PWYP: Korupsi Pertamina Cermin Buruk Sedekade Tata Kelola Migas

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Senin, 10 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap sebagai bukti buruknya tata kelola minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sepanjang satu dekade terakhir, menurut Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Koalisi organisasi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan sumber daya alam ini menganggap terungkapnya kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan pembenahan tata kelola migas di Indonesia di sepanjang rantai supply chain migas, termasuk aspek tata niaganya.

Sedangkan di satu sisi, Kejagung harus mengejar aktor-aktor lain yang terlibat dalam dugaan korupsi sistematis dan terstruktur ini.“Seharusnya akan banyak pihak lain yang terlibat jika melihat dugaan korupsinya yang hampir terjadi di supply chain-nya dalam kurun waktu 2018-2023,” kata Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, dalam keterangan tertulis, 28 Februari 2025.

Supply chain atau rantai pasok dimaksud Aryanto, mulai dari dugaan pengkondisian Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor, pengadaan impor minyak mentah maupun impor produk kilang, dugaan mark up kontrak shipping (pengiriman), hingga dugaan blending Ron 90 atau lebih rendah di storage/depo untuk menjadi Ron 92.

Dirut Pertamina Simon Aloysius Mantiri melakukan pengecekan langsung kualitas BBM di SPBU, di Jakarta Utara, Rabu (5/3/2025). Foto: PT Pertamina.

Aryanto bilang, pihaknya mendesak Kejagung memastikan seberapa besar dan ke mana aliran dana hasil dugaan mark up maupun potensi kick back ini mengalir. Jangan sampai nilai korupsi terkesan fantastis tetapi tidak bisa ditelusuri ke mana aliran dananya mengalir.

Sedangkan di sisi lain, pemerintah harus melakukan upaya pembenahan tata kelola migas, termasuk tata niaganya secara sistematis dan integral. “Jika ini tidak dilakukan, ini hanya akan menangkap mafia migas yang satu, dan nantinya akan digantikan mafia migas lainnya. Karena sistem-nya tidak dibenahi secara sistematis dan integral,” ujarnya.

Modus lama tanpa perbaikan

Aryanto menyebut, sekitar satu dekade lalu Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang saat itu diketuai Alm. Faisal Basri mengeluarkan rekomendasi tata kelola migas, di antaranya menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35 persen sulfur dan menggantinya masing-masing dengan impor Mogas 92 dan Gasoil 0,25 persen sulfur, menata ulang seluruh proses dan kewenangan penjualan minyak mentah dan pengadaan minyak mentah dan BBM, termasuk di dalamnya pembubaran Petral dan melakukan audit forensik, harga eceran BBM ditetapkan berdasarkan rumusan pasti dan stabil, terbuka bagi masyarakat, termasuk rumusan penentuan besaran “alpha”, dan revamping atau pembaruan kilang lama dan pembangunan kilang baru.

Dilihat dari rekomendasi tersebut, disinyalir bahwa dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang ditangani Kejagung ini bukanlah modus baru. Sehingga, jika rekomendasi TRTKM itu diimplementasikan pemerintah, harusnya korupsi dalam tata kelola migas ini bisa dicegah.

Alih-alih menghapus RON 88, imbuh Aryanto, yang terjadi pemerintah malah menghadirkan RON 90. Audit forensik Petral, juga tak ada kabar, dan revamping atau pembaruan kilang lama dan pembangunan kilang baru selalu terkendala.

Kemudian, impor minyak cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir, diperparah subsidi dan kompensasi BBM yang kian membebani APBN. Sedangkan penambahan kapal tanker untuk pengangkutan minyak mentah maupun produk kilang terlambat.

PWYP Indonesia menduga, ada upaya mempertahankan situasi dimana Indonesia harus terus mengimpor minyak, melakukan blending maupun penyalahgunaan subsidi BBM, selama bertahun-tahun. “Di situasi inilah, mafia migas dan pemburu rente meraup keuntungannya,” ucap Aryanto.

Memperkuat transparansi

Aryanto mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN, serta PT Pertamina Holding membenahi transparansi dan akuntabilitasnya. “Terkesan klise, namun ini harus dilakukan segera,” katanya.

Indonesia, sambung Aryanto, merupakan salah satu negara pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia. Tapi berdasarkan validasi pelaksanaan EITI Indonesia yang diputuskan dan dirilis Board EITI Internasional akhir 2024 lalu, Indonesia hanya memperoleh nilai 67 dari 100 atau masuk kategori cukup rendah.

Ada tiga komponen validasi, yaitu transparansi, keterlibatan pemangku kepentingan, hasil dan dampak. Dari tiga komponen tersebut, skor transparansi memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya nilai Indonesia itu, karena paling rendah di antara tiga komponen tersebut. Yakni hanya 63,5 dari 100.

Masih dalam kerangka EITI, laporan transparansi perdagangan komoditas migas di awal 2018 misalnya, menunjukkan meskipun laporan perdagangan komoditas EITI Indonesia mengungkapkan sejumlah besar informasi, data dari 80% transaksi perdagangan komoditas di negara tersebut tidak disertakan dalam laporan tersebut.

Dengan kata lain, masih banyak data yang belum dibuka oleh pemerintah dan Pertamina terkait dengan ekspor dan impor minyak. “Selain itu, perlu memperkuat partisipasi publik dalam hal pengawasan serta memastikan tidak terjadi asimetri informasi sehingga kontrol publik berjalan,” ujarnya.

Aryanto mengatakan, saat ini publik dibingungkan oleh perdebatan soal istilah blending dan oplosan, perbedaan pendapat antara Kejagung dan Pertamina, termasuk Komisi XII DPR terkait “pengoplosan” impor minyak produk kilang dari yang tadinya RON 90 (setara Pertalite) menjadi menjadi RON 92 (setara Pertamax), maupun nilai kerugian negara yang fantastis mencapai Rp193,7 triliun, dan bahkan mungkin bertambah karena baru dihitung di 2023 saja.

Agar tidak menjadi bola liar, Pemerintah, Pertamina dan instansi terkait (tanpa memengaruhi independensi penegak hukum) harus bisa menjelaskan secara gamblang proses pengadaan minyak mentah maupun produk kilang, mekanisme blending, mekanisme pengapalan, mekanisme distribusi dan pemanfaatan subsidi BBM secara terbuka dan mudah dipahami oleh publik.

“Ini sekaligus sebagai langkah awal untuk melakukan perbaikan tata kelola yang sistemik dan integral,” kata Aryanto.

Terakhir, Aryanto berpesan agar Kejagung terus mengusut tuntas kasus ini sampai ke akarnya secara transparan dan profesional. Namun juga tetap memastikan publik mendapatkan pemahaman yang utuh, mengingat banyak istilah teknis yang sulit dicerna publik serta nilai kerugian negara yang fantastis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

SHARE