Buat Zona Haram Eksploitasi di Kawasan Wallacea - Saran Auriga
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Jumat, 31 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Eksploitasi sumber daya alam, terutama nikel, mengancam Kawasan Wallacea di Indonesia bagian tengah. Auriga Nusantara memberikan tawaran No Go Zone (NGZ) untuk menyetop kerusakan akibat pertambangan dan industrialisasi nikel.
No Go Zone adalah daerah yang terlarang dimanfaatkan untuk berbagai alasan, seperti demi menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan fungsi lindungnya.
Menurut hasil pemantauan Auriga Nusantara, kerusakan lingkungan di empat provinsi kaya nikel terus terjadi seiring dengan masifnya produksi pertambangan nikel. Empat provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Keempatnya merupakan Kawasan Wallacea yang memiliki kekayaan biodiversitas endemik.
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, menyebutkan provinsi tempat deposit tersebut merupakan kawasan kaya biodiversitas endemik. Ia menyebutkan beberapa kawasan deposit nikel mesti menjadi area No Go Zone (NGZ) yang tidak boleh ditambang.
“Pentingnya kawasan ini yang membuat tidak boleh ada penambangan karena terkait keanekaragaman hayati dan fungsi lindung,” ucap dia saat Pertemuan Konsultatif para Pihak: Inisiatif Mendorong Penguatan Kebijakan No-Go Zone Pertambangan di Jakarta pada Kamis (30/12/2025).
Data Auriga Nusantara mencatat deposit nikel di Indonesia terkonsentrasi di 9 provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan deposit di luasan 3,1 juta hektare. Perizinan pertambangan sudah diberikan sebanyak 394 izin usaha pertambangan (IUP) yang dilakukan pada 1 juta ha (22 persen pada area deposit).
“Sedangkan empat provinsi kaya nikel sendiri merupakan Kawasan Wallacea yang sangat kaya biodiversitas endemik,” ungkapnya
Tumpang tindih nikel dengan kawasan hutan dan konservasi di provinsi kaya nikel. Sumber: Auriga Nusa
Tumpang tindih kawasan deposit dengan hutan alam mencapai 2,5 juta ha ( 82 persen dari kawasan deposit). Sebanyak 0,64 juta ha (66 persen) tambang nikel eksisting juga tumpang tindih dengan hutan alam.
Selain itu terdapat pula 0,45 juta ha kawasan konservasi berada dalam kawasan deposit nikel yang kini berada dalam tiga konsesi izin.
Tumpang tindih ini mengancam kekayaan biodiversitas wallacea. Masalahnya, kawasan wallacea dikenal dengan kekayaan keanekaragaman hayati endemik, yang hanya ada di kawasan itu saja.
Satwa endemik yang terancam pertambangan nikel di kawasan wallacea. Sumber : Auriga Nusantara
Pakar Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaludin, mengingatkan selain kawasan darat, kawasan perairan seharusnya turut menjadi area NGZ. UU No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur tegas mengenai perlindungan pulau kecil dari tambang.
Lebih jauh lagi, kawasan seperti coral reef, mangrove, dan padang lamun sebagai kesatuan ekosistem seharusnya tidak boleh ditambang sama sekali. Perlindungan kawasan-kawasan tersebut menentukan ekosistem perairan.
“Masalahnya kawasan itu di provinsi kaya nikel sangat terdampak dan tetap saja diganggu tambang, baik oleh pencemaran maupun pembangunan infrastruktur pendukung pertambangan lain, seperti pelabuhan,” kata dia.
“Pada kawasan tersebut terdapat Important Bird and Biodiversity Areas (IBAs) dan International Union for Conservation of Nature Key Biodiversity Areas (IUCN KBA),” kata dia.
Sementara sejak tahun 2002 hingga 2022, nikel telah menjadi biang deforestasi di empat provinsi tersebut. Puncak deforestasi terjadi pada 2016 yang hampir mencapai 300.000 hektare.
Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menyebutkan faktor risiko bencana seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam menetapkan NGZ ini. Kegiatan pertambangan semestinya tak boleh dilakukan pada kawasan berisiko tinggi karena berpotensi memunculkan, meningkatkan ancaman, hingga menimbulkan kerentanan bencana baru.
“Tak hanya itu kawasan berisiko sedang dan rendah meski memperhitungkan faktor potensi pemulihan. Jika tidak dapat dipulihkan secara ekonomis maupun teknis maka direkomendasikan masuk dalam NGZ,” kata dia.
UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dapat menjadi dasar penentuan kawasan-kawasan ini. Sehingga NGZ dapat memiliki dasar hukum.
Masalahnya pihak terdampak bencana selama ini berbeda dengan penerima keuntungan dan regulator. Sehingga, kata dia, faktor risiko bencana ini selalu dikesampingkan.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Tadulako, La Husen Zuada, mengungkapkan ekstraksi nikel mengalami perkembangan sangat pesat dalam satu dekade terakhir , terutama sejak kehadiran investasi Tiongkok yang menyasar provinsi-provinsi penghasil nikel, seperti Sulawesi Tengah.
Sulawesi Tengah menjadi salah satu daerah penyerap investasi asing terbesar. Pada tahun 2023 misalnya nilai investasi asing mencapai 107,21 triliun, raihan ini menempatkan Sulawesi Tengah sebagai peringkat ke-4 di Indonesia dan peringkat ke-1 provinsi di luar Jawa. Kontribusi Sulawesi Tengah ini menyumbang sekitar 14,38 % nilai investasi asing di Indonesia.
“Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah mengalami kenaikan. Mayoritas dari PDRB tersebut bersumber dari industri pengolahan yang berbasis di Morowali,” kata dia.
Namun di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, masyarakat lebih banyak menerima dampak negatif akibat aktivitas penambangan tersebut seperti kerusakan lingkungan dan hutan yang memicu kejadian bencana alam.
Aktivitas pertambangan nikel juga mengancam flora dan fauna serta ketersediaan pangan di Sulawesi Tengah.
Ia pun merekomendasikan NGZ perlu diterapkan pada kawasan rawan bencana, pesisir dan pulau kecil, wilayah pertanian, wilayah hutan dan konservasi, serta konservasi sejarah dan budaya.
SHARE