82% Spesies Cenderawasih Punya Kemampuan Biofluoresensi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Sabtu, 08 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Para ahli burung dari American Museum of Natural History dan University of Nebraska-Lincoln menemukan bahwa 37 dari 45 spesies cenderawasih yang dikenal saat ini bersifat biofluoresen—memiliki kemampuan untuk menyerap dan memancarkan cahaya.

Para ahli berpendapat bahwa 'cahaya' khusus ini penting bagi cenderawasih jantan untuk menunjukkan hierarki dan perkawinan. Studi ini akan dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Open Science.

Cenderawasih sendiri adalah keluarga burung hutan berukuran kecil hingga sedang yang ditemukan di Pulau Papua. Dengan bulu-bulunya yang berwarna-warni, serta tampilan pacarannya yang rumit, jenis burung ini termasuk makhluk paling cantik di Bumi, dan  memiliki tempat khusus dalam sejarah alam.

Mereka berfungsi sebagai contoh buku sekolah tentang seleksi seksual, yang merupakan hasil dari beberapa generasi pemilihan pasangan jantan yang memiliki fitur yang menarik. Hasilnya adalah radiasi spesies yang tak tertandingi di mana pejantan menunjukkan fitur dan perilaku morfologi yang ekstrem tanpa makna evolusioner selain untuk menarik betina untuk kawin.

Cenderawasih besar (Paradisaea apoda). Kredit gambar: Andrea Lawardi.

Dr. Rene Martin, dari University of Nebraska-Lincoln’s, mengatakan, ritual perkawinan yang unik dan pertunjukan cenderawasih telah membuat para ilmuwan terpesona dan memacu banyak penelitian yang berfokus pada evolusi sifat dan seleksi seksual.

"Tampaknya burung-burung yang mencolok ini kemungkinan besar memberi isyarat kepada satu sama lain dengan cara lain yang juga mencolok,” kata Dr. Martin, dikutip dari Sci News.

Biofluoresen atau biofluoresensi adalah fenomena yang terjadi ketika suatu organisme menyerap cahaya, mengubahnya, dan memancarkannya sebagai warna yang berbeda.

Kurator American Museum of Natural History, John Sparks, menuturkan, meskipun ada lebih dari 10.000 spesies burung yang telah dideskripsikan, dengan berbagai penelitian yang telah mendokumentasikan bulu-bulu mereka yang cerah, pertunjukan perkawinan yang rumit, dan penglihatan yang luar biasa, ternyata hanya sedikit sekali yang menyelidiki keberadaan biofluoresensi.

"Burung bowerbird dan burung peri gagal berpendar, tetapi di antara burung cenderawasih, kami menemukan fluoresensi hijau-kuning yang cerah,” ujar Sparks.

Para peneliti mengamati lebih dekat biofluoresensi pada cenderawasih, dan menemukan bahwa burung-burung ini juga berpendar ketika terpapar sinar UV, bukan hanya sinar biru.

Fenomena ini sangat menonjol pada burung jantan, terfokus pada bulu dan kulitnya yang cerah di area yang disorot selama pertunjukan, mencakup bagian mulut dan paruh bagian dalam, kaki, dan bulu-bulu di kepala, leher, dan perut. Pada burung betina, biofluoresensi biasanya terbatas pada bulu di bagian dada dan perut.

Emily Carr, seorang mahasiswa Ph.D. di American Museum of Natural History, menjelaskan, burung-burung ini hidup di dekat garis khatulistiwa, di mana terdapat banyak cahaya matahari yang terang sepanjang tahun, dan mereka hidup di hutan di mana kompleksitas cahaya secara signifikan dipengaruhi oleh perbedaan kanopi dan di mana sinyal-sinyal biofluoresensi dapat ditingkatkan.

Studi yang didasarkan pada spesies yang berkerabat dekat, lanjut Carr, menemukan bahwa pigmen pada mata burung sejajar dengan puncak fluoresensi yang diukur oleh para peneliti."

"Berdasarkan hal ini, kami menyimpulkan bahwa cenderawasih dapat melihat pola biofluoresensi ini, yang meningkatkan kontras terhadap bulu gelap dan mungkin memainkan peran penting dalam pacaran dan hirarki,” ucap Carr.

SHARE