Koalisi: Setop Kriminalisasi Pembela Masyarakat Adat NTT
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 26 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebanyak 15 masyarakat adat yang memperjuangkan tanah adatnya di Desa Nangahale, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini menjadi target kriminalisasi Keuskupan Maumere dan Kepolisian Daerah NTT. Tak hanya itu, penasihat hukum para masyarakat adat juga hendak dipenjarakan. Upaya kriminalisasi ini diduga demi memuluskan perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT Kristus Raja Maumere (PT Krisrama).
Pada 21 Maret 2025, John Bala selaku penasihat hukum para masyarakat adat telah dilaporkan ke Ditkrimum Polda NTT atas dugaan tindak penyerobotan tanah tanpa izin, sebagaimana dalam surat penerimaan laporan Polda NTT STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT. Laporan ini dilakukan oleh Ephivanus Markus Nale Rimo, Dosen dan kuasa hukum PT Krisrama.
Kelompok masyarakat sipil menilai pelaporan oleh kuasa hukum PT Krisrama terhadap John Bala ini merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap pembela masyarakat adat dan petani, sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban, dan perlawanan hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Maumere dengan Nomor Perkara 1/Pid.B/2025/PN.Mme yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap 8 orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage-Goban Runut, yang mana John Balla sebagai kuasa hukumnya.
“Dilaporkannya John Bala sebagai kuasa hukum Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage-Goban Runut adalah bentuk upaya kriminalisasi kepada advokat pembela masyarakat adat,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam sebuah keterangan tertulis, Minggu (23/3/2025).

“Jika Kapolda NTT benar-benar memahami hukum, harusnya dia tidak memproses laporan, dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut,” imbuhnya.
Rukka berpendapat, Kementerian ATR/BPN RI adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas konflik yang terjadi antara Masyarakat Adat Suku Goban dan Suku Soge dan PT Krisrama. Sebab, selama konflik ini tidak diselesaikan, selama itu juga akan banyak masyarakat adat yang akan menjadi korban kriminalisasi, bahkan kekerasan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa seorang advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menjelaskan, konflik antara masyarakat adat dengan PT Krisrama telah lama terjadi. Kasus ini bermula ketika perusahaan Belanda, yaitu Amsterdam Soenda Compagni, memperoleh Hak Erfpacht melalui perampasan tanah. Kemudian, dilegitimasi oleh Surat Keputusan Residen Timor en Onder Hoorigheden tertanggal 11 September 1912 No. 264, tanah seluas kurang lebih 1.483 hektare diperuntukkan bagi penanaman kapas dan kelapa, yang sesuai ketentuan saat itu berlaku hingga 1987 atau berlaku selama 75 tahun.
Perkebunan yang diperoleh dari penggusuran wilayah adat oleh perusahaan Belanda ini, dijual sepihak kepada Aposttholishe Vicariaad van de Klaine Soenda Ellanden (Perwakilan Gereja Katolik Roma di wilayah misionaris dan negara yang belum memiliki keuskupan). Apostolik Vikariat mengembalikan sebagian tanah kepada pemerintah karena tidak produktif.
Lantas Vikariat Apostolik Ende melalui Surat No. 981/V/56, tertanggal 16 Desember 1956, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian Hak Erpacht di Nangahale seluas sekitar 783 hektare. Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka dengan Surat Keputusan tanggal 18 Desember 1956, No. 63/DPDS.
Alasan pengembalian adalah karena bagian tersebut diperuntukkan bagi pemukiman masyarakat dan diusahakan oleh masyarakat yakni dari batas sekarang di sebelah timur sampe dengan Kantor Camat Talibura. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Kampung Baru Watubaing Talibura.
Hal tersebut selaras dengan kebijakan pemerintah pada saat itu, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Yang mana dalam Pasal 4, diatur bahwa tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup, lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.
Berdasarkan fakta hukum di atas, lanjut Dewi, sesungguhnya Kementerian ATR/BPN tidak cermat saat menerbitkan (Hak Guna Usaha) pada 1989 seluas 879 hektare, yang habis masa berlakunya pada Desember 2013 silam. Karena sejak 2011 hingga 2019, Kementerian ATR/BPN sendiri sudah memasukkannya ke dalam data base tanah terlantar. Sehingga seharusnya segera ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai tanah yang akan dikembalikan kepada masyarakat adat.
“Bahkan penerbitan HGU pada 2023 lalu pun sengaja dilakukan dengan melanggar pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Penguasaan tanah adalah salah satu syarat memperoleh HGU, meski PT Krisrama tidak menguasai tanah BPN tetap mengeluarkan HGU,” kata Dewi.
Lebih parahnya, lanjut Dewi, BPN sendiri tidak pernah berhasil melakukan pengukuran ulang atas bekas HGU PT Krisrama. Sehingga sepuluh bidang HGU PT Krisrama sebenarnya dapat dicabut oleh Kementerian ATR/BPN.
Berdasarkan hal-hal tersebut KPA dan AMAN mendesak agar Kapolda NTT tidak menindaklanjuti laporan No.STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT atas nama Ephivanus Markus Nale Rimo dan Kuasa Hukum PT Krisrama, dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kemudian, Bupati Kabupaten Sikka harus tegas memimpin penyelesaian konflik agraria dan menjaga keamanan masyarakat adat di Desa Nangahale. Sedangkan kepada Menteri ATR/BPN, harus segera membatalkan pemberian HGU PT Krisrama yang diterbitkan dengan cara-cara yang melanggar hukum, sekaligus mengembalikan tanah kepada Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge, dan segera meredistribusikan tanah-tanah terlantar yang mencapai 7 juta hektare untuk petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
SHARE