Kehilangan Hutan Alam Picu Banjir Bandang di Parapat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Kamis, 20 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wilayah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, kembali dilanda banjir bandang, pada Minggu (16/3/2025). Berkurangnya tutupan hutan alam di hulu Sungai Batu Gaga, terutama di sekitar Bangun Dolok, dinilai sebagai penyebab utama terjadinya banjir bandang.

Menurut laporan yang diterima, hujan deras yang mengguyur wilayah Parapat menyebabkan Sungai Batu Gaga meluap, membawa material batu dan lumpur menerjang permukiman warga. Kejadian ini menimbulkan kerusakan parah pada rumah-rumah penduduk serta mengganggu aktivitas ekonomi dan transportasi di kawasan tersebut.

Berdasarkan laporan yang diterima dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sebanyak 11 rumah mengalami kerusakan parah, sementara 138 Kepala Keluarga terdampak langsung oleh banjir. Bahkan, banjir kali ini juga menyebabkan fasilitas umum seperti rumah sakit dan beberapa hotel, termasuk Hotel Atsari, terendam lumpur. Jalan utama yang menghubungkan Parapat dengan Medan dan Balige juga lumpuh akibat longsor dan genangan air.

Tiga hari setelah bencana, kondisi perkotaan Parapat masih belum sepenuhnya pulih. Banyak rumah makan masih tutup karena terdampak lumpur, sementara warga terlihat bergotong royong membersihkan sisa-sisa material yang terbawa banjir.

Luapan Sungai Batu Gaga yang membawa lumpur dan batu-batu menimbun rumah warga di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Minggu (16/3/2025). Foto: Auriga Nusantara.

Ngatiman, seorang pemilik usaha di kawasan Panatapan, mengatakan bencana banjir bandang seperti ini biasanya akan berdampak besar terhadap perekonomian warga. Dampak tersebut bisa berlangsung lebih dari satu bulan. Yang mana wisatawan takut singgah, sehingga usaha merugi. Ia berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

"Sekarang kami selalu khawatir setiap kali hujan turun, takut longsor terjadi lagi. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap pelaku perusakan hutan," katanya, dalam sebuah rilis, Rabu (19/3/2025).

Hutan banyak yang hilang

Perdebatan mengenai penyebab banjir di Parapat ramai diperbincangkan di media sosial dan media massa. Sebagian pihak menyatakan bahwa hujan deras menjadi faktor utama meluapnya Sungai Batu Gaga, yang kemudian membawa bebatuan dan lumpur ke pemukiman warga.

Namun, banyak pula yang berpendapat bahwa penyebab utama banjir adalah kerusakan hutan di kawasan hulu, terutama di sekitar Bangun Dolok. Ephorus HKBP, Pdt. Tinambunan, mengatakan banjir bandang yang terjadi di Parapat bukanlah ujian dari Tuhan atau suratan tangan.

”Ini adalah akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan Tuhan," ujarnya.

Pernyataan Tinambunan ini didukung oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Auriga Nusantara.

Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan, ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pembukaan hutan yang signifikan. khususnya di 5 kecamatan sekitar Parapat, yaitu Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran. Lima kecamatan merupakan landskap satu daerah aliran Sungai Bolon Simalungun.

Bukaan hutan di wilayah DAS Bolon, di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Direktur Eksekutif Rocky Pasaribu, menguraikan, pada 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut mencapai 10.348 hektare. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa hanya 3.614 hektare pada tahun 2023. Periode dengan kehilangan hutan terbesar terjadi pada tahun 2005-2010, yang mana 2.779 hektare hutan hilang.

“Sementara itu, dalam periode 2010-2025, kembali terjadi pengurangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektare,” kata Rocky.

Jika diakumulasi, lanjut Rocky, dalam periode 2000 hingga 2022, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektare. Perubahan ini sangat berpengaruh terhadap daya tampung air hujan dan stabilitas tanah, yang akhirnya berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor.

Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektare. Analisis ini membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi eukaliptus.

Rocky mengungkapkan, perusahaan kebun kayu PT Toba Pulp Lestari (TPL), diketahui memiliki wilayah konsesi seluas 20.360 hektare di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan alam yang dilakukan oleh tim, terjadi deforestasi signifikan dalam kawasan konsesi ini selama periode 2000 hingga 2023.

Tampak dari ketinggian kehilangan tutupan hutan di wilayah DAS Bolon, Kabupaten Simalungun. Foto: Auriga Nusantara.

“Pada 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut masih mencapai 10.348 hektare. Namun, angka ini terus menyusut hingga hanya tersisa 3.614 hektare pada 2023. Total kehilangan tutupan hutan dalam kurun waktu tersebut mencapai 6.734 hektare,” ujarnya.

Periode deforestasi terbesar terjadi antara 2005-2010 dengan kehilangan hutan seluas 2.779 hektare, disusul periode 2010-2023 yang mengalami penyusutan lebih lanjut sebesar 2.336 hektare. Data ini menunjukkan bahwa laju kehilangan hutan di sektor Aek Nauli sangat masif dan mengkhawatirkan.

Peristiwa yang terjadi di Parapat pada 16 Maret lalu menunjukkan adanya kelalaian pemerintah daerah dalam mengawasi tata ruang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon-Simalungun. Pembukaan lahan di kawasan DAS serta daerah terjal telah berkontribusi terhadap terjadinya bencana yang berulang di Parapat.

“Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, Pemerintah Daerah Simalungun harus mengambil langkah serius dalam mengevaluasi tata ruang, terutama di wilayah rawan bencana,” ucap Rocky.

Selain itu, imbuhnya, keberadaan perusahaan TPL di kawasan DAS Bolon yang telah menyebabkan perubahan tutupan hutan alam juga menjadi perhatian utama. Rocky menilai, diperlukan tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan hutan alam serta upaya pemulihan terhadap kawasan hutan yang sudah kritis.

“Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, risiko bencana akan terus mengancam wilayah tersebut,” kata Rocky.

SHARE