Kelakuan Spesies Baru Anggrek di Aceh: Berakar, Tapi Tak Berdaun
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Kamis, 27 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Para peneliti Indonesia kembali menemukan spesies baru dan endemik. Spesies baru anggrek akar tak berdaun yang ditemukan di Aceh, Pulau Sumatra, tersebut diberi nama Chiloschista tjiasmantoi Metusala, sp. nov. Penemuan spesies baru anggrek ini dipublikasikan di jurnal PhytoKeys.
Chiloschista tjiasmantoi Metusala, sp. nov. ini dari genus Chiloschista (Orchidaceae), merupakan kelompok anggrek epifit tak berdaun yang ditemukan di Aceh. Secara morfologi, bunga spesies baru ini menyerupai anggrek Chiloschista javanica yang endemik Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan mencolok, seperti petal yang berbentuk oblong-obovate serta bentuk bibir bunga yang khas.
Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Bioevolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Destario Metusala menjelaskan, pada 2019, dalam sebuah survei botani di Aceh, beberapa individu anggrek Chiloschista ditemukan tumbuh epifit pada pepohonan di perkebunan semi-terbuka yang berdekatan dengan hutan. Sosok anggrek ini didominasi oleh tumpukan akar fotosintetik yang warnanya menyerupai warna kulit batang pepohonan sehingga membuatnya sulit terlihat.
Oleh karena itu, lanjut Destario, kemunculan organ bunganya yang kecil namun berwarna kuning cerah menjadi sangat penting untuk mendeteksi keberadaannya. Spesimen berbunga yang telah dikoleksi dan diobservasi lebih lanjut menunjukkan ciri khas morfologi bunga yang berbeda dengan spesies Chiloschista lainnya, terutama C. javanica dan C. sweelimii.

Penelitian lebih lanjut mengonfirmasi bahwa anggrek dari Aceh tersebut merupakan spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, sekaligus menjadi catatan pertama keberadaan anggrek Chiloschista di Pulau Sumatra. Nama Chiloschista tjiasmantoi disematkan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto atas dukungannya terhadap upaya pelestarian flora di Indonesia, khususnya Aceh.
Destario menyebutkan, anggrek C. Tjiasmantoi masuk dalam kategori Genting (Endangered) menurut kriteria IUCN Redlist. Hal itu karena diperkirakan luas area sebaran dan jumlah populasi yang terbatas, serta ancaman ekspansi perkebunan dan perubahan iklim.
“Perluasan kawasan lindung di Aceh perlu segera dilakukan untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam kepunahan, terutama spesies unik yang hanya ada di Propinsi Aceh,” katanya, dalam sebuah rilis, Rabu (26/3/2025).
Destario menjelaskan, anggrek C. tjiasmantoi memiliki kuntum bunga dengan lebar 1-1.2 cm dan berwarna kuning dengan pola bintik jingga atau kemerahan. Dalam satu tangkai perbungaan yang panjang, dapat menghasilkan hingga 30 kuntum bunga yang mekar secara simultan.
Spesies ini umumnya ditemukan pada ketinggian 700–1000 meter di atas permukaan laut (mdpl), tumbuh menempel di batang pepohonan yang tua pada habitat semi-terbuka, berangin, dan lembap. Musim berbunga biasanya terjadi pada pertengahan Juli serta awal November hingga akhir Desember.
“Anggrek spesies baru ini telah berevolusi secara unik dengan mereduksi organ daunnya secara ekstrim sehingga proses fisiologi penting seperti fotosintesis dilakukan pada organ akarnya. Keunikan ini membuka peluang riset lanjutan untuk menelisik berbagai aspek biologinya,” ujar Destario.
Lebih lanjut, Destario mengungkapkan, penyebutan anggrek tak berdaun, dikarenakan sepanjang daur hidupnya, anggrek tersebut dalam kondisi tanpa organ daun.
“Semisal pun ditemukan daun, ukurannya amat sangat kecil, itupun hanya 1-2 helai saja dan akan segera gugur,” ucapnya.
Destario mengatakan, salah satu genus yang ada di dalam kelompok anggrek tak berdaun adalah genus Chiloschista. Genus ini pertama kali dideskripsikan pada 1832 dan kini mencakup 30 spesies yang tersebar dari Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia. Anggrek ini lebih dikenal oleh para hobiis di Indonesia dengan nama anggrek akar, mengingat penampakannya seperti sekumpulan akar-akar berwarna kehijauan.
Sebelumnya, Indonesia diketahui hanya memiliki 4 spesies yang dapat ditemukan di Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Hingga kini, belum ada catatan keberadaan anggrek Chiloschista dari Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Destario mengatakan, Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat penting keanekaragaman anggrek di dunia dan terus menghasilkan penemuan spesies baru. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak habitat alami potensial di Indonesia yang perlu untuk dieksplorasi.
Walaupun demikian, banyak eksplorasi botani yang dilakukan selama ini lebih berfokus pada genus-genus anggrek yang populer, seperti Dendrobium, Phalaenopsis, dan Bulbophyllum. Sementara kelompok anggrek tak berdaun (leafless orchid) seringkali kurang mendapat perhatian.
SHARE