikel di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara. Pemerintah juga harus melakukan monitoring dan evaluasi total terhadap seluruh izin-izin usaha pertambangan dan izin-zin industri pengolahan nikel.

Selain itu pemerintah Sulawesi Tengah juga harus menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak tanah, hak atas lingkungan yang sehat.

Belum ada tanggapan dari PT IHIP atas temuan ini.

SHARE