Komunitas Serawai Hukum Adat PT PN VII Bengkulu
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Kamis, 20 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - PT Perkebunan Nusantara (PT PN) VII perwakilan Bengkulu dikenai sanksi adat oleh komunitas adat Serawai Semidang Sakti yang ada di Desa Pering Baru, Kabupaten Seluma. Sebab, perusahaan perkebunan sawit plat merah tersebut dianggap telah merampas tanah leluhur masyarakat adat.
Sanksi adat tersebut diberikan melalui ritual adat oleh belasan warga komunitas adat Serawai Semidang Sakti di depan kantor PT PN, 17 Maret 2025. Menurut Tahardin, salah seorang perwakilan masyarakat adat, ritual khas Serawai ini merupakan tradisi leluhur mereka yang ditujukan untuk memberikan hukuman kepada siapa pun yang telah melakukan kejahatan berupa mencuri atau merampas hak orang lain.
Dalam praktiknya, lanjut Tahardin, biasanya orang yang terkena hukuman akan diarak keliling kampung dan kepalanya diberi Tajuak atau kalung yang sengaja dibuat dari untaian benda yang telah dicuri atau dirampas oleh pelakunya.
"PT PN VII telah merampas tanah kami. Dan ini terjadi sudah lebih 30 tahun. Jadi sebagai simbol. Kami buatkan kalung dari segala tanaman yang pernah kami tanam sejak zaman nenek kami. Dan itu dirampas oleh PT PN VII," kata Tahardin, dalam sebuah pernyataan tertulis, Senin (17/3/2025).

Pia Tulaini, seorang tokoh perempuan Serawai yang ikut hadir dalam ritual mengatakan, praktik perampasan lahan yang telah dilakukan oleh PT PN VII sudah membuat masyarakat adat di Pering Baru kehilangan tanah dan kehidupan mereka. Para perempuan kesulitan memenuhi pangan dan kebutuhan tanaman obat yang dahulu banyak di wilayah adat mereka.
“Kini semua habis berganti sawit. Jangan harap bisa cari obat-obatan di hutan lagi," ujar perempuan yang juga berprofesi sebagai dukun melahirkan ini.
Nahadin, tokoh masyarakat adat Serawai di Semidang Sakti, menjelaskan sejak 1800 nenek moyang mereka telah mendirikan kampung dengan nama Mapadit. Permukiman ini terletak di hamparan tanah yang berada di dekat aliran sungai Siak Peghing Kanan dan Aiak Peghing Kidau.
Mereka berladang atau membuat umo daghat di daerah Sungai Landangan yang kini berada tak jauh dari Desa Pering Baru. Wilayah inilah yang kini kerap dituding oleh PT PN VII sebagai wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan mereka.
"Sisa tanaman kopi, bekas sawah, semua masih ada. Kurang bukti apalagi kalau itu bukan tanah leluhur kami. Tapi masih dianggap milik PT," kata Nahadin.
Karena itu, bagi Nahadin, tak ada alasan bagi perusahaan untuk menuduh mereka telah menduduki atau menguasai HGU perusahaan.
"Jangan pernah tuduh kami maling. Mereka yang sebenarnya merampas tanah dan wilayah masyarakat adat Serawai," katanya.
Bebaskan Anton dan Kayun
Sejalan dengan aksi ritual itu, perwakilan masyarakat adat Serawai yang mendatangi kantor PT PN VII di Kota Bengkulu juga mendesak agar penegak hukum membebaskan seorang pelajar SMKN 3 Seluma bernama Anton dan kakaknya Kayun dari tuduhan telah mencuri sawit milik PT PN VII.
"Apa yang dicuri. Kalau pohonnya tumbuh di atas tanah kami sendiri. Ini jahat sekali. Apalagi kalau sampai diputuskan bahwa anak-anak kami mencuri di tanah neneknya sendiri," kata Zemi Sipantri, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai.
Menurut Zemi, tudingan yang telah dibuat oleh PT PN VII, merupakan bentuk kriminalisasi sekaligus intimidasi agar masyarakat adat Serawai yang bertahan di wilayah adatnya untuk tidak lagi menjaga tanah mereka.
Padahal, lanjutnya, sudah sejak 1987, ribuan hektare tanah di Seluma, sudah diberikan negara kepada perusahaan. Itu terjadi tanpa proses persetujuan kepada masyarakat adat yang sudah jauh lebih dahulu mendiami tanah-tanah itu.
"Nenek-nenek kami diusir. Dan kini, kami para cucunya yang mengurus tanah leluhur kami malah dibilang penjahat. Kami mendesak gubernur atau presiden tolong perhatikan nasib kami," katanya.
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi menambahkan, situasi yang terjadi di Pering Baru telah menjadi konflik laten yang kerap berulang. Musababnya, tidak ada iktikad baik dari pemerintah untuk membantu menyelesaikannya.
Kondisi ini, diyakininya, bukan hanya terjadi di Seluma. Namun bisa jadi serupa di beberapa daerah lain. Ketidakpedulian pemerintah terhadap keberadaan masyarakat adat asli akan memicu konflik berkepanjangan.
"Seluma ini sudah punya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, harusnya ini bisa jadi instrumen penyelesaian. Jangan cuma diam. Perusahaan juga harus hormati. Kalau tidak, ini akan ribut terus sepanjang waktu," kata Fahmi.
Dari itu, Fahmi mengingatkan kepada penegak hukum dan para pengambil kebijakan di Kabupaten Seluma dan Provinsi Bengkulu untuk berpegang pada ketentuan yang sudah dirumuskan utamanya berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat.
"Mengapa sampai ada ritual itu. Ya karena itulah bentuk hukum di masyarakat adat. Mereka tak mengenal Bui. Jadi kalau sampai ada yang dihukum dengan penjara. Saya pikir negara ini keterlaluan," ujarnya.
SHARE