Nelayan Jatim Dibayangi Krisis Ekologi dan Ekonomi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kelautan

Senin, 07 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Banyak nelayan di Jawa Timur (Jatim) hidup dalam bayang-bayang kerusakan ekosistem, krisis pendapatan, dan ketidakpastian masa depan. Kerusakan demi kerusakan di Jatim terus dilanggengkan. Dari reklamasi, tambang pasir laut, tumpahan minyak, tambang migas sampai aneka kerusakan yang juga bersumber dari darat, seperti limbah industri, limbah tambang dan sampah.

Demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, dalam sebuah catatan kritis Hari Nelayan Nasional, yang diperingati tiap 6 April. Walhi Jatim menguraikan, kerusakan lingkungan laut di Jatim merupakan hasil dari praktik eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan dengan alat tangkap destruktif seperti bom ikan, cantrang, dan potasium telah menyebabkan kehancuran terumbu karang, habitat utama biota laut.

“Bom ikan dan potasium membunuh ikan secara massal dan merusak struktur karang secara permanen. Sementara itu, cantrang yang menyapu dasar laut mempercepat sedimentasi dan mengganggu ekosistem perairan dangkal,” kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Minggu (6/4/2025).

Selain alat tangkap ilegal, laut Jatim juga menghadapi pencemaran berat dari limbah industri, domestik, dan plastik. Peningkatan keasaman air laut, keracunan ikan, dan coral bleaching menjadi bukti dampak nyata pencemaran tersebut. Sampah plastik tak hanya mengganggu rantai makanan biota laut, tetapi juga menjadi beban operasional harian bagi nelayan yang harus membersihkan jaring dan mesin kapal dari gulungan limbah.

Ilustrasi nelayan di Jawa Timur. Foto: Walhi Jatim.

Ditambah lagi, perubahan iklim memperparah kondisi. Pemanasan global menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) dan penurunan populasi ikan karang bernilai tinggi seperti kerapu dan baronang. Musim melaut pun makin sulit diprediksi akibat cuaca ekstrem dan gelombang tinggi.

Sementara itu, pembangunan pesisir yang tidak berkelanjutan juga memperparah krisis. Penebangan mangrove dan reklamasi pesisir di berbagai wilayah seperti Situbondo menyebabkan abrasi dan menghilangkan area pemijahan ikan.

Sedangkan di Surabaya, atas nama investasi, Negara menerbitkan Proyek Strategis Nasional (PSN) swasta, Surabaya Waterfront Land (SWL) yang mengancam ratusan hektare mangrove dan akan semakin meminggirkan nelayan di Surabaya, yang saat ini sedang dalam fase-fase menuju kepunahan.

Wahyu mengatakan, proyek infrastruktur yang saat ini eksis di pesisir maupun yang berada di lautan lepas, telah terbukti mengabaikan lingkungan, seperti saluran pembuangan air dari kawasan wisata bahari, proyek reklamasi, aktivitas industri ekstraktif, lalu lintas kapal yang melewati kawasan pulau kecil.

“Sampai pembuangan limbah dari kapal pesiar sampai kapal barang telah merusak terumbu karang sekaligus mematikan sumber ekonomi nelayan tradisional,” ujar Wahyu.

Kerusakan lingkungan laut, lanjut Wahyu, membawa dampak langsung pada penurunan kesejahteraan nelayan. Data NTN (Nilai Tukar Nelayan)—indikator keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran—menjadi alarm serius. NTN terus merosot dari 102,51 pada Desember 2022 menjadi 97,69 pada Desember 2023. Angka ini menandakan bahwa pendapatan nelayan tidak lagi mampu menutupi biaya produksi dan kebutuhan hidup dasar.

Biaya melaut meningkat drastis akibat makin jauhnya lokasi penangkapan ikan, sementara hasil tangkapan terus menurun. Nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional kesulitan bersaing, sedangkan alat modern yang ramah lingkungan sulit diakses karena harga tinggi atau regulasi ketat.

“Dalam kondisi seperti ini, banyak nelayan terjebak dalam lingkaran utang—meminjam untuk membeli BBM dan peralatan, namun hasil tangkapan tak menentu,” ucap Wahyu.

Dampak lebih luas muncul dalam bentuk kemiskinan struktural. Di Sumenep, misalnya, nelayan bahkan menggunakan potasium sendiri karena desakan ekonomi, meski itu memperburuk kerusakan habitat. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan hasil hari ini, tapi juga merusak prospek jangka panjang.

Wahyu bilang, anak-anak nelayan enggan meneruskan profesi orang tua mereka karena melihat ketidakpastian pendapatan dan tingginya risiko kerja. Profesi nelayan dianggap tidak menjanjikan, sehingga banyak yang memilih bekerja di sektor informal lain atau merantau ke kota.

“Meskipun situasinya kritis, peluang untuk memperbaiki kondisi masih terbuka jika ada kemauan politik, dukungan kebijakan, dan partisipasi aktif nelayan,” kata Wahyu.

Langkah pertama yang harus dilakukan, imbuh Wahyu, adalah penegakan hukum terhadap praktik ilegal. Penggunaan bom ikan, cantrang, dan potasium harus diberantas dengan sanksi tegas dan pengawasan yang intensif di wilayah rawan seperti Pulau Masalembu, Bawean, dan Sumenep.

Kedua, perlu ada program rehabilitasi lingkungan pesisir secara massif. Terumbu karang dan hutan mangrove harus direstorasi dengan melibatkan komunitas lokal agar ada rasa memiliki. Pembersihan laut dari sampah plastik juga bisa menjadi kegiatan rutin komunitas nelayan dengan insentif sosial dan ekonomi.

Kemudian ketiga, diversifikasi ekonomi nelayan harus menjadi agenda utama. Potensi wisata bahari yang berbasis konservasi bisa dikembangkan di wilayah seperti Situbondo dan Bawean.

“Selain itu, pelatihan pengolahan ikan (misalnya produk beku, abon, atau kerajinan dari hasil laut) dapat memberi nilai tambah dan alternatif pendapatan,” ujar Wahyu.

Langkah keempat, dukungan teknologi dan subsidi tepat sasaran harus digulirkan. Alat tangkap ramah lingkungan dan teknologi navigasi (seperti GPS) bisa meningkatkan efisiensi dan mencegah eksploitasi berlebih.

Menurut Wahyu, harus ada inovasi penggunaan energi ramah lingkungan untuk kapal nelayan, serta memberikan insentif hingga subsidi untuk pengadaan mesin dengan energi terbarukan, sampai bantuan langsung ke nelayan guna mempercepat transisi. Tak kalah penting, perlu adanya bantuan modal produksi yang diberikan kepada nelayan kecil, bukan hanya pengusaha besar.

“Terakhir, edukasi lingkungan dan pelatihan penangkapan berkelanjutan harus diintensifkan. Nelayan bukan hanya pihak yang terkena dampak, tapi juga aktor penting dalam pemulihan. Jika mereka diberi akses pada pengetahuan dan alat yang tepat, mereka bisa menjadi garda depan konservasi laut,” ucap Wahyu.

Wahyu mengatakan, Hari Nelayan bukan hanya momen perayaan, tapi juga seruan perubahan. Di Jatim, nelayan tengah menghadapi krisis ekosistem yang berujung pada krisis pendapatan dan martabat. Penurunan tajam NTN sepanjang 2023 menunjukkan bahwa kerusakan laut tak hanya berdampak pada ikan, tapi juga pada kualitas hidup manusia.

“Sudah saatnya melihat nelayan bukan sebagai korban semata, tetapi sebagai penjaga laut yang layak mendapatkan perlindungan, pemberdayaan, dan tempat dalam pengambilan keputusan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan keterlibatan komunitas, nelayan bisa bangkit dan menjadi pelaku utama dalam menyelamatkan laut dan masa depan generasi mendatang,” katanya.

SHARE