Tim Ekspedisi Temukan Potensi Banjir Bandang Susulan di Parapat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekosistem

Selasa, 25 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Bencana banjir bandang yang terjadi di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), pada 16 Maret 2025 lalu, bukanlah peristiwa pertama dan diduga bukan pula bencana yang terakhir. Sebab, potensi terjadinya bencana susulan di wilayah tersebut masih mengancam.

Berdasarkan catatan kelompok masyarakat sipil, wilayah Parapat dan sekitarnya telah berulang kali mengalami banjir bandang sebelumnya—seperti terjadi pada 2021 lalu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada permasalahan sistemik dalam pengelolaan ekosistemnya.

Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu, mengatakan, kejadian banjir bandang berulang di Parapat dan sekitarnya ini merupakan bukti bahwa ekosistem di sekitar Parapat, dan Danau Toba secara keseluruhan, berada dalam kondisi kritis. Jika deforestasi dan konversi lahan terus dibiarkan tanpa kendali, maka bencana serupa dapat semakin sering terjadi dan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian wilayah.

“Tim ekspedisi juga mengkhawatirkan terjadinya banjir bandang susulan akibat material longsor, berupa pepohonan tumbang, batu, dan tanah yang masih tersangkut di area longsor, yang perlu segera ditangani,” kata Rocky, dalam sebuah rilis, Senin (24/3/2025).

Titik longsor di areal Simarbalatuk, yang diduga sebagai penyebab banjir. Foto: Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat.

Hal tersebut didasarkan hasil temuan Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat, yang terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta sejumlah aktivis lingkungan dari KSPPM dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, saat melakukan penelusuran langsung alur/jejak longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau tombak (hutan) Simarbalatuk-Sitahoan.

Rocky menguraikan, ekspedisi ini dimulai dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga, yang membanjir-bandangi Kota Parapat. Selama perjalanan, tim menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat. Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri, yang didominasi tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, salak, yang masih berdampingan dengan pohon-pohon alam. Di kebun-kebun dan perladangan itu, terlihat sejumlah sopo (gubuk) dan binatang peliharaan.

Dari hulu Sungai Batu Gaga, tim melanjutkan perjalanan menuju harangan Simarbalatuk. Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), tim sudah menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300-400 meter, lebar 4–5 meter, dan kedalaman 3–4 meter.

Pepohonan tumbang dan melintang di areal longsor. Foto: Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat.

Material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur. Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan membentuk kolam-kolam air, yang dapat menimbulkan banjir bandang berikutnya.

Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor ini berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga—tempat meluapnya air sungai pada 16 Maret lalu.

Sepanjang perjalanan dari hulu Sungai Batu Gaga hingga titik longsor di Simarbalatuk, tim tidak menemukan adanya aliran sungai di area longsor. Dengan lain kata, alur longsor ini tidak mengikuti aliran sungai atau anak sungai. Ia merupakan aliran baru, yang pada akhirnya menyatu di Sungai Gaga.

Jarak antara jembatan Sungai Batu Gaga dengan titik longsor sampai ke konsesi kebun kayu PT TPL. Fot

Kondisi hutan di sekitar titik longsor masih terjaga cukup baik. Ekosistemnya tampak alamiah. Kami tak jarang menemukan pohon-pohon besar, yang menunjukkan bahwa kawasan ini belum banyak dijamah manusia. Namun, tim mencatat bahwa titik awal longsor hanya berjarak sekitar 2,33 km dari konsesi kebun kayu perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Berdasarkan hasil ekspedisi dan temuan di lapangan, lanjut Rocky, Tim berkesimpulan bahwa banjir bandang yang terjadi di Parapat dipicu oleh longsor yang terjadi di Dolok Simarbalatuk. Jarak yang relatif dekat antara titik longsor dan jembatan Sungai Batu Gaga memperkuat dugaan bahwa material longsor terbawa arus sungai hingga menyebabkan banjir bandang.

“Namun, pertanyaannya yang muncul di publik adalah, apa penyebab utama longsor Simarbalatuk?” ujarnya.

Seluas 6.503 hektare hutan hilang 

Rocky menjelaskan, walau hutan di areal longsoran bisa dikatakan terjaga dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa tutupan hutan di bentang alam (landscape) Dolok Simarbalatuk- Sitahoan semakin berkurang dari waktu ke waktu. Hasil ekspedisi ini berkesesuaian dan saling mendukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU tiga hari sebelum ekspedisi dilakukan.

Hasil riset keempat lembaga tersebut mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir (2000-2023) telah terjadi penurunan signifikan luas hutan alam seluas 6.503 hektare di lima kecamatan sekitar Parapat, mencakup wilayah Girsang Sipangan Bolon, Hatonduhan, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, dan Jorlang Hataran. Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektare.

Bukaan hutan di wilayah DAS Bolon, di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Foto: Auriga Nusantara.

“Analisis ini  membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi kebun eukaliptus PT Toba Pulp Lestari,” ujar Rocky.

Dengan demikian, imbuh Rocky, longsor di Dolok Simarbalatuk disebabkan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. Daya dukung lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22, adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.

Rocky menjelaskan, daya dukung lingkungan menurun karena—namun tak terbatas oleh—kombinasi dari penggundulan hutan (deforestasi), hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Alih fungsi hutan selama 20 tahun terakhir, dari hutan alam menjadi tanaman monokultur, juga berdampak terhadap menurunnya daya dukung bentang alam Sitahoan-Sibatuloting.

“Curah hujan yang tinggi seperti yang terjadi sebelum banjir bandang pada 16 Maret 2025 lalu menguatkan, bahwa daya tampung bentang alam tersebut pun sudah kian menurun,” ucap Rocky.

“Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah bencana di masa depan,” imbuhnya.

Kelompok masyarakat sipil menawarkan sejumlah langkah konkret yang bisa diambil pemerintah untuk memitigasi bencana susulan, khususnya di Parapat dan sekitarnya. Yang pertama, membersihkan material longsor yang masih tersangkut di sepanjang titik longsor. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengirim tim ke lokasi guna mengevakuasi dan membersihkan area terdampak sebelum musim hujan berikutnya datang.

Luapan Sungai Batu Gaga yang membawa lumpur dan batu-batu menimbun rumah warga di Parapat, Kabupaten Simalungun. Foto: Auriga Nusantara.

Langkah kedua, pemerintah harus tegas memastikan moratorium penebangan hutan alam  dan mengevaluasi kembali aktivitas perusahaan yang berkontribusi terhadap degradasi hutan di kawasan ini. Yang ketiga, pemerintah harus memimpin upaya restorasi ekosistem dengan menanam kembali kawasan hutan yang sudah kritis. Pemerintah harus bekerja sama dengan komunitas lokal dalam upaya penghijauan untuk meningkatkan daya dukung ekologis kawasan ini.

“Reboisasi dengan jenis tanaman tertentu yang dapat menopang kestabilan tanah harus menjadi prioritas agar daerah-daerah rawan longsor bisa kembali memiliki daya serap air yang tinggi,” kata Rocky.

Langkah keempat, jangka panjang, kebijakan pengelolaan hutan harus diperketat. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan bahwa tidak ada lagi izin eksploitasi yang mengancam keseimbangan ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba. Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan, agar bencana seperti ini tidak terulang kembali.

Rocky bilang, tanpa intervensi serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan, bencana ekologis seperti yang terjadi di Parapat akan terus berulang. Krisis ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi konsekuensi dari eksploitasi hutan yang tidak terkendali.

“Saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana,” ucap Rocky.

TPL bantah sebabkan banjir bandang

Terpisah, dilansir dari Mongabay, Corporate Communication Head TPL, Salomo Sitohang, membantah dan menolak tudingan aktivitas perusahaan menyebabkan banjir. Lokasi dan operasional TPL, katanya, justru tidak berdampak pada banjir bandang Parapat.

Hal ini terbukti pada kajian internal mereka. Pertama, Daerah Tangkapan Air (DTA) konsesi TPL Sektor Aek Nauli berada di timur laut, dengan elevasi 1.300 mdpl, aliran air bermuara ke Pantai Timur Sumatera. Sedangkan DTA lokasi banjir bandang berada di barat, elevasi 1.500 mdpl, aliran airnya bermuara ke Danau Toba. Perbukitan Simarbalatuk Bangun Dolok, dengan elevasi 1.600 mdpl, memisahkan kedua DTA ini.

Kedua, sambung Salomo,  DAS Bolon di area kerja TPL tetapi  aliran air menuju Bah Parlianan, bertemu dengan Bah Tongguran, lalu mengalir menuju Bah Bolon, sampai ke Kabupaten Batubara, dan bermuara ke Pantai Timur Sumatera.

Sedangkan banjir bandang masuk dalam DAS Asahan Toba yang mengalir langsung ke Danau Toba. Kedua DAS ini juga terpisahkan perbukitan Simarbalatuk Bangun Dolok.

Ketiga, posisi lokasi area kerja TPL Sektor Aek Nauli dengan lokasi banjir bandang Parapat berjarak 4,5 km. Sedangkan ke Sibaganding juga terkena banjir bandang, sejauh 3,6 km.

Salomo bilang, luas perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) TPL di Simalungun sebesar 18.874 hektare.

“TPL melakukan kegiatan operasional secara profesional dan bertanggungjawab,” katanya kepada Mongabay, Kamis (20/3/25).

SHARE