Trend Asia: Jangan Tiru Amerika Keluar dari Perjanjian Paris

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Selasa, 04 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pernyataan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang tak ingin Indonesia terjebak dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) dan keengganannya mendorong transisi energi, menuai tanggapan dari kelompok masyarakat sipil. Trend Asia menganggap sikap dan pernyataan Bahlil itu menunjukkan minimnya pemahaman dan kepedulian pada ketahanan nasional terhadap krisis iklim dan bencana ekologis yang mengancam keselamatan rakyat Indonesia.

“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversialnya langkah Trump di mata dunia internasional. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi karena kita rentan terhadap krisis iklim,” ujar Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia, Jumat (31/1/2025).

Indri menganggap ironis bahwa dua pekan sebelum keluar dari Perjanjian Paris, Amerika Serikat mengalami salah satu bencana alam terparah akibat krisis iklim, yaitu kebakaran hebat yang menghancurkan 57.635 hektare negara bagian California.

“Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia juga terancam badai, banjir, kekeringan, dan krisis pangan akibat krisis iklim. Kita justru harus semakin serius menyikapi transisi energi untuk melindungi ketahanan nasional,” kata Novita.

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Dari pantauan portal data bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 1 Januari-31 Januari 2025 jumlah bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir (165 kejadian), disusul cuaca ekstrim (13 kejadian), dan tanah longsor (18 kejadian) yang menyebabkan 635.336 jiwa menderita dan harus mengungsi. Semua bentuk bencana ini memiliki korelasi erat dengan dampak krisis iklim.

Mundurnya AS dari Perjanjian Paris berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim. Apalagi Amerika adalah salah satu negara dengan kontribusi emisi paling tinggi secara global. Analisis World Resources Institute (WRI) pada 2023, menunjukkan tiga negara penghasil emisi terbanyak diduduki oleh China, Amerika Serikat, dan India yang berkontribusi sekitar 42,6% dari total emisi global.

Hal ini juga berpotensi menghambat upaya pendanaan internasional karena potensi berkurangnya komitmen Amerika dalam membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dekarbonisasi dan mencapai net zero emission yang tertuang dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP). Kini kepemimpinan dalam kemitraan ini diambil alih oleh Jerman dan Jepang.

Menurut Novita, perubahan ini tidak berarti bahwa Indonesia harus mengendorkan upaya transisi energi di tengah ancaman krisis iklim. Sedari awal, kata Novita, pendanaan JETP memang buram soal realisasinya. JETP hanyalah pengemasan ulang dari komitmen lama dan didominasi oleh skema utang yang berpotensi membebani Indonesia.

“Kita harus serius menggarap sumber pendanaan transisi energi dari dalam negeri dengan sumber yang ada di depan mata. Misalnya dari potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batu bara,” ucap Novita.

Novita mengatakan, produksi batu bara pada 2024 ini mencapai lebih dari 833 juta ton dan diprediksi akan melebihi 900 juta ton ke depannya. Potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batu bara dari korporasi dapat mencapai USD23,58 miliar per tahunnya. Angka itu sudah lebih besar dari komitmen JETP.

Novita menyebut hilangnya kepemimpinan AS justru membuka peluang untuk kepemimpinan alternatif yang bersifat lebih kolaboratif. Pemerintah Indonesia, lanjut Novita, perlu mempertimbangkan skema-skema kerja sama yang adil dengan negara-negara lain, termasuk negara berkembang, untuk dapat mencapai target Perjanjian Paris.

“Perjanjian Paris seharusnya dipandang bukan hanya sebagai janji di atas kertas berisikan bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi, tapi Perjanjian tersebut adalah sebuah komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah di depan mata. Keluar dari Perjanjian Paris adalah sebuah kejahatan kemanusiaan,” ucap Novita.

Sebelumnya, menyikapi langkah Donald Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan keengganannya untuk “terjebak” dalam skema Perjanjian Paris, dan menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu terburu-buru melakukan transisi energi.

“Kalau kita ikuti Paris Agreement, ini saya juga bingung, Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement. Padahal dia salah satu yang memelopori. Oleh karena itu, kita jangan terjebak. Nah kalau otaknya atau negara yang memikirkan ini saja mundur, masa kita mau masuk pada jurang itu? Presiden Prabowo memerintahkan saya untuk melakukan kedaulatan energi. Bukan mengganti semua energi ke energi terbarukan,” ucap Bahlil pada Berita Satu Outlook 2025 di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Selain itu, Bahlil juga menegaskan keengganannya untuk mendorong transisi energi dan pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tanpa kucuran dana internasional di tengah melemahnya komitmen global untuk transisi energi seiring kemunduran AS dari Perjanjian Paris. Khususnya, ia menyayangkan belum turunnya dana bantuan transisi energi dari JETP.

SHARE