Warga Tuntut Tambang Emas Diusir dari Pulau Sangihe
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Rabu, 19 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penolakan terhadap keberadaan aktivitas tambang emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut), terus disuarakan, bahkan sampai ke Jakarta. Selama dua hari berturut-turut, 12-13 Maret 2025, perwakilan warga Sangihe bersama koalisi Save Sangihe Island (SSI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Greenpeace dan KontraS, bertemu Komisi III DPR RI dan melakukan aksi sekaligus menyerahkan surat-surat tuntutan agar pulau kecil Sangihe tidak lagi dijajah oleh aktivitas tambang.
Dalam rapat dengar pendapat, warga Sangihe menyampaikan sejumlah tuntutan yang berkaitan dengan penegakan dan penghormatan konstitusi beserta tatanan hukum yang berlaku di Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan keberadaan PT TMS. Demikian menurut sebuah rilis kelompok masyarakat sipil.
Disebutkan, perusahaan asal Kanada tersebut menunjukkan pembangkangan terhadap hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan aktivitas penambangan yang terus berlangsung meskipun sudah tak mengantongi izin operasi produksi. Perusahaan terkesan mempermainkan norma hukum di Indonesia dengan berbagai cara licik untuk terus berproduksi.
Jull Takaliuang dari koalisi SSI mengatakan, meskipun telah kalah mutlak secara hukum, PT TMS tidak mundur sejengkal pun. Hal itu menambah eskalasi kemarahan warga Pulau Sangihe. Perusahaan diduga tetap beroperasi dengan memakai siasat lancung, yaitu bekerja sama dengan perusahaan lokal CV Mahamu Hebat Sejahtera dan PT Putra Rimpulaeng Persada.

“Dengan begitu, terlihat seolah-olah perusahaan yang beroperasi menambang bukan TMS,” kata Jull Takaliang, 13 Maret 2025..
Jejak kerja sama antara TMS dengan kedua perusahaan tersebut terlacak dalam situs web resmi mereka. Baru Gold, sebagai pemegang saham mayoritas TMS, mengumumkan ada dua kontrak perjanjian kerja sama antara perusahaan dengan Rimpulaeng. Dalam situs webnya disebutkan, perjanjian pertama diteken pada 8 Agustus 2023, lalu perjanjian kedua diumumkan pada 20 September 2023.
Rimpulaeng yang disebut sebagai kontraktor, membayar sekitar Rp4,740 miliar sebagai deposito yang tidak dapat dikembalikan untuk mengelola lahan tersebut. Perjanjian lainnya berupa pembagian keuntungan, dengan kesepakatan TMS akan mendapatkan 35 persen dari total keuntungan yang didapatkan.
Padahal saat perjanjian kedua tersebut dibuat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mencabut izin operasi produksi PT TMS melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 13.K/MB.04/DJB.M/2023 tentang Pencabutan Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS.
Sebelumnya, pada Desember 2022, Majelis Hakim Mahkamah Agung memenangkan warga dalam kasasi yang diajukan Menteri ESDM dan TMS, dengan menolak permohonan kasasi tersebut. Artinya, PT TMS tidak memiliki landasan hukum untuk terus memaksa beroperasi, demikian pula dua perusahaan kontraktor yang bekerja sama dengan TMS yang tak mengantongi izin apapun.
Bahkan, keabsahan dan legalitas PT Putra Rimpulaeng Persada diragukan. Nama perusahaan ini tak terdaftar di dalam Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) milik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum.
“Ini dapat diartikan perusahaan tersebut belum mendapatkan pengakuan resmi dari negara atau belum sah secara hukum,” kata Muh. Jamil dari Divisi Hukum Jatam.
Nama perusahaan hanya tercatat pada situs Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Sulawesi Utara. Terdapat dua nama serupa yang terdaftar di situs tersebut yaitu CV Putra Rimpulaeng Perkasa yang dipimpin oleh Hasan Jassin dan PT Putra Rimpulaeng Persada yang dipimpin oleh Hendriko Tindage atau lebih dikenal Riko Tindage.
Selain bekerja sama dengan Rimpulaeng, TMS juga menjalin kerja sama dengan CV Mahamu Hebat Sejahtera yang diumumkan perusahaan pada 3 Agustus 2023. Dalam situs web Baru Gold disebutkan Mahamu memiliki hak mengelola lahan seluas total 65,48 hektare secara bertahap selama lima tahun, dengan luas di awal pengelolaan 15 hektare. Serupa dengan Rimpulaeng, TMS meminta deposit sebesar Can$6 juta dan bagi hasil keuntungan sebesar 35 persen.
Perjanjian dengan Mahamu juga dibuat ketika TMS sudah tak memiliki alas hukum untuk melanjutkan operasi produksi. Sama seperti Rimpulaeng, Mahamu juga tak tercatat dalam lembar berita negara sehingga perusahaan tersebut dapat dikatakan tak memiliki legalitas untuk beroperasi sebagai sebuah entitas bisnis, serta tak memiliki legalitas untuk melakukan operasi produksi emas.
“Dengan kata lain, TMS telah menggunakan perusahaan abal-abal sebagai perpanjangan tangan untuk tetap beroperasi demi mendapatkan keuntungan. Sehingga seluruh aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan ilegal,” ujar Jamil.
Pasal 18 kontrak karya
Kelompok masyarakat sipil menjelaskan, Kontrak Karya 1997 antara TMS dengan pemerintah Indonesia, yang kemudian di-reaktivasi pada 2009, merupakan sumber petaka bagi warga Sangihe. Kontrak inilah yang menjadi karpet merah bagi TMS untuk mencabik-cabik kohesi sosial dan bentang alam Sangihe.
Tak hanya menjadi pemulus jalan TMS, perusahaan asing asal Kanada, kontrak tersebut merupakan bukti paling sahih pemerintah tak ragu menjadikan warga Sangihe sebagai tumbal proyek demi investasi. Di dalam kontrak tersebut secara terang-benderang dicantumkan pasal 18 sebagai pasal 'Ketentuan Kemudahan', yang berisi serangkaian jaminan kemudahan yang diberikan pemerintah bagi TMS.
Kemudahan tersebut antara lain berupa upaya pemerintah untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mengurangi setiap gangguan yang timbul dari pihak lain yang beroperasi berdasarkan hak yang berbeda, hak untuk memindahkan pohon, tanah penutup, dan penghalang lainnya untuk penambangan. Dalam pasal 18 itu juga disebutkan pemerintah akan membantu perusahaan dalam pengaturan pemukiman kembali (relokasi) untuk warga setempat.
Ironisnya, warga Sangihe yang menjadi tuan rumah tak pernah dilibatkan dalam perjanjian Kontrak Karya TMS ini. Perjanjian ini dibuat hanya oleh pemerintah dan TMS, sedangkan warga hanya menjadi objek dari perjanjian. Padahal, dalam sebuah perjanjian berdimensi hukum, seluruh subjek hukum harus mengetahui adanya sebuah perjanjian. Karena itu, Kontrak Karya ini harus dibatalkan demi hukum karena warga Sangihe tidak mengetahui keberadaannya di dalam perjanjian tersebut, sehingga menunjukkan adanya cacat kehendak.
Dengan berbagai dugaan keculasan dan tindakan pembangkangan hukum yang dilakukan TMS, warga Sangihe menuntut pemerintah untuk segera mengusir TMS dari Indonesia. Sebab, menurut warga Sangihe, pulau kecil mereka lebih berharga dari emas. Selain itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia secara tegas menyatakan pulau kecil terlarang untuk ditambang.
Dalam RDP yang dihadiri pula oleh Polda Sulawesi Utara melalui sambungan zoom tersebut, DPR meminta Polda untuk melakukan penegakan hukum terhadap TMS dan dua perusahaan kontraktornya yaitu CV Mahamu Hebat Sejahtera dan PT Putra Rimpulaeng Persada.
Selain itu, DPR meminta Polda untuk menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Robert Karepowan, Komisaris PT TMS yang merupakan pensiunan perwira di lingkungan Polda Sulawesi Utara, dan meminta Kapolda Sulawesi Utara untuk segera menginstruksikan kepada seluruh aparat kepolisian di jajaran Polda Sulawesi Utara agar tidak mendukung praktik tambang ilegal di Sangihe serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dan pejuang lingkungan di Sangihe.
Hentikan pemberian izin operasi PT TMS
Bukan hanya bertemu Komisi III DPR RI, pada 13 Maret 2025, masyarakat Sangihe dan Koalisi Save Sangihe Island juga mendatangi Kantor Kementerian ESDM untuk menyampaikan surat peringatan keras dan mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak menerbitkan izin baru kepada PT TMS.
“Hal ini dilakukan untuk merespons siaran pers yang diterbitkan PT TMS pada 13 Februari 2025 yang menyampaikan bahwa perusahaan itu sedang berada dalam tahap finalisasi izin operasi produksi di Kementerian ESDM,” kata Jull.
Jull mengatakan, peringatan keras ini disampaikan atas dasar hilangnya legalitas TMS untuk beroperasi paska pencabutan izin operasi produksi oleh Kementerian ESDM pada 2023 lalu. Selain itu, usaha pertambangan yang hendak dipaksakan oleh TMS merupakan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Pulau-Pulau, di samping sejumlah pelanggaran hukum serius yang dilakukan TMS dengan melakukan operasi ilegal menggunakan dua perusahaan kontraktor.
Peringatan ini disampaikan kepada Kementerian ESDM untuk mengutamakan perlindungan keselamatan rakyat dan bentang alam Sangihe sebagai pulau kecil. Meskipun tergolong pulau kecil, Sangihe memiliki peran besar dalam ekosistem global. Pulau Sangihe merupakan bagian dari kawasan Coral Triangle, kawasan laut yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
Selain itu, Sangihe juga merupakan jalur migrasi burung global, jalur migrasi bagi spesies laut langka dan kawasan nursery bagi spesies tuna. Pulau Sangihe juga termasuk dalam kawasan Important Bird and Biodiversity Areas (IBAs) in Danger dan Key Biodiversity Areas (KBA’s), yang berarti wilayah ini merupakan habitat bagi spesies burung dan keanekaragaman hayati yang unik, sangat rentan terhadap gangguan aktivitas manusia.
Berdasarkan Keputusan COP CBD 13/12 Laut Sulu dan Sulawesi termasuk (termasuk Sangihe) telah ditetapkan sebagai Ecologically or Biologically Significant Areas (EBSAs) dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati di Montreal, Kanada, yang mana Indonesia sebagai salah satu pihak yang menyepakatinya. Kawasan ini mencakup berbagai macam habitat pesisir dan laut di dalam Segitiga Terumbu Karang yang luas, pusat keanekaragaman hayati laut terkaya dan paling murni di dunia.
“Pada 2024, Pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan visi kawasan konservasi laut 30x45 yang menempatkan kawasan Kepulauan Sangihe dalam Area Prioritas perluasan kawasan konservasi 30% pada 2045,” ujar Jull.
Dengan mempertimbangkan aspek hukum, ekologis, dan komitmen konservasi nasional maupun global, lanjut Jull, masyarakat Sangihe dan Koalisi SSI menegaskan bahwa penerbitan izin baru bagi PT TMS akan bertentangan dengan Etika dan berbagai regulasi serta kebijakan yang telah ditetapkan. Jika Kementerian ESDM tetap menerbitkan izin pertambangan baru bagi PT TMS, terdapat potensi konflik hukum baru dengan masyarakat Pulau Sangihe di pengadilan dan juga perlawanan masyarakat di lapangan,” ujarnya.
“Ini akan memperpanjang ketidakpastian dan ketegangan. Di samping itu akan mencoreng reputasi Indonesia di tingkat internasional, karena tidak konsisten dengan komitmen terhadap perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati,” ucap Jull.
SHARE