RUU MA dan Keadilan Iklim Disahkan, Perempuan Terlindungi
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Senin, 17 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perempuan adat dan pejuang lingkungan membutuhkan perlindungan melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim. Mereka adalah pihak paling terdampak dari krisis iklim.
Perempuan pejuang lingkungan dan perempuan adat memiliki pengetahuan lokal yang berharga dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta mengatasi perubahan iklim. Namun ancaman seperti perampasan lahan, eksploitasi sumber daya alam, dan berbagai bentuk ketidakadilan membatasi keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan. Kebijakan yang mengesampingkan perspektif serta partisipasi perempuan berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.
Staf Komunikasi Publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Moriska Pasally, menekankan keadilan untuk perempuan adat dan pejuang lingkungan membutuhkan payung hukum yang secara spesifik melindungi hak-hak perempuan. Payung hukum ini adalah UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat yang mengakui hak perempuan, perempuan adat dan perempuan pejuang lingkungan. Perundangan yang sama juga memastikan akses yang setara terhadap sumber-sumber penghidupan, serta menjamin perlakuan yang adil di hadapan hukum.
Menurutnya perempuan pejuang lingkungan dan perempuan adat menghadapi risiko berlapis. Mereka tidak hanya sering dipinggirkan dalam komunitasnya karena identitas gender, tetapi juga harus menghadapi dampak krisis iklim yang semakin parah serta konflik perampasan ruang hidup. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan kebijakan negara yang kerap mengabaikan suara perempuan.

“Oleh karenanya, pengesahan UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan keadilan sosial dan ekologis bagi perempuan,” ujarnya dalam diskusi “Urgensi UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat sebagai Payung Hukum Perlindungan Hak-Hak Perempuan atas Wilayah dan Sumber-Sumber Penghidupan” pada Kamis (13/3/2025).
Perempuan Pejuang Pulau Pari, Asmania, menceritakan krisis iklim berdampak besar pada perempuan pesisir, termasuk perempuan di Pulau Pari yang menghadapi beban ganda. Menurutnya dahulu, laut memberikan penghidupan yang melimpah. Pulau Pari sendiri memiliki potensi budidaya rumput laut dan ikan kerapu yang berkembang pesat dan menjanjikan masa depan cerah.
Namun, krisis iklim membuat nelayan semakin sulit melaut, jarak tangkap semakin jauh, dan situasi diperparah oleh keberadaan korporasi. Saat warga berjuang menjaga wilayah pesisir dengan menanam mangrove rumah dari beragam biota laut, korporasi justru datang dan membabatnya tanpa peduli.
“Beban perempuan semakin berat, menghadapi krisis iklim sekaligus harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kami, perempuan Pulau Pari, harus berdaya, sehingga kami membentuk kelompok yang dikelola oleh perempuan nelayan untuk menjaga dan melindungi pulau kami, karena laut adalah ibu kami, merusaknya sama dengan menyakiti perempuan,” kata Asmania.
Peneliti dari ICEL dan perwakilan ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim), Saffanah, menyampaikan krisis iklim tidak berdampak pada semua orang secara setara. Perempuan dan anak perempuan acap kali mengalami dampak yang tidak proporsional dari perubahan iklim.
Hingga kini belum ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai perubahan iklim sehingga menimbulkan terjadinya kekosongan hukum. Kondisi ini berdampak pada perlindungan hak perempuan adat dalam konteks perubahan iklim.
“Kami (ARUKI) meminta Pemerintah dan DPR untuk serius dalam merancang RUU Keadilan Iklim yang melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok rentan, termasuk perempuan adat," ujar Saffanah.
Ia menceritakan sejak dulu, perempuan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem melalui pengetahuan lokal yang mereka warisi. Mereka tidak hanya memahami cara melestarikan alam, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Perempuan Adat Suku Mpur, Maria M. Kebar, mencontohkan Masyarakat Adat Suku Mpur di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, bagi mereka alam dan manusia adalah suatu kesatuan siklus kehidupan yang saling terikat, saling membutuhkan dan saling melindungi. Dari dulu hingga kini dan nanti Masyarakat Adat Suku Mpur di Kabupaten Tambrauw sangat bergantung pada alam.
Ia mengatakan jika perempuan Suku Mpur meyakini bahwa adat yang mereka miliki mampu menjaga tanah adat. Namun, sejak 2014, ribuan hektar hutan adat telah dieksploitasi secara sewenang-wenang, sementara hukum adat yang mereka andalkan tidak cukup kuat untuk melindungi mereka di hadapan hukum negara.
“Perubahan iklim dan pergeseran pola hidup semakin menekan perempuan Mpur, sebagaimana juga dirasakan oleh perempuan dari berbagai suku di Papua, seperti Suku Moy, Awyu, dan lainnya di tujuh wilayah adat. Melalui kesempatan ini, perempuan adat Suku Mpur mengajak seluruh perempuan Papua di tujuh wilayah adat untuk bersatu menyuarakan hak-hak mereka dan melawan perampasan tanah adat. Papua ini rumah kita, Papua ini saya, Papua ini Ko, dan Papua ini kita semua. Mari kawal RUU Masyarakat Adat untuk menjaga iklim hutan adat kita di Papua,” ucap Maria.
Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menyebutkan pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat menjadi bagian penting dalam menempatkan perempuan adat sebagai subjek hukum. RUU Masyarakat Adat merupakan langkah bijak bagi DPR RI untuk mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
“Kami berharap pada April 2025, Badan Legislasi DPR RI dapat mulai membahas RUU ini dan mendapat dukungan dari delapan fraksi di DPR RI. Ini merupakan langkah strategis bagi DPR dalam memperjuangkan RUU yang telah didukung oleh masyarakat sipil. Kami juga berharap DPR membangun dialog konstruktif bersama Masyarakat Adat agar RUU yang dihasilkan mampu menjawab tantangan yang mereka hadapi,” ujar Veni.
SHARE