Walhi Laporkan 47 Korporasi Terindikasi Korupsi Sumber Daya Alam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Selasa, 11 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama 17 eksekutif daerah Walhi melaporkan 47 korporasi yang diduga melakukan perusakan lingkungan, dan juga terindikasi melakukan korupsi sumber daya alam ke Kejaksaan Agung. Korporasi-korporasi ini bergerak di sektor perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, pariwisata.

Walhi mengestimasi potensi kerugian negara dari indikasi korupsi SDA oleh 47 korporasi ini sebesar Rp437 triliun. Beberapa modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi antara lain mengubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya.

Bukan hanya itu, Walhi juga menjelaskan kepada pihak Kejaksaan Agung modus yang lebih besar lagi dengan mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang di dalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut dengan State Capture Corruption

“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengonsolidasikan praktik korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektare hutan Indonesia,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, dalam sebuah rilis, Jumat (7/3/2025).

Eksekutif Nasional Walhi bersama 17 eksekutif daerah Walhi melaporkan 47 korporasi yang diduga terlibat dalam korupsi SDA ke Kejaksaan Agung, 7 Maret 2025. Foto: Walhi Bengkulu.

Korupsi di sektor SDA ini, lanjut Zenzi, telah merugikan negara dan perekonomian negara, dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut.

Zenzi mengatakan, kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini sangat besar dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh Walhi kepada pihak yang berwenang, namun hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili.

“Kami melihat Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku, karena itu Walhi mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung hari ini,” ujarnya.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan, Raden Rafiq, menuturkan, pihaknya melaporkan empat korporasi yang bergerak di sektor sawit dan tambang yang Walhi duga terindikasi melakukan korupsi SDA. Tapi, empat perusahaan ini hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan hidup dan hak masyarakat adat serta petani lokal.

Masifnya pertambangan nikel di Maluku Utara saat ini telah menghancurkan wilayah tangkap nelayan, pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati seperti mangrove, rumput laut dan koral. Sehingga, Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara berharap, penegakan hukum tindak pidana korupsi harus segera dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Sebab bukti permulaan yang telah Walhi laporkan telah cukup kuat.

“Ditambah lagi kasus korupsi perizinan pertambangan sebelumnya juga telah diungkap oleh KPK dan Maluku Utara menempati posisi nomor satu provinsi terkorup di Indonesia,” kata Faisal.

Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, Walhi juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, dimana Jampidsus Kejaksaan Agung menjadi ketua pelaksana Satgas tersebut. 

Khususnya di Bengkulu, Walhi melaporkan perusahaan perkebunan sawit berinisial PT ABS, karena diduga telah merugikan negara karena tetap beraktivitas tanpa mengantongi HGU. Sementara tanpa adanya HGU perusahaan ini tidak dapat dikenakan pajak dan pungutan lainnya.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bengkulu, Dodi Faisal, menyebut PT ABS seharusnya memiliki kewajiban pajak yang harus disetorkan ke negara. Dari setiap proses yang dilakukan PT ABS kemudian akan timbul potensi pajak.

"PT ABS sudah jelas telah merugikan Negara karena beraktifitas tanpa HGU sehingga terhindar dari kewajiban membayar pajak. Maka kami kemudian melaporkan PT ABS ke Kejagung RI,” ujar Dodi

Dodi menambahkan secara aturan PT ABS diwajibkan mengantongi izin HGU dan IUP-B pasca-keluar Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Jika mengacu pada putusan MK tersebut, lanjut Dodi, maka dapat disimpulkan aktivitas PT ABS tanpa izin HGU merupakan tindakan ilegal yang bisa dikenai sanksi secara administratif sampai pidana. Artinya sudah 7 tahun PT ABS dibiarkan beraktivitas secara ilegal sejak keluarnya Putusan MK pada 2016.

“Pemerintah seharusnya dapat menyegel operasional perusahaan, mencabut izin usaha dan selanjutnya, aset yang mereka miliki disita untuk negara. Namun anehnya pemerintah memilih bungkam dan justru pada bulan Oktober 2021, proses panen PT ABS dihadiri oleh  Camat Pino Raya waktu itu,” kata Dodi.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menuturkan, Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan.

“Sejak awal kami mengkritik dominasi militer dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan ini, berikut dengan substansi peran dan kerjanya yang diaturkan di dalam perpres,” kata Uli.

Walhi, lanjut Uli, khawatir akan banyak rakyat yang menjadi korban penggusuran dan dirampas tanahnya atas nama penertiban kawasan hutan. Oleh karena itu, Walhi se-Indonesia sangat serius mengawasi kerja-kerja Satgas saat ini dan ke depan.

Walhi berharap Kejaksaan Agung memproses laporan yang telah disampaikan dan Walhi juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung baik di nasional maupun daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut.

Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan akan menyampaikan laporan Walhi tersebut kepada bidang kerja terkait untuk dapat diberikan perhatian khusus. Kejaksaan, imbuhnya, merupakan aparat penegak hukum yang bebas dari kepentingan apapun. Sehingga setiap penanganan perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan murni dalam konteks penegakan hukum.

"Suratnya kami teruskan ke bidang terkait untuk ditelaah. Kita menghargai peran dan upaya masyarakat melalui Walhi,” ucap Harli, Senin (20/3/2025).

SHARE